Suriname Budaya Jawa à la Suriname
Dibawah ini ada tulisan yang menarik tentang
Suriname Budaya Jawa à la Suriname - Oleh Santo Koesoebjono *
Suriname Budaya Jawa à la Suriname - Oleh Santo Koesoebjono *
Begitu saya duduk di sebelahnya, laki-laki yang sedang memancing ditepi sungai Suriname bertanya apakah saya orang Jawa. Pemancing yang namanya Karmoen itu langsung bersikap ramah setelah saya menjawab pertanyaannya dalam bahasa Jawa kasar (ngoko). Sikap akrab dan ramah ini memang terlihat dan terasa di kalangan orang-orang Jawa di Suriname, negara yang luasnya empat kali Jawa Barat dan terletak di timur-laut Amerika Selatan itu. Seorang diplomat dari KBRI mengatakan bahwa solidaritas antara orang Jawa besar sekali. Artikel ini kami buat untuk pembaca dari Suriname yang mau berbahasa Indonesia dan teentu Portal anak Indo juga menujukan artikel online yang masih ada hubungannya pada oran2 jawa di Suriname.
Dibawah ini ada tulisan yang menarik tentang
Suriname Budaya Jawa à la Suriname - Oleh Santo Koesoebjono *
Suriname Budaya Jawa à la Suriname - Oleh Santo Koesoebjono *
Begitu saya duduk di sebelahnya, laki-laki yang sedang memancing ditepi sungai Suriname bertanya apakah saya orang Jawa. Pemancing yang namanya Karmoen itu langsung bersikap ramah setelah saya menjawab pertanyaannya dalam bahasa Jawa kasar (ngoko). Sikap akrab dan ramah ini memang terlihat dan terasa di kalangan orang-orang Jawa di Suriname, negara yang luasnya empat kali Jawa Barat dan terletak di timur-laut Amerika Selatan itu. Seorang diplomat dari KBRI mengatakan bahwa solidaritas antara orang Jawa besar sekali.
Penduduk Jawa di Suriname yang sekarang ini merupakan keturunan dari sekitar 33.000 orang Jawa yang di antara tahun 1890 dan 1939 dipikat untuk bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan-perkebunan di Suriname. Orang-orang Jawa dibujuk dan dijanjikan akan menjadi kaya jika kontraknya selesai sesudah lima tahun. Namun kemudian mereka sangat merasa ditipu karena ternyata pada akhir masa kontrak itu mereka tidak menjadi kaya. Mereka malu untuk pulang karena tidak memiliki uang, apalagi saat itu jarang sekali ada kapal yang berlayar ke Jawa. Oleh karena itu meskipun ada sebagian yang kembali ke Indonesia atau pergi ke Belanda kebanyakan menetap di Suriname. Mereka kawin dengan teman-teman senasib dan menjadi cikal bakal penduduk diaspora Jawa. Generasi mudanya sering mengatakan bahwa kakek dan nenek mereka kawin di kapal atau di perkebunan. Sekarang orang Jawa merupakan kelompok etnis ketiga di Suriname sesudah kelompok Kreol (turunan dari Afrika) dan Hindustan (India) dan membentuk 20 % dari jumlah total penduduk yang kira-kira 400.000 orang. Meski telah lebih dari seabad bermukim di Suriname, sedikit sekali tulisan yang membahas kelompok orang Jawa ini.
Kerukunan dan rasa persaudaraan orang Jawa diperkuat melalui pelaksanaan acara selamatan dan tradisi Jawa lainnya, seperti misalnya sunatan, mitoni (hamil tujuh bulan), upacara perkawinan Jawa, peringatan hari kesekian setelah meninggalnya seseorang. Pemahaman makna dan pelaksanaan upacara adat dan tradisi tersebut diubah dan disesuaikan dengan pemahaman para penganut budaya itu sendiri, sehingga tidak sama dengan yang biasa dilaksanakan di Jawa. Misalnya kematian seseorang juga diperingati sesudah satu dan dua tahun dan sesudah lewat satu windu. Juga ada perbedaan antara adat kebiasaan Islam dan tradisi kejawen. Contoh lain dari perbedaan tafsiran adalah arah kiblat. Karena di Jawa orang Islam mengambil arah kiblat ke Barat, maka setibanya di Suriname pun mereka mendirikan mesjid dengan arah kiblat ke Barat. Namun kemudian datang kelompok baru yang berpendapat bahwa di Suriname arah kiblatnya ke Timur. Mereka pun mendirikan mesjid dengan arah yang berlawanan. Maka sampai sekarang masih terdapat dua macam arah mesjid. Pengikutnya pun dibedakan antara penganut aliran Barat yang lebih mempraktekkan Islam kejawen dan aliran Timur yang lebih Islam murni.
Keterikatan masyarakat Jawa di Suriname lebih diperkuat oleh tradisi daripada oleh agama Islam. Karena posisi (sosial dan ekonomi) orang Jawa dulu sangatlah rendah dibandingkan dengan golongan lainnya maka ekspresi tradisi dan adat sebagai perangkat untuk menggalang solidaritas sosial menjadi sangat penting bagi orang Jawa. Meskipun hidup kekurangan, orang-orang Jawa ternyata mampu mempertahankan dan meneruskan tradisi mereka lewat transmisi secara oral dari generasi ke generasi. Salah satu tradisi yang masih dianut ialah upacara bersih desa yang diadakan setelah lebaran atau Idul Fitri di desa-desa di Suriname. Juga ada pertunjukkan wayang kulit, seperti yang baru-baru ini diadakan di desa Mariënburg, di sebelah timur ibukota Paramaribo. Pertunjukan ini dihadiri oleh puluhan orang yang kebanyakan orang-orang lanjut usia. "Anak-anak muda tidak mempunyai perhatian lagi bagi pertunjukan wayang dan gamelan. Mereka menganggap geraknya sangat lamban. Apalagi banyak anak muda yang tidak mengerti bahasa Jawa" kata ibu Trisman yang setiap tahun menyediakan rumahnya bagi pertunjukan wayang tersebut. Seorang pria yang berusia 30 tahunan memang mengaku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh sang dalang yang menggunakan bahasa Jawa halus (kromo) itu.
Tidaklah mudah menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit sebab wayang dan gamelannya harus disewa dari tempat lain, sedangkan sinden dan dalangnya pun datang dari desa lainnya lagi. Wayang kulit yang dipakai kini sudah berumur kira-kira 80 tahun. Di Suriname tidak ada ahli yang bisa membuat wayang kulit. Untuk mengembangkan dan meneruskan kebudayaan Jawa, orang-orang ini harus sangat berdaya-cipta misalnya dalam membuat alat yang berbunyi seperti gong, untuk melengkapi perangkat gamelan yang ada.
Paramaribo, ibukota Suriname yang dihuni oleh hampir separuh penduduk negara ini, memberikan kesan kota tua dengan banyak gedung peninggalan jaman kolonial. Bangunan banyak dibuat dari kayu. Kondisi gedung-gedung dan jalanan sangat parah, di beberapa wilayah listrik sering padam dan air ledeng hanya mengalir pada jam-jam tertentu. Di kota ini ada gedung kesenian Sena Budaya yang sering dipakai untuk kursus menabuh gamelan, belajar menari Jawa dan juga pencak silat serta dipakai untuk pertunjukan kesenian suku bangsa yang lain. Gedung ini memiliki seperangkat gamelan yang disumbangkan oleh pemerintah Indonesia.
Moerti Moektini seorang pegawai KBRI lulusan Institut Seni Indonesia di Jogya, menyelenggarakan kursus menari Jawa dan menjadi juru rias pengantin Jawa. Menurut Moerti sekitar 20 orang ikut serta dalam kursus tariannya yang dalam tahun pertama telah diselenggarakan sebanyak lima kali. Pesertanya bukanlah hanya orang Jawa saja. Disayangkan bahwa tidak banyak anak muda yang berminat untuk mengikuti kursus kebudayaan Jawa.
Salah satu manifestasi kebudayaan yang di mana-mana diteruskan dan dikembangkan adalah pengolahan makanan. Banyak warung atau restoran Jawa tersebar di kota Paramaribo yang menghidangkan misalnya pecil (pecel), gudangan (urap), nasi rames, gulai, saoto (soto) dan sate dan menjual jajan pasar. Disamping menjual makanan ada juga warung yang menjajakan daging ayam halal mentah yang dipotong secara Islam.
Ada tiga pemancar radio dalam bahasa Jawa. Mereka menyiarkan acara-acara kebudayaan yang diadakan di seluruh negara, permintaan lagu-lagu dan penyiaran berita kelahiran, perkawinan atau kematian. Lagu penyanyi Jawa Didi Kempot yang sangat populer sering disiarkan dan begitu pula sering didengar lagu-lagu populer Barat yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Salah satu penyiar radio, Garuda, menerbitkan majalah Negara Express dimana ada pelajaran bahasa Jawa disamping dongengan si kancil, hari pasaran Jawa dan riwayat Ibu Kartini.
Orang-orang Jawa Suriname itu ingin mengetahui tentang kebudayaan, tradisi dan bahasa Jawa. Kelompok ini sangat haus akan informasi tentang Jawa dan perkembangan di Indonesia. Banyak yang tidak tahu letak pulau Jawa dan menyangka bahwa bahasa Jawa itu hanya ada satu macam saja. Mereka ingin tahu asal-usulnya dan tempat lahir leluhurnya. Para leluhur itu pada saat hijrah ke Suriname tidak membawa potret dan anak-anaknya tidak memperhatikan dongengan kakek-neneknya. Untuk menelusuri asal-usulnya, puluhan orang telah berkunjung ke Jawa untuk melihat lingkungan bekas kediaman kakek-neneknya.
Tetapi masih berapa lamakah perasaan solidaritas yang dipelihara lewat upacara selamatan dan upacara-upacara lainnya itu bisa terus berlangsung, mengingat proses modernisasi, pergaulan international dan perkawinan antar etnis? "Apakah saya harus memaksa anak-anak saya belajar bahasa Jawa? Sejak kecil mereka berbicara bahasa lokal (Sranantongo) dan setelah masuk sekolah harus belajar bahasa resmi ialah bahasa Belanda". Itulah pernyataan yang diungkapkan oleh banyak orang tua. Minat dan lingkungan pekerjaan menyebabkan generasi muda mengarahkan tujuan hidup, pikiran dan tindakannya ke arah yang tidak sejajar dengan asal Jawanya. Dikhawatirkan budaya Jawa di negeri jiran ini lambat laun akan terkikis dan diganti oleh budaya Jawa à la Suriname.
* Peneliti bidang ekonomi dan kependudukan. Penulis bertugas ke Suriname sebagai konsultan.
Penduduk Jawa di Suriname yang sekarang ini merupakan keturunan dari sekitar 33.000 orang Jawa yang di antara tahun 1890 dan 1939 dipikat untuk bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan-perkebunan di Suriname. Orang-orang Jawa dibujuk dan dijanjikan akan menjadi kaya jika kontraknya selesai sesudah lima tahun. Namun kemudian mereka sangat merasa ditipu karena ternyata pada akhir masa kontrak itu mereka tidak menjadi kaya. Mereka malu untuk pulang karena tidak memiliki uang, apalagi saat itu jarang sekali ada kapal yang berlayar ke Jawa. Oleh karena itu meskipun ada sebagian yang kembali ke Indonesia atau pergi ke Belanda kebanyakan menetap di Suriname. Mereka kawin dengan teman-teman senasib dan menjadi cikal bakal penduduk diaspora Jawa. Generasi mudanya sering mengatakan bahwa kakek dan nenek mereka kawin di kapal atau di perkebunan. Sekarang orang Jawa merupakan kelompok etnis ketiga di Suriname sesudah kelompok Kreol (turunan dari Afrika) dan Hindustan (India) dan membentuk 20 % dari jumlah total penduduk yang kira-kira 400.000 orang. Meski telah lebih dari seabad bermukim di Suriname, sedikit sekali tulisan yang membahas kelompok orang Jawa ini.
Kerukunan dan rasa persaudaraan orang Jawa diperkuat melalui pelaksanaan acara selamatan dan tradisi Jawa lainnya, seperti misalnya sunatan, mitoni (hamil tujuh bulan), upacara perkawinan Jawa, peringatan hari kesekian setelah meninggalnya seseorang. Pemahaman makna dan pelaksanaan upacara adat dan tradisi tersebut diubah dan disesuaikan dengan pemahaman para penganut budaya itu sendiri, sehingga tidak sama dengan yang biasa dilaksanakan di Jawa. Misalnya kematian seseorang juga diperingati sesudah satu dan dua tahun dan sesudah lewat satu windu. Juga ada perbedaan antara adat kebiasaan Islam dan tradisi kejawen. Contoh lain dari perbedaan tafsiran adalah arah kiblat. Karena di Jawa orang Islam mengambil arah kiblat ke Barat, maka setibanya di Suriname pun mereka mendirikan mesjid dengan arah kiblat ke Barat. Namun kemudian datang kelompok baru yang berpendapat bahwa di Suriname arah kiblatnya ke Timur. Mereka pun mendirikan mesjid dengan arah yang berlawanan. Maka sampai sekarang masih terdapat dua macam arah mesjid. Pengikutnya pun dibedakan antara penganut aliran Barat yang lebih mempraktekkan Islam kejawen dan aliran Timur yang lebih Islam murni.
Keterikatan masyarakat Jawa di Suriname lebih diperkuat oleh tradisi daripada oleh agama Islam. Karena posisi (sosial dan ekonomi) orang Jawa dulu sangatlah rendah dibandingkan dengan golongan lainnya maka ekspresi tradisi dan adat sebagai perangkat untuk menggalang solidaritas sosial menjadi sangat penting bagi orang Jawa. Meskipun hidup kekurangan, orang-orang Jawa ternyata mampu mempertahankan dan meneruskan tradisi mereka lewat transmisi secara oral dari generasi ke generasi. Salah satu tradisi yang masih dianut ialah upacara bersih desa yang diadakan setelah lebaran atau Idul Fitri di desa-desa di Suriname. Juga ada pertunjukkan wayang kulit, seperti yang baru-baru ini diadakan di desa Mariënburg, di sebelah timur ibukota Paramaribo. Pertunjukan ini dihadiri oleh puluhan orang yang kebanyakan orang-orang lanjut usia. "Anak-anak muda tidak mempunyai perhatian lagi bagi pertunjukan wayang dan gamelan. Mereka menganggap geraknya sangat lamban. Apalagi banyak anak muda yang tidak mengerti bahasa Jawa" kata ibu Trisman yang setiap tahun menyediakan rumahnya bagi pertunjukan wayang tersebut. Seorang pria yang berusia 30 tahunan memang mengaku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh sang dalang yang menggunakan bahasa Jawa halus (kromo) itu.
Tidaklah mudah menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit sebab wayang dan gamelannya harus disewa dari tempat lain, sedangkan sinden dan dalangnya pun datang dari desa lainnya lagi. Wayang kulit yang dipakai kini sudah berumur kira-kira 80 tahun. Di Suriname tidak ada ahli yang bisa membuat wayang kulit. Untuk mengembangkan dan meneruskan kebudayaan Jawa, orang-orang ini harus sangat berdaya-cipta misalnya dalam membuat alat yang berbunyi seperti gong, untuk melengkapi perangkat gamelan yang ada.
Paramaribo, ibukota Suriname yang dihuni oleh hampir separuh penduduk negara ini, memberikan kesan kota tua dengan banyak gedung peninggalan jaman kolonial. Bangunan banyak dibuat dari kayu. Kondisi gedung-gedung dan jalanan sangat parah, di beberapa wilayah listrik sering padam dan air ledeng hanya mengalir pada jam-jam tertentu. Di kota ini ada gedung kesenian Sena Budaya yang sering dipakai untuk kursus menabuh gamelan, belajar menari Jawa dan juga pencak silat serta dipakai untuk pertunjukan kesenian suku bangsa yang lain. Gedung ini memiliki seperangkat gamelan yang disumbangkan oleh pemerintah Indonesia.
Moerti Moektini seorang pegawai KBRI lulusan Institut Seni Indonesia di Jogya, menyelenggarakan kursus menari Jawa dan menjadi juru rias pengantin Jawa. Menurut Moerti sekitar 20 orang ikut serta dalam kursus tariannya yang dalam tahun pertama telah diselenggarakan sebanyak lima kali. Pesertanya bukanlah hanya orang Jawa saja. Disayangkan bahwa tidak banyak anak muda yang berminat untuk mengikuti kursus kebudayaan Jawa.
Salah satu manifestasi kebudayaan yang di mana-mana diteruskan dan dikembangkan adalah pengolahan makanan. Banyak warung atau restoran Jawa tersebar di kota Paramaribo yang menghidangkan misalnya pecil (pecel), gudangan (urap), nasi rames, gulai, saoto (soto) dan sate dan menjual jajan pasar. Disamping menjual makanan ada juga warung yang menjajakan daging ayam halal mentah yang dipotong secara Islam.
Ada tiga pemancar radio dalam bahasa Jawa. Mereka menyiarkan acara-acara kebudayaan yang diadakan di seluruh negara, permintaan lagu-lagu dan penyiaran berita kelahiran, perkawinan atau kematian. Lagu penyanyi Jawa Didi Kempot yang sangat populer sering disiarkan dan begitu pula sering didengar lagu-lagu populer Barat yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Salah satu penyiar radio, Garuda, menerbitkan majalah Negara Express dimana ada pelajaran bahasa Jawa disamping dongengan si kancil, hari pasaran Jawa dan riwayat Ibu Kartini.
Orang-orang Jawa Suriname itu ingin mengetahui tentang kebudayaan, tradisi dan bahasa Jawa. Kelompok ini sangat haus akan informasi tentang Jawa dan perkembangan di Indonesia. Banyak yang tidak tahu letak pulau Jawa dan menyangka bahwa bahasa Jawa itu hanya ada satu macam saja. Mereka ingin tahu asal-usulnya dan tempat lahir leluhurnya. Para leluhur itu pada saat hijrah ke Suriname tidak membawa potret dan anak-anaknya tidak memperhatikan dongengan kakek-neneknya. Untuk menelusuri asal-usulnya, puluhan orang telah berkunjung ke Jawa untuk melihat lingkungan bekas kediaman kakek-neneknya.
Tetapi masih berapa lamakah perasaan solidaritas yang dipelihara lewat upacara selamatan dan upacara-upacara lainnya itu bisa terus berlangsung, mengingat proses modernisasi, pergaulan international dan perkawinan antar etnis? "Apakah saya harus memaksa anak-anak saya belajar bahasa Jawa? Sejak kecil mereka berbicara bahasa lokal (Sranantongo) dan setelah masuk sekolah harus belajar bahasa resmi ialah bahasa Belanda". Itulah pernyataan yang diungkapkan oleh banyak orang tua. Minat dan lingkungan pekerjaan menyebabkan generasi muda mengarahkan tujuan hidup, pikiran dan tindakannya ke arah yang tidak sejajar dengan asal Jawanya. Dikhawatirkan budaya Jawa di negeri jiran ini lambat laun akan terkikis dan diganti oleh budaya Jawa à la Suriname.
* Peneliti bidang ekonomi dan kependudukan. Penulis bertugas ke Suriname sebagai konsultan.
http://www.boengamas.com/index.php?option=com_content&task=view&id=7&Itemid=2
Comments
Post a Comment