Gerakan Kebatinan Dalam Masyarakat Jawa: Sebuah Budaya atau Sebuah Agama Baru
By admin | October 3, 2008
Para ahli Antropologi dan Sosiologi meyakini bahwa masyarakat Jawa terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kepercayaan dan amal agamanya. Beberapa ahli mencoba merumuskan pembagian keompok itu, yang paling terkenal adalah kategorisasi yang dibuat Geertz. Ia mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kategori sebagai berikut:
1. Santri, yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam dan memegang teguh syariat Islam. Mengerjakan segala kewajiban, semacam Shalat, Zakat, Puasa, dan meninggalkan segala keharaman, tidak makan babi, tidak membuat sesajen, dan sebagainya.
2. Abangan, yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam namu kurang memegang teguh syariat Islam. Mereka yang tergolong dalam kategori ini tidak shalat, puasa, dan sebagainya. Masih mengerjakan amalan-amalan berbau Hindu semacam sesajen, grebegan, dan lainnya.
3. Priyayi, yakni golongan masyarakat Jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau bangsawan. Mereka menempati posisi yang dimuliakan baik oleh kalangan santri maupun abangan, terlepas dari sikap dan cara keberagamaan mereka.
Sementara itu, dalam pengelompokan yang dikemukakan Deliar Noer dan Zaini Muchtarom, hanya ada dua kelompok, yakni Santri dan Abangan saja.
Dalam membangun dasar pemahaman tentang kepercayaan dan keagamaan kelompok santri dan abangan, rasanya kita perlu menempatkan agama-agama yang mempengaruhi orang Jawa berdasarkan lintasan zaman. Setelah zaman prasejarah serta kurun kepercayaan animis, Agama Hindu masuk ke Pulau Jawa pada abad pertama Masehi. Tetapi Hindu sebagai sebuah peradaban baru mencapai kemajuan di Jawa pada abad kelima. Kerajaan Jawa yang bercorak Hindu mulai muncul sejak abad kedelapan hingga awal abad keenam belas dan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: Kerajaan di Jawa Tengah dan Kerajaan di Jawa Timur.
Hinduisme yang masuk ke Jawa tergolong sebagai aliran Hindu-Syvaisme (pemuja Syiwa). Menurut Muchtarom, ada beberapa bukti bahwa Buddhisme pun masuk ke Jawa pada beberapa dasawarsa terakhir abad ketujuh. Budha yang masuk ke Jawa ketika itu ialah aliran Mahayana, sementara sebelum itu aliran Budha-Hinayana telah masuk dan bercokol Sumatera.
Sejak pertengahan abad kesepuluh hingga pertengahan abad kelima belas, kebudayaan Hindu berkembang pesat di Jawa. Ini merupakan bukti bahwa Hinduisme dan Buddhisme yang masuk ke Jawa melalui para pedagang India diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme kuno Jawa Pra-Hindu.
Konsepsi dasar Jawa mengenai dunia gaib (dunia yang tak nampak), didasarkan pada gagasan bahwa semua perwujudan dalam kehidupan disebabkan oleh makhluk berfikir yang berkepribadian yang mempunyai kehendak sendiri. Gagasan animis ini dapat dirumuskan demikian: segala sesuatu dalam alam, di dunia hewan dan tumbuhan, apakah besar atau kecil, mempunyai nyawanya sendiri. Kepercayaan religius ini merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis juga agama Hinduisme yang semuanya telah ditambah dengan ajaran Islam. Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut hyang atau yang yang berarti ‘tuhan’. Tuhan dalam bahasa Jawa terkadang dinamakan Hyang Maha Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Shalat sehari-hari disebut sembahyang dalam bahasa Jawa. Kata ini berasal dari kata sembah yang berarti ‘penyembahan’ dan yang yang artinya ‘tuhan’. Tak seorangpun dapat menghitung jumlah para yang. Di antaranya terdapat danyang desa (roh pelindung desa). Orang Jawa menganggap bahwa setiap desa mempunyai roh pelindung sendiri yang tinggal dalam sebatang pohon yang rindang. Penduduk membayangkan bahwa roh-roh itu sudah tinggal di tempat tersebut sebelum tanah itu dibersihkan untuk pembangunan desa yang bersangkutan. Banyak orang desa yang ingin mendapat berkah atau minta perlindungan terhadap bencana, mengantarkan saji-sajian berupa kemenyan dan bunga ke tempat sajian pohon besar tersebut serta mengemukakan kesulitannya dan kebutuhannya akan perlindungan kepada danyang desa. Dalam bahasa Jawa puja itu disebut donga yang berasal dari kata bahasa Arab du’a. Donga itu terdiri atas rumus-rumus bahasa Arab yang dinamakan donga slamet (doa keselamatan). Bukan hanya desa yang ada danyangnya melainkan juga sawah, pasar, gedung-gedung besar dan sebagainya. Tempat-tempat yang dikuasai oleh danyang dan tidak dapat dihuni atau dimasuki oleh manusia disebut angker dalam bahasa Jawa yang artinya ‘tidak dapat didekati’.
Hinduisme dan Islam telah menambahkan sejumlah kauna gaib (roh halus) kepada dunia roh-roh orang Jawa. Selain danyang orang Jawa percaya kepada dewa dan kepada widadari (bidadari) yang berasal dari Hinduisme. Kepercayaan mereka kepada jim (jin) kata yang berasal dari kata Arab jinn, dan setan berakar dalam Islam. Sesuai dengan itu roh-roh halus dengan berbagai asal dimasukkan ke dalam dunia gaib orang Jawa. Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam, dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional ialah slametan (selamatan, kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum di antara para abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan itu. Slametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan Buddhis-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan. Jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh berkah atau minta perlindungan dari bencana, maka slametan harus diadakan. Tujuan utama slametan ialah mencari keadaan slamet (selamat) dalam arti idak terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib. Dalam slametan orang Jawa bukan minta kesenangan atau tambahan kekayaan, melainkan semata-mata agar jangan terjadi apa-apa yang dapat membingungkan atau menyedihkan dia, yang memiskinkan atau menjadikan dia sakit. Slametan semacam ini bagi para abangan melambangkan keharusan kerja sama dan ikatan sosial. Di samping slametan untuk kesempatan khusus, setiap tahun penduduk desa mengadakan kenduri bagi roh pelindung yang terkenal sebagai sedekah bumi. Ini dirayakan di luar rumah, di bawah pohon atau di sawah di bawah tarub (tenda). untuk kenduri upacara ini seekor kerbau disembelih dan kepalanya, tulang, dan tubuhnya dipendam pada tempat itu juga. Sungguh kebiasaan yang mubazir dan tidak masuk akal alias tidak logis dan rasional.
Kebiasaan menyembah arwah orang mati terutama arwah para leluhur atau apa yang disebut cikal bakal, pendiri desa semula, memainkan peranan yang penting secara religius di antara kaum abangan. Yang sama pentingnya ialah penghormatan kepada kuburan-kuburan suci yang disebut keramat. Kata ini berasal dari kata bahasa Arab karamah yang berarti mulia. Banyak kuburan ‘orang suci’ di Jawa yang dianggap keramat, seperti makam para wali. Ribuan orang dari segala pelosok pulau Jawa berziarah ke makam-makam tersebut untuk mendapat berkah. Penghormatan kepada orang mati diungkapkan dengan jalan membersihkan kuburan dan sebagian dengan mengadakan kenduri yang oleh orang Jawa dipandang sajian kepada atau sajian untuk orang yang meninggal itu. Kalau niat kita berziarah ke kuburan itu adalah untuk mengingat mati atau untuk mendoakan dan memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang sudah meninggal itu, maka hal ini tidaklah menjadi masalah. Akan tetapi kalau meminta-minta kepada arwah orang yang sudah mati atau bahkan menyembahnya maka kita akan jatuh ke lembah syirik yang merupakan dosa besar yang tidak akan diampuni Allah.
Satu benda lagi yang oleh orang abangan sangat dihormati ialah keris. Senjata tersebut menduduki tempat terkemuka di antara tanda-tanda kebesaran raja, maupun di antara pusaka yang turun-temurun. Meskipun keris semula termasuk perlengkapan seorang prajurit, namun sekarang hanya merupakan bagian upacara untuk pakaian kebesaran. Keris khusus dipakai oleh banyak pegawai keraton. Menurut kepercayaan abangan, keris mempunyai kesaktian yang dapat dipindahkan kepada seseorang yang memegangnya atau memakainya, dan ada keris yang bertuah (membawa keuntungan). Bila pembuat keris (empu) berniat menempa keris ia bukan saja perlu memilih waktu yang cocok untuk memulai, melainkan ia harus juga melewati masa pantangan dan semadi yang mutlak. Ia harus berpuasa selama sejumlah hari tertentu, dan selama sejumlah pekan tertentu ia juga tidak boleh menyentuh daging atau ikan atau beberapa bahan makanan lain tertentu. Agar dapat memperoleh keridoan Ilahi ia harus juga mengalahkan semua nafsu badaniah dan harus meninggalkannya. Cara inilah tapa yang merupakan gabungan dari puasa, pantangan, samadi, dan pemusatan pikiran. Puasa adalah ibadah kepada Allah karena itu harus dilakukan karena Allah dan untuk Allah. Akan tetapi kalau dilakukan karena keris dan untuk keris maka kita menyekutukan Allah.
Orang Jawa khususnya abangan percaya kepada kemampuan dukun, yaitu seorang yang mampu mengendalikan roh-roh melalui ngelmu-ngelmu-nya. Dengan ngelmu tersebut para abangan berharap akan mendapat kekuasaan, kekayaan, dan keagungan. Ngelmu tersebut digunakan juga untuk menjamin penyelamatannya di akhirat. Sebenarnya ngelmu terdiri atas campuran ‘ganjil’ dari berbagai unsur dalil-dalil filsafat teologi serta definisi, rumus, mantra, dan sihir. Kata dan ungkapan yang dipakai dalam ngelmu mencakup aneka ragam gubahan, termasuk gubahan Hindu, Jawa, dan Arab. Pada praktek ini terdapat beberapa dosa besar yaitu bermain sihir, mengunjungi dukun, berhubungan dengan roh tanpa tujuan yang jelas dan meminta sesuatu kepada yang selain Allah.
Proses sinkretisasi antara Islam dengan kebudayaan setempat di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara. Teori masuknya Islam yang dipakai adalah Teori Gujarat, yang menyatakan asal negara yang membawa agama Islam ke Nusantara adalah dari Gujarat. Adapun peletak dasar teori ini adalah Snouck Hurgonje, dalam bukunya L’Arabie et les Indies Neerlandaises, atau Revue de l’Histoire des Religious, jilid IV.
Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
Teori Snouck Hurgronje diperkuat oleh Clifford Geertz dalam The Religion of Java. Perkembangan ajaran Islam di Indonesia diwarnai oleh ajaran Hindu, Budha, dan bahkan animisme, sebagai ajaran-ajarann yang telah lama berkembang di Indonesia sebelum Islam. Hal ini merupakan akibat putusnya hubungan Indonesia dengan negara asal Islam yaitu Makkah atau Kairo. Sehingga terlihat praktik mistik Budha yang diberi nama Arab, raja Hindu berubah namanya menjadi Sultan, sedangkan rakyat kebanyakan masih mempraktikkan ajaran animisme.
Terputusnya hubungan antara Makkah-Kairo dengan Islam Indonesia berlangsung sampai abad ke-19. Pada abad ini baru terjadi perubahan Islam sebagai akibat banyaknya umat Islam Indonesia yang naik haji. selain itu juga sebagai akibat banyaknya pedagang Arab dari Hadramaut datang ke Indonesia. Peristiwa terhubungnya kembali Islam Indonesia dengan Makkah-Kairo ini, menurut Geertz menggetarkan kembali jantung kehidupan Islam Indonesia. Sekalipun demikian, yang mampu menyerap ajaran Islam asli hanyalah sekelompok kecil yakni kalangan santri. Sebagian besar rakyat Indonesia masih dapat dikatakan belum mempraktikkan ajaran Islam yang sebenarnya. Keterangan Clifford Geertz di atas ini memberikan gambaran perbandingan antara pengaruh Makkah-Kairo dan India. Di antara kedua pengaruh ini yang paling kuat adalah pengaruh India. Besarnya pengaruh India ketimbang Arab dalam proses Islamisasi Indonesia tampak dalam ajaran mistik Islam yang berkembang di Indonesia, bukan dilakukan oleh bangsa Arab melainkan oleh bangsa India yang telah beragama Islam. Harry J. Benda berpendapat bila agama Islam berasal langsung dari Timur Tengah dan menerapkan ajaran asli di Nusantara, tidak akan menemukan penganut di Indonesia, lebih-lebih pulau Jawa. Dibuktikan dengan adanya orang-orang Arab yang lama tinggal di pantai-pantai, tetapi mengapa baru pada abad ke-15 dan ke-16 agama Islam menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di Nusantara. Jadi dengan demikian menurut Harry J. Benda, hanya dengan melalui pemantulan dua kali (yaitu tidak langsung ke Indonesia melainkan ke India dahulu), agama Islam rupanya mendapatkan titik pertemuan dengan Indonesia, khususnya dengan pulau Jawa yang dipengaruhi oleh India.
Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan Islam yang datang dari Gujarat adalah Islam yang mengalami proses pencampuradukkan dengan agama Hindu, Budha, animisme, dan paganisme. Dengan kata lain Islam yang sinkretik, berbeda dengan Islam di Mekkah yang masih murni. Islam dengan bentuk seperti itulah yang datang ke Indonesia. Karena Islam yang datang adalah Islam yang campur-aduk maka perlu perjuangan yang sangat berat untuk memurnikannya dari unsur-unsur syirik.
Islam kemudian disebarkan ke Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan adalah dengan keadaan sebagaimana Islam di Gujarat itu. Setelah masuk ke Indonesia Islam yang sudah sinkretik itu disesuaikan lagi atau dicampuradukkan lagi dengan agama-agama yang sudah ada terlebih dahulu di Indonesia seperti Hindu, Budha, atau agama asli Indonesia seperti animisme atau dinamisme. Tetapi proses sinkretisasi yang paling kental adalah terjadi di Jawa. Jawa adalah sebuah negeri di mana rakyatnya mempunyai prinsip semua agama adalah sama.
Pada waktu Islam masuk keraton yang pada awalnya Islam tersebut memang sudah tidak murni lagi penuh dengan sinkretisme kemudian ditambah lagi dengan unsur-unsur yang telah ada di Jawa yaitu Hindu-Budha beserta konsep dewarajanya sehingga para pujangga keraton Jawa melakukan pemikiran-pemikiran yang tujuannya adalah melanggengkan kekuasaan raja-raja Jawa, termasuk pemikiran- pemikiran Islam yang masuk dan berkembang, banyak untuk melanggengkan kekuasaan. Atau dengan kata lain para pujangga keraton itu adalah para penjilat-penjilat kekuasaan yang busuk. Bahkan konsep kekhalifahan dalam Islam, menjadi tak ubahnya konsep dewaraja yang ganti baju.
Pergeseran kekuasaan dari Demak yang paling kuat keislamannya ke Pajang (yang lebih lemah keislamannya) lalu ke Mataram (yang paling lemah), membawa konsekuensi logis seperti semakin menguatnya sinkretisme Islam. Hal ini pernah pula diungkapkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dan Emha Ainun Najib sebagai berpindahnya kekuasaan dari Jawa-Islam ke Islam-Jawa. Sebuah kemunduran yang sangat menyakitkan dan memprihatinkan buat penganut Islam yang murni.
Setelah Mataram mencapai kebesaran dan kemuliaannya maka diaturlah silsilah keturunan Raja Mataram bahwa raja Mataram adalah keturunan Majapahit, Pajajaran, Abimanyu, Arjuna, Nabi Sis, Nabi Adam, dan kawin pula dengan Nyai Roro Kidul di Laut Selatan. Ini adalah karena pada saat itu raja Jawa mulai kehilangan kekuasaannya di pantai utara Jawa. Karena itu dikaranglah cerita bahwa pantai selatan itu juga berharga karena keramat. Hal ini adalah untuk menghibur diri raja Jawa itu. Padahal, pada zaman pusat kekuasaan Jawa berada di pesisir, cara yang serupa ini tidak dipakai. Dan di pesisir, ajaran-ajaran para ulama masih besar pengaruhnya. Giri masih dipandang sebagai pusat Islam. Tetapi setelah Mataram naik Giri pun berkali-kali diperangi. Ini adalah perlakuan dari murid yang murtad atau murid yang durhaka.
Untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Jawa memeluk agama Islam, keraton mendirikan sebuah badan yang dinamakan Yogosworo sebagai badan yang diserahi mengurus urusan-urusan agama. Dalam Madzhab Syafi’’i shalat Jum’at baru sah kalau diikuti minimal oleh 40 orang. Maka diangkatlah pegawai masjid sebanyak 40 orang, mulai dari imam dan khatibnya sampai muadzinnya (modin) dan sampai kepada orang-orang yang diserahi mengurus kematian. Merekalah yang resmi mengurus agama. Juga didirikan masjid di hadapan keraton, diselingi di tengahnya dengan alun-alun (tanah lapang). Tetapi di samping itu, adat istiadat kerajaan sekali-kali tidak boleh diubah. Bahkan harus dipelihara dan diperdalam filsafatnya. Sebuah usaha untuk merebut hati umat Islam dan mencegah pemberontakan dengan cara melakukan tipu daya kepada umat Islam.
Kerajaan Mataram pada masa pendirinya yaitu Panembahan Senapati cukup konfrontatif dengan golongan Islam terbukti dengan memerangi Giri. Memang Panembahan Senapati adalah politikus yang tidak segan-segan berkhianat kepada gurunya dan orang yang dituakan di pulau Jawa.
Oleh penerusnya yaitu Sultan Agung hal ini dinilai berbahaya bagi kelanggengan kekuasaan. Karena itu ia berusaha mempersatukan dua unsur dominan rakyat kerajaannya yaitu golongan Islam dan golongan kejawen. Misalnya menyatukan kepustakaan Jawa dengan kepustakaan Islam. Ia menyatukan tahun Saka dengan Tahun Hijriyah, mengadakan peringatan Satu Suro. Tradisi ini diteruskan oleh penerus Mataram. Misalnya Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Ini adalah sebuah usaha politik lagi untuk merebut hati umat Islam dan meredam pemberontakan.
Selain raja-raja Jawa, penyebar agama Islam yang penuh sinkretisme itu adalah walisongo, terutama di Jawa Tengah yaitu Sunan Kalijaga atau Kalijogo. Hal itu amat tampak pada bentuk Islam hingga sekarang. Memang ada karakteristik tersendiri antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang-orang Jawa timur, walaupun ada unsur-unsur Hindu-Budha, misalnya selametan dan nujubulanan, umumnya rajin shalat dan berlatar belakang “Islam Santri”. Ini tak lepas dari pengaruh sejarah. Jawa Timur dipegang oleh Sunan Giri yang keras. Jawa Barat dipegang oleh Sunan Gunung Jati yang tidak kalah keras. Sementara, di Jawa Tengah, dipengaruhi oleh Sunan Kalijaga. Ia sunan yang paling toleran. Sehingga bagi orang Jawa Tengah (kecuali di pesisir utara -selain Semarang- yang kuat keislamannya), yang penting memeluk agama Islam. Tidak salatpun tidak apa-apa. Sebuah kebiasaan yang sangat disayangkan karena membuat orang-orang Jawa Tengah mayoritas malas untuk shalat. Dan terbukti karena tidak shalat tidak apa-apa maka pusat-pusat pemurtadan (Kristenisasi) sangat kuat di Jawa Tengah ini.
Kebanyakan kaum antropolog seperti Clifford Geertz dalam The Religion of Java (Edisi Indonesianya lihat not No. 56) dan Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Jawa memandang kebatinan atau kejawen sebagai salah satu varian dari agama Islam. Koentjaraningrat misalnya membagi perwujudan Islam di Jawa menjadi dua varian yaitu agama Islam Jawa (kejawen) yang sinkretis, yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam; dan agama Islam yang puritan(santri) yang mengikuti ajaran agama secara lebih taat. Bentuk agama Islam orang Jawa, baik para pengikut kebatinan (kejawen) ataupun yang sering digolongkan sebagai abangan, merupakan sinkretis antara unsur-unsur pribumi, Hindu-Budha, dan Islam. Walaupun mereka banyak yang belum menjalankan salat lima waktu dan salat Jum’at, namun mereka banyak yang taat berpuasa bulan Ramadhan. Mereka sangat yakin akan adanya Allah. Dan seperti halnya orang muslim pada umumnya mereka percaya bahwa Muhammad adalah nabi-Nya.
Mereka menyadari bahwa orang yang baik hidupnya akan masuk sorga, dan orang yang banyak dosanya akan masuk neraka. mereka juga mengerti bahwa Al Qur-an berisi firman-firman Allah. Mereka juga telah membaca syahadat dan bila hari raya Idul Fitri juga berzakat fithrah. Mereka juga pernah membaca fatihah setidak-tidaknya pada waktu dikhitan. Dalam upacara perkawinan dan penguburan jenazah juga mengikuti cara-cara Islam dengan bantuan para naib dan modin. Mereka juga ikut merayakan hari-hari besar Islam walaupun dengan cara mengadakan kenduri atau selamatan. Selain itu mereka masih tetap pula percaya pada makhluk-makhluk gaib, percaya pada kekuatan-kekuatan magis dan sakti, banyak menjalankan berbagai macam ritus dan upacara yang tidak berkaitan dengan ajaran Islam.
S.K. Trimurti, salah seorang tokoh penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menulis:
“Mereka yang memasuki aliran-aliran (kebatinan) ini, baik yang sudah berorganisasi maupun yang tidak, banyak yang dengan tekun menjalankan syari’ah agama yang dipeluknya masing-masing”.
Dari sudut pandangan di atas sebenarnya tidak ada masalah bagi komunikasi antara umat Islam santri dengan para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah satu varian dari agama Islam. Apalagi bagi umat Islam yang telah mengenal ajaran tasawuf atau yang menganut tasawuf, ajaran-ajaran kebatinan seperti yang dihayati dan dipahami oleh para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak asing bagi mereka. Bahkan berbagai aspeknya disadari atau tidak disadari bersumber dari ajaran tasawuf. Bagi para santri yang telah mempelajari ilmu tasawuf tidak akan kikuk bergaul dengan saudaranya yang menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tinjauan dari segi sejarah penyebaran Islam dan tasawuf akan lebih memperjelas kaitan ajaran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dengan Islam dan khususnya dengan tasawuf. Pertumbuhan dan perkembangan pengamalan ajaran kebatinan di Jawa nampak ada kemiripan dengan sejarah perkembangan tasawuf. Menurut A.H. Johns penyebaran agama Islam yang sejak abad XIII makin cepat meluas di kepulauan Indonesia, adalah terutama berkat kegiatan para Shufi (penganut tasawuf). Gagasan-gagasan mistik memang mendapat sambutan hangat di Jawa karena sejak zaman sebelum masuknya Islam, tradisi kebudayaan Jawa Hindu sudah didominasi oleh unsur-unsur mistik. Dalam serat-serat babad, guru-guru agama penyebar Islam di Jawa pada mulanya terkenal dengan sebutan para wali tanah Jawa. Wali dalam pengertian ini memang khusus berkaitan dengan ajaran tasawuf. Menurut Dr. Soewito Santoso penyebaran Islam di Indonesia segera diikuti proses Islamisasi kepustakaan Jawa. Ia mengatakan:
“Islamization is the process of reforming any cultural product from another culture into something acceptable to muslims and in accordance with the basic principles and nations of Islam”.
Yang cukup unik adalah bahwa proses islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa ini tidak hanya dilakukan oleh para santri penyiar agama saja, tetapi justru terutama oleh raja dan pembantu-pembantunya sebagai pecinta dan pengembang kebudayaan Jawa. Hal ini amat nyata pada zaman Mataram. Agaknya para raja dan sastrawan kerajaan Mataram amat berkepentingan bagi pengintegrasian antara lingkungan kebudayaan pesantren dengan lingkungan kebudayaan Jawa. Hal ini memang amat penting bagi stabilitas kerajaan dan sosial-budaya. Sultan Agung (1613-1645) sebagai raja terbesar kerajaan Mataram nampak memelopori proses islamisasi ini. Di samping beliau banyak menarik peranan para ulama dalam pemerintahan kerajaan, Sultan Agung juga mengubah perhitungan tahun Saka berdasarkan perjalanan matahari menjadi tahun Jawa berdasarkan perjalanan bulan yang disesuaikan dengan perhitungan tahun Hijriyah. Perhitungan Tahun Jawa ciptaan Sultan Agung ini segera diterima baik oleh masyarakat Jawa (kejawen) maupun oleh masyarakat pesantren. Tindakan semacam ini juga dilakukan oleh para sastrawan dan para pujangga istana terhadap kepustakaan Jawa. Proses pengislaman karya-karya sastra Jawa pada zaman Jawa-Islam memang perlu agar dapat disebarkan dalam masyarakat luas. Hal ini nampak jelas dalam masa kebangkitan rohani dan masa pembaruan kepustakaan Jawa masa Surakarta. Sesudah terjadinya perpecahan kerajaan menjadi Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman, yang masing-masing kerajaan kecil ini makin dikurangi kekuasaan sosial-politiknya oleh pemerintah kolonial Belanda, seluruh perhatian istana lalu ditujukan untuk mencapai keluhuran rohani, yakni dalam bidang kebudayaan. Timbullah renaisans dalam bidang kebudayaan dan kepustakaan Jawa. Berbagai macam kitab berbahasa Jawa kuna yang sudah tak dimengerti oleh masyarakat Jawa digubah dan diperbarui ke dalam bahasa Jawa baru dan disesuaikan dengan zaman Islam. Kepustakaan Jawa yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam (yang sudah tumbuh sejak zaman kerajaan Jawa-Islam Demak) dinamakan oleh Dr. Simuh kepustakaan Islam-Kejawen. Ciri karya-karya sastra Jawa yang disusun pada masa kebangkitan rohani masa Surakarta ini sifatnya makin mistis dan istana-sentris. Dalam hal agama Islam, unsur-unsur tasawuf yang amat disenangi dan digubah serta dipertemukan dengan tradisi kejawen. Di samping yang berbentuk cerita-cerita seperti serat Ambiya, Tapel Adam, serat Kandha, Paromoyogo, serta Menak, dan lain-lainnya, timbul tiga jenis kepustakaan Islam-Kejawen, yaitu Suluk, Wirid, dan Primbon. Suluk dan Wirid jelas berinti ajaran mistik, karena kedua nama ini berkaitan dengan tasawuf. Wirid menurut tradisi kejawen adalah ajaran mistik yang umumnya disusun dalam bentuk prosa (jarwa). Sedang serat suluk berbentuk sekar (puisi). Sebagai contoh misalnya proses islamisasi naskah serat bimasuci, suatu serat yang merupakan inti pandangan atau falsafah mistik kejawen. Dalam hal ini Dr. Soewito Santoso mengatakan sebagai berikut:
“We see a Javanese muslim interpreting the Bimasuci in the Islamic manner or in other words making the Bimasuci acceptable to Muslims. Yet it can be seen In another light namely, that he tries to make Islam accepted by people who still believe in the mysticism of the Bimasuci. So we can understand the case on one hand as an attempt to Islamize the Bimasuci, and on the other hand to localize Islam”.
Jadi proses Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa mempunyai aspek ganda. Yakni memperkenalkan dan meresapkan unsur-unsur ajaran Islam kepada masyarakat dan para pecinta kepustakaan Jawa. Di samping itu proses ini menyebabkan pula kepustakaan Jawa ini diterima oleh masyarakat santri. Para Santri banyak yang memegangi kitab-kitab babad yang menyuguhkan cerita-cerita mitos tentang para wali dan kesaktian raja-raja Jawa. Jadi pengislaman kebudayaan dan kepustakaan Jawa menjadi sarana integrasi sosial budaya bagi masyarakat pesantren dan masyarakat kejawen. Ajaran-ajaran mistik Jawa atau kebatinan pada mulanya berkembang dan tersimpan dalam beberapa macam serat wirid dan serat suluk, seperti misalnya Wirid Hidayat Jati, maklumat Jati, Centhini, Wedhatama, Wulangreh, Suluk Suksma Lelana, Malang Sumirang, Suluk Wujil, Sastra Gendhing, Jati Swara, Kunci Swarga, dan lain-lainnya. Kesemuanya adalah kitab-kitab yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam, terutama unsur tasawufnya. Hampir semua ajaran kebatinan mengenal nafsu-nafsu amarah, lawwamah, dan muthmmainnnah, dari ajaran Al Ghazali.
Ciri dari ajaran mistik yang tersimpan dalam kepustakaan kejawen adalah hasil gubahan dan pemikiran para pujangga dan sastrawan yang berjiwa mandiri, individual, dan merupakan golongan khawas, (elite kerohanian). Kemudian dengan munculnya gerakan-gerakan kebatinan yang kini banyak tergabung dalam kelompok penghayat kepercayaan terhadap TuhanYang Maha Esa, pertumbuhannya mirip dengan ordo-ordo tarekat dalam tasawuf. Yakni merupakan upaya untuk memasyarakatkan ajaran mistik atau kebatinan, yang dulunya dalam kitab-kitab suluk harus selalu dirahasiakan. Hanya boleh diwejangkan dengan sembunyi-sembunyi bagi orang yang berbakat untuk ajaran itu. Dalam Centhini misalnya ajaran mistik hanya diwejangkan kepada Amogrogo kepada istrinya Tambangraras dan centhi-nya Nyai Centhini. Sedangkan kepada mertuanya Banupunarpa hanya diajar sareat saja. Dalam Islam munculnya beratus-ratus ajaran tarekat tidak banyak menimbulkan problem sosial keagamaan. Karena semua tarekat itu masih terikat dalam kesatuan sareat sebagai benang pengikat dan pemersatunya. Ikatan sareat bersama ini tidak dimiliki oleh berbagai kelompok aliran kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Munculnya aliran-aliran kebatinan atau kejawen yang tumbuh sejak masa pergerakan kebangsaan dan terutama sesuadah masa kemerdekaan dan pembangunan menurut Soedjatmoko mencerminkan gejala revitalisasi beberapa kebudyaan tradisional. Yakni munculnya kejawen atau kebatinan dinilai sebagai suatu respon positif terhadap tantangan kehidupan modern dan terhadap tantangan yang dilontarkan oleh keinginan untuk membangun. Gejala pemunculan aliran kebatinan atau kejawen memang upaya untuk mempertahankan dan memasyarakatkan kembali nilai-nilai kerohanian tradisional yang langsung mendapat gempuran arus pembaratan yang terbawa oleh proses modernisasi. Bahwa nilai mistik yang dalam tradisi Jawa semenjak dulu dipandang sebagai ilmu kasampurnan kini terancam oleh orientasi rasional-ilmiah yang mendasari peradaban modern. Maka seperti halnya dalam kalangan penganut tarekat, timbul pula kesadaran dan optimisme dalam kalangan pecinta mistik Jawa atau kejawen. Bahwa aspek kerohanian kebudayaan Jawa masih merupakan nilai yang sangat berharga dan dapat disumbangkan untuk menangkal aspek negatif dari peradaban modern. Bahwa kepincangan dunia modern yang terlalu sekular-materialistis perlu diobati dan dikawinkan dengan aspek rohani warisan kebudayaan Timur, yakni Jawa. Namun kelemahan terbesar dari aspek kerohanian Jawa yang tidak berkitab suci ini adalah tidak adanya kesatuan konsep. Inilah yang membuat aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini amburadul, campur-aduk, tumpang-tindih, tidak jelas dan hancur-lebur.
Aspek kerohanian Jawa merupakan pembauran berbagai unsur dari kebudayaan asli (pribumi), Hindu-Budha, dan Islam, dengan kadar yang beraneka ragam. Maka pemunculannya kembali juga beraneka macam coraknya, sesuai dengan pemahaman dan paham masing-masing guru pembina alirannya. Dalam daftar Kejaksaan Agung tahun 1975/1976 terdaftar sejumlah 224 macam aliran. Direktorat PPK (sekarang Dit Binahayat) sejak tahun 1979 hingga 1981 berhasil menginventaris 182 macam aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dari nama-nama yang terdaftar di Direktorat PPK bisa dibayangkan betapa keanekaragaman jenis dan macam aliran-aliran kebatinan di atas. Ke 182 aliran yang terdaftar di Direktorat PPK tersebut nampaknya belum mencakup keseluruhan aliran-aliran kebatinan. Berbagai macam aliran yang masih bersifat lokal yang pernah dijumpai Dr. Simuh dalam penelitian di daerah-daerah Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, dan Cilacap, belum termasuk dalam daftar nama-nama di atas seperti aliran Rukun Warga di Sukaraja. Anak cucu Bandayuda di Cilacap, dan lain-lainnya. Dari penelitian yang dilakukan Dr. Simuh di daerah Banyumasan hingga sekitar Cilacap, dan yang dilakukan rekan-rekan Dr. Simuh tahun 1983 di sekitar negeri Agung (Yogyakarta dan Surakarta), dan di daerah pesisir utara (Blora, Jepara, dan Rembang) bisa dikategorikan ada beberapa jenis aliran.
Ada sejumlah aliran yang lebih menekankan pada aaspek mistiknya yang cukup halus, yakni menekankan pada upaya mencapai penghayatan manunggaling kawulo-gusti (union mistik). Ada pula sejumlah aliran yang lebih menekankan pada aspek pembinaan moral kerohanian dengan ajaran-ajaran yang sangat sederhana dan lugu, seperti misalnya Aliran Hurip Bener (hidup betul). Kalau hanya menekankan pada pembinaan moral masih bisa ditolerir.
Tetapi banyak pula aliran-aliran yang lebih menonjolkan aspek-aspek animisme-dinamisme, yakni ada yang menekankan pada hubungan dengan roh-roh gaib untuk mendapatkan wangsit bagi berbagai keperluan (spiritualis). Ada yang menekankan penggunaan getaran-getaran dari dalam, baik bagi macam-macam keperluan, atau bahkan untuk keperluan berhubungan dengan dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah kesyirikan yang luar biasa.
Pada dasarnya gerakan mistik adalah independen (bebas). Oleh karena itu, Prof. Soedjito Sosrodihardjo, dalam bukunya Sosiologi Agama mengatakan:
“Pada umumnya seorang ahli mistik terkenal sebagai orang yang tidak mau tunduk kepada peraturan keduniawian. Dia percaya bahwa dengan jalan mistiknya, dia dapat berhubungan langsung dengan Tuhan dan dapat pula menerima petunjuk-petunjuk langsung dari Tuhan. Jika di dalam suatu daerah terdapat banyak penganut aliran-aliran mistik, khususnya yang telah berubah menjadi magi, maka besar sekali kemungkinannya bahwa para penganut ini tidak mau tunduk pada peraturan-peraturan pemerintah.
Di dalam sejarah kerap kali terjadi pengejaran-pengejaran terhadap ahli mistik, khususnya di luar negeri. Di Indonesia hal ini belum terdapat, meskipun telah terjadi gejala-gejala yang membahayakan. Yaitu misalnya pembunuhan (dengan cara pembedahan) seseorang oleh keluarganya sendiri, karena merasa dapat perintah gaib. Dalam pada itu pemerintah telah pula mengambil langkah-langkah penertiban. Di sini kita lihat ekses-ekses akibat-akibat yang negatif daripada mistik yang telah berubah sifatnya menjadi magi.”
Pada umumnya aliran-aliran kebatinan itu sesuai dengan dasar kebudayaan Jawa bersifat patuh pada pemerintah. Namun dalam masa pertumbuhannya memang terdapat sementara aliran yang bersifat ekstrim dan berlebihan. Hal itu wajar apalagi dalam masa demokrasi liberal dulu. Pada masa itu ada golongan politik tertentu, terutama komunis (PKI), yang berusaha memperalat aliran-aliran kebatinan itu untuk diadu dengan golongan agama. Maka timbullah aliran-aliran yang terang-terangan mendakwahkan diri sebagai agama baru dan menyusun aturan-aturan perkawinan sendiri, sehingga menimbulkan konflik dalam masyarakat yang memancing pemerintah untuk campur tangan.
Di antara aliran yang menyatakan dirinya sebagai agama adalah ADARI (Agama Djawa Asli Republik Indonesia), IIH (Igama Iman Hak), Agama Adam Makrifat, dan sebagainya. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya keresahan masyarakat, berbagai aliran kebatinan itu diatur di bawah payung pengawasan kejaksaan. Beberapa di antara aliran itu terpaksa dibekukan atau dibubarkan dengan keputusan Jaksa Agung. Namun dalam perkembangan selanjutnya, para penganut aliran kebatinan segera membentuk wadah kerjasama untuk menghimpun semua aliran-aliran kebatinan dan menyalurkannya ke tujuan-tujuan yang positif dengan ungkapan sepi ing pamrih rame ing gawe. Wadah kerjasama itu semula bernama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI). Dengan memasyarakatkan ungkapan sepi ing pamrih rame ing gawe. Berarti BKKI mengingatkan dan berusaha lebih memurnikan tujuan aliran kebatinan ke arah cita mistik yang murni yakni sepi ing pamrih. Tidak mementingkan tujuan-tujuan yang bersifat duniawi. Dalam perkembangan selanjutnya di samping aliran-aliran kebatinan mendapatkan wadah bimbingan di bawah Depdikbud, juga mendapatkan pengakuan dalam GBHN dengan ungkapan “Aliran Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bukan agama, dan pengembangannya jangan sampai mengarah kepada pembentukan agama baru”. Tetapi dalam praktiknya banyak yang seperti agama baru misalnya cara doa tersendiri. Fenomena ini bahkan bisa disaksikan dalam acara-acara resmi kenegaraan, misalnya pelantikan anggota DPR/MPR yang kebetulan pengikut (atau penganut?) kebatinan.
Mahardhika Zifana
Sumber:
Agus Suherman. 2002. Makalah Perkembangan Gerakan Kebatinan Pada Masyarakat Jawa. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.
Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Penerbit Jambatan.
_____________. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia
_____________. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.
Majalah Derap terbitan bulan Februari minggu III tahun 1978
Makalah. Seminar Wali Songo di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Makalah. Seminar Pesantren di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Para ahli Antropologi dan Sosiologi meyakini bahwa masyarakat Jawa terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kepercayaan dan amal agamanya. Beberapa ahli mencoba merumuskan pembagian keompok itu, yang paling terkenal adalah kategorisasi yang dibuat Geertz. Ia mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kategori sebagai berikut:
1. Santri, yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam dan memegang teguh syariat Islam. Mengerjakan segala kewajiban, semacam Shalat, Zakat, Puasa, dan meninggalkan segala keharaman, tidak makan babi, tidak membuat sesajen, dan sebagainya.
2. Abangan, yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam namu kurang memegang teguh syariat Islam. Mereka yang tergolong dalam kategori ini tidak shalat, puasa, dan sebagainya. Masih mengerjakan amalan-amalan berbau Hindu semacam sesajen, grebegan, dan lainnya.
3. Priyayi, yakni golongan masyarakat Jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau bangsawan. Mereka menempati posisi yang dimuliakan baik oleh kalangan santri maupun abangan, terlepas dari sikap dan cara keberagamaan mereka.
Sementara itu, dalam pengelompokan yang dikemukakan Deliar Noer dan Zaini Muchtarom, hanya ada dua kelompok, yakni Santri dan Abangan saja.
Dalam membangun dasar pemahaman tentang kepercayaan dan keagamaan kelompok santri dan abangan, rasanya kita perlu menempatkan agama-agama yang mempengaruhi orang Jawa berdasarkan lintasan zaman. Setelah zaman prasejarah serta kurun kepercayaan animis, Agama Hindu masuk ke Pulau Jawa pada abad pertama Masehi. Tetapi Hindu sebagai sebuah peradaban baru mencapai kemajuan di Jawa pada abad kelima. Kerajaan Jawa yang bercorak Hindu mulai muncul sejak abad kedelapan hingga awal abad keenam belas dan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: Kerajaan di Jawa Tengah dan Kerajaan di Jawa Timur.
Hinduisme yang masuk ke Jawa tergolong sebagai aliran Hindu-Syvaisme (pemuja Syiwa). Menurut Muchtarom, ada beberapa bukti bahwa Buddhisme pun masuk ke Jawa pada beberapa dasawarsa terakhir abad ketujuh. Budha yang masuk ke Jawa ketika itu ialah aliran Mahayana, sementara sebelum itu aliran Budha-Hinayana telah masuk dan bercokol Sumatera.
Sejak pertengahan abad kesepuluh hingga pertengahan abad kelima belas, kebudayaan Hindu berkembang pesat di Jawa. Ini merupakan bukti bahwa Hinduisme dan Buddhisme yang masuk ke Jawa melalui para pedagang India diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme kuno Jawa Pra-Hindu.
Konsepsi dasar Jawa mengenai dunia gaib (dunia yang tak nampak), didasarkan pada gagasan bahwa semua perwujudan dalam kehidupan disebabkan oleh makhluk berfikir yang berkepribadian yang mempunyai kehendak sendiri. Gagasan animis ini dapat dirumuskan demikian: segala sesuatu dalam alam, di dunia hewan dan tumbuhan, apakah besar atau kecil, mempunyai nyawanya sendiri. Kepercayaan religius ini merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis juga agama Hinduisme yang semuanya telah ditambah dengan ajaran Islam. Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut hyang atau yang yang berarti ‘tuhan’. Tuhan dalam bahasa Jawa terkadang dinamakan Hyang Maha Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Shalat sehari-hari disebut sembahyang dalam bahasa Jawa. Kata ini berasal dari kata sembah yang berarti ‘penyembahan’ dan yang yang artinya ‘tuhan’. Tak seorangpun dapat menghitung jumlah para yang. Di antaranya terdapat danyang desa (roh pelindung desa). Orang Jawa menganggap bahwa setiap desa mempunyai roh pelindung sendiri yang tinggal dalam sebatang pohon yang rindang. Penduduk membayangkan bahwa roh-roh itu sudah tinggal di tempat tersebut sebelum tanah itu dibersihkan untuk pembangunan desa yang bersangkutan. Banyak orang desa yang ingin mendapat berkah atau minta perlindungan terhadap bencana, mengantarkan saji-sajian berupa kemenyan dan bunga ke tempat sajian pohon besar tersebut serta mengemukakan kesulitannya dan kebutuhannya akan perlindungan kepada danyang desa. Dalam bahasa Jawa puja itu disebut donga yang berasal dari kata bahasa Arab du’a. Donga itu terdiri atas rumus-rumus bahasa Arab yang dinamakan donga slamet (doa keselamatan). Bukan hanya desa yang ada danyangnya melainkan juga sawah, pasar, gedung-gedung besar dan sebagainya. Tempat-tempat yang dikuasai oleh danyang dan tidak dapat dihuni atau dimasuki oleh manusia disebut angker dalam bahasa Jawa yang artinya ‘tidak dapat didekati’.
Hinduisme dan Islam telah menambahkan sejumlah kauna gaib (roh halus) kepada dunia roh-roh orang Jawa. Selain danyang orang Jawa percaya kepada dewa dan kepada widadari (bidadari) yang berasal dari Hinduisme. Kepercayaan mereka kepada jim (jin) kata yang berasal dari kata Arab jinn, dan setan berakar dalam Islam. Sesuai dengan itu roh-roh halus dengan berbagai asal dimasukkan ke dalam dunia gaib orang Jawa. Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam, dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional ialah slametan (selamatan, kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum di antara para abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan itu. Slametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan Buddhis-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan. Jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh berkah atau minta perlindungan dari bencana, maka slametan harus diadakan. Tujuan utama slametan ialah mencari keadaan slamet (selamat) dalam arti idak terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib. Dalam slametan orang Jawa bukan minta kesenangan atau tambahan kekayaan, melainkan semata-mata agar jangan terjadi apa-apa yang dapat membingungkan atau menyedihkan dia, yang memiskinkan atau menjadikan dia sakit. Slametan semacam ini bagi para abangan melambangkan keharusan kerja sama dan ikatan sosial. Di samping slametan untuk kesempatan khusus, setiap tahun penduduk desa mengadakan kenduri bagi roh pelindung yang terkenal sebagai sedekah bumi. Ini dirayakan di luar rumah, di bawah pohon atau di sawah di bawah tarub (tenda). untuk kenduri upacara ini seekor kerbau disembelih dan kepalanya, tulang, dan tubuhnya dipendam pada tempat itu juga. Sungguh kebiasaan yang mubazir dan tidak masuk akal alias tidak logis dan rasional.
Kebiasaan menyembah arwah orang mati terutama arwah para leluhur atau apa yang disebut cikal bakal, pendiri desa semula, memainkan peranan yang penting secara religius di antara kaum abangan. Yang sama pentingnya ialah penghormatan kepada kuburan-kuburan suci yang disebut keramat. Kata ini berasal dari kata bahasa Arab karamah yang berarti mulia. Banyak kuburan ‘orang suci’ di Jawa yang dianggap keramat, seperti makam para wali. Ribuan orang dari segala pelosok pulau Jawa berziarah ke makam-makam tersebut untuk mendapat berkah. Penghormatan kepada orang mati diungkapkan dengan jalan membersihkan kuburan dan sebagian dengan mengadakan kenduri yang oleh orang Jawa dipandang sajian kepada atau sajian untuk orang yang meninggal itu. Kalau niat kita berziarah ke kuburan itu adalah untuk mengingat mati atau untuk mendoakan dan memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang sudah meninggal itu, maka hal ini tidaklah menjadi masalah. Akan tetapi kalau meminta-minta kepada arwah orang yang sudah mati atau bahkan menyembahnya maka kita akan jatuh ke lembah syirik yang merupakan dosa besar yang tidak akan diampuni Allah.
Satu benda lagi yang oleh orang abangan sangat dihormati ialah keris. Senjata tersebut menduduki tempat terkemuka di antara tanda-tanda kebesaran raja, maupun di antara pusaka yang turun-temurun. Meskipun keris semula termasuk perlengkapan seorang prajurit, namun sekarang hanya merupakan bagian upacara untuk pakaian kebesaran. Keris khusus dipakai oleh banyak pegawai keraton. Menurut kepercayaan abangan, keris mempunyai kesaktian yang dapat dipindahkan kepada seseorang yang memegangnya atau memakainya, dan ada keris yang bertuah (membawa keuntungan). Bila pembuat keris (empu) berniat menempa keris ia bukan saja perlu memilih waktu yang cocok untuk memulai, melainkan ia harus juga melewati masa pantangan dan semadi yang mutlak. Ia harus berpuasa selama sejumlah hari tertentu, dan selama sejumlah pekan tertentu ia juga tidak boleh menyentuh daging atau ikan atau beberapa bahan makanan lain tertentu. Agar dapat memperoleh keridoan Ilahi ia harus juga mengalahkan semua nafsu badaniah dan harus meninggalkannya. Cara inilah tapa yang merupakan gabungan dari puasa, pantangan, samadi, dan pemusatan pikiran. Puasa adalah ibadah kepada Allah karena itu harus dilakukan karena Allah dan untuk Allah. Akan tetapi kalau dilakukan karena keris dan untuk keris maka kita menyekutukan Allah.
Orang Jawa khususnya abangan percaya kepada kemampuan dukun, yaitu seorang yang mampu mengendalikan roh-roh melalui ngelmu-ngelmu-nya. Dengan ngelmu tersebut para abangan berharap akan mendapat kekuasaan, kekayaan, dan keagungan. Ngelmu tersebut digunakan juga untuk menjamin penyelamatannya di akhirat. Sebenarnya ngelmu terdiri atas campuran ‘ganjil’ dari berbagai unsur dalil-dalil filsafat teologi serta definisi, rumus, mantra, dan sihir. Kata dan ungkapan yang dipakai dalam ngelmu mencakup aneka ragam gubahan, termasuk gubahan Hindu, Jawa, dan Arab. Pada praktek ini terdapat beberapa dosa besar yaitu bermain sihir, mengunjungi dukun, berhubungan dengan roh tanpa tujuan yang jelas dan meminta sesuatu kepada yang selain Allah.
Proses sinkretisasi antara Islam dengan kebudayaan setempat di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara. Teori masuknya Islam yang dipakai adalah Teori Gujarat, yang menyatakan asal negara yang membawa agama Islam ke Nusantara adalah dari Gujarat. Adapun peletak dasar teori ini adalah Snouck Hurgonje, dalam bukunya L’Arabie et les Indies Neerlandaises, atau Revue de l’Histoire des Religious, jilid IV.
Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
Teori Snouck Hurgronje diperkuat oleh Clifford Geertz dalam The Religion of Java. Perkembangan ajaran Islam di Indonesia diwarnai oleh ajaran Hindu, Budha, dan bahkan animisme, sebagai ajaran-ajarann yang telah lama berkembang di Indonesia sebelum Islam. Hal ini merupakan akibat putusnya hubungan Indonesia dengan negara asal Islam yaitu Makkah atau Kairo. Sehingga terlihat praktik mistik Budha yang diberi nama Arab, raja Hindu berubah namanya menjadi Sultan, sedangkan rakyat kebanyakan masih mempraktikkan ajaran animisme.
Terputusnya hubungan antara Makkah-Kairo dengan Islam Indonesia berlangsung sampai abad ke-19. Pada abad ini baru terjadi perubahan Islam sebagai akibat banyaknya umat Islam Indonesia yang naik haji. selain itu juga sebagai akibat banyaknya pedagang Arab dari Hadramaut datang ke Indonesia. Peristiwa terhubungnya kembali Islam Indonesia dengan Makkah-Kairo ini, menurut Geertz menggetarkan kembali jantung kehidupan Islam Indonesia. Sekalipun demikian, yang mampu menyerap ajaran Islam asli hanyalah sekelompok kecil yakni kalangan santri. Sebagian besar rakyat Indonesia masih dapat dikatakan belum mempraktikkan ajaran Islam yang sebenarnya. Keterangan Clifford Geertz di atas ini memberikan gambaran perbandingan antara pengaruh Makkah-Kairo dan India. Di antara kedua pengaruh ini yang paling kuat adalah pengaruh India. Besarnya pengaruh India ketimbang Arab dalam proses Islamisasi Indonesia tampak dalam ajaran mistik Islam yang berkembang di Indonesia, bukan dilakukan oleh bangsa Arab melainkan oleh bangsa India yang telah beragama Islam. Harry J. Benda berpendapat bila agama Islam berasal langsung dari Timur Tengah dan menerapkan ajaran asli di Nusantara, tidak akan menemukan penganut di Indonesia, lebih-lebih pulau Jawa. Dibuktikan dengan adanya orang-orang Arab yang lama tinggal di pantai-pantai, tetapi mengapa baru pada abad ke-15 dan ke-16 agama Islam menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di Nusantara. Jadi dengan demikian menurut Harry J. Benda, hanya dengan melalui pemantulan dua kali (yaitu tidak langsung ke Indonesia melainkan ke India dahulu), agama Islam rupanya mendapatkan titik pertemuan dengan Indonesia, khususnya dengan pulau Jawa yang dipengaruhi oleh India.
Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan Islam yang datang dari Gujarat adalah Islam yang mengalami proses pencampuradukkan dengan agama Hindu, Budha, animisme, dan paganisme. Dengan kata lain Islam yang sinkretik, berbeda dengan Islam di Mekkah yang masih murni. Islam dengan bentuk seperti itulah yang datang ke Indonesia. Karena Islam yang datang adalah Islam yang campur-aduk maka perlu perjuangan yang sangat berat untuk memurnikannya dari unsur-unsur syirik.
Islam kemudian disebarkan ke Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan adalah dengan keadaan sebagaimana Islam di Gujarat itu. Setelah masuk ke Indonesia Islam yang sudah sinkretik itu disesuaikan lagi atau dicampuradukkan lagi dengan agama-agama yang sudah ada terlebih dahulu di Indonesia seperti Hindu, Budha, atau agama asli Indonesia seperti animisme atau dinamisme. Tetapi proses sinkretisasi yang paling kental adalah terjadi di Jawa. Jawa adalah sebuah negeri di mana rakyatnya mempunyai prinsip semua agama adalah sama.
Pada waktu Islam masuk keraton yang pada awalnya Islam tersebut memang sudah tidak murni lagi penuh dengan sinkretisme kemudian ditambah lagi dengan unsur-unsur yang telah ada di Jawa yaitu Hindu-Budha beserta konsep dewarajanya sehingga para pujangga keraton Jawa melakukan pemikiran-pemikiran yang tujuannya adalah melanggengkan kekuasaan raja-raja Jawa, termasuk pemikiran- pemikiran Islam yang masuk dan berkembang, banyak untuk melanggengkan kekuasaan. Atau dengan kata lain para pujangga keraton itu adalah para penjilat-penjilat kekuasaan yang busuk. Bahkan konsep kekhalifahan dalam Islam, menjadi tak ubahnya konsep dewaraja yang ganti baju.
Pergeseran kekuasaan dari Demak yang paling kuat keislamannya ke Pajang (yang lebih lemah keislamannya) lalu ke Mataram (yang paling lemah), membawa konsekuensi logis seperti semakin menguatnya sinkretisme Islam. Hal ini pernah pula diungkapkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dan Emha Ainun Najib sebagai berpindahnya kekuasaan dari Jawa-Islam ke Islam-Jawa. Sebuah kemunduran yang sangat menyakitkan dan memprihatinkan buat penganut Islam yang murni.
Setelah Mataram mencapai kebesaran dan kemuliaannya maka diaturlah silsilah keturunan Raja Mataram bahwa raja Mataram adalah keturunan Majapahit, Pajajaran, Abimanyu, Arjuna, Nabi Sis, Nabi Adam, dan kawin pula dengan Nyai Roro Kidul di Laut Selatan. Ini adalah karena pada saat itu raja Jawa mulai kehilangan kekuasaannya di pantai utara Jawa. Karena itu dikaranglah cerita bahwa pantai selatan itu juga berharga karena keramat. Hal ini adalah untuk menghibur diri raja Jawa itu. Padahal, pada zaman pusat kekuasaan Jawa berada di pesisir, cara yang serupa ini tidak dipakai. Dan di pesisir, ajaran-ajaran para ulama masih besar pengaruhnya. Giri masih dipandang sebagai pusat Islam. Tetapi setelah Mataram naik Giri pun berkali-kali diperangi. Ini adalah perlakuan dari murid yang murtad atau murid yang durhaka.
Untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Jawa memeluk agama Islam, keraton mendirikan sebuah badan yang dinamakan Yogosworo sebagai badan yang diserahi mengurus urusan-urusan agama. Dalam Madzhab Syafi’’i shalat Jum’at baru sah kalau diikuti minimal oleh 40 orang. Maka diangkatlah pegawai masjid sebanyak 40 orang, mulai dari imam dan khatibnya sampai muadzinnya (modin) dan sampai kepada orang-orang yang diserahi mengurus kematian. Merekalah yang resmi mengurus agama. Juga didirikan masjid di hadapan keraton, diselingi di tengahnya dengan alun-alun (tanah lapang). Tetapi di samping itu, adat istiadat kerajaan sekali-kali tidak boleh diubah. Bahkan harus dipelihara dan diperdalam filsafatnya. Sebuah usaha untuk merebut hati umat Islam dan mencegah pemberontakan dengan cara melakukan tipu daya kepada umat Islam.
Kerajaan Mataram pada masa pendirinya yaitu Panembahan Senapati cukup konfrontatif dengan golongan Islam terbukti dengan memerangi Giri. Memang Panembahan Senapati adalah politikus yang tidak segan-segan berkhianat kepada gurunya dan orang yang dituakan di pulau Jawa.
Oleh penerusnya yaitu Sultan Agung hal ini dinilai berbahaya bagi kelanggengan kekuasaan. Karena itu ia berusaha mempersatukan dua unsur dominan rakyat kerajaannya yaitu golongan Islam dan golongan kejawen. Misalnya menyatukan kepustakaan Jawa dengan kepustakaan Islam. Ia menyatukan tahun Saka dengan Tahun Hijriyah, mengadakan peringatan Satu Suro. Tradisi ini diteruskan oleh penerus Mataram. Misalnya Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Ini adalah sebuah usaha politik lagi untuk merebut hati umat Islam dan meredam pemberontakan.
Selain raja-raja Jawa, penyebar agama Islam yang penuh sinkretisme itu adalah walisongo, terutama di Jawa Tengah yaitu Sunan Kalijaga atau Kalijogo. Hal itu amat tampak pada bentuk Islam hingga sekarang. Memang ada karakteristik tersendiri antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang-orang Jawa timur, walaupun ada unsur-unsur Hindu-Budha, misalnya selametan dan nujubulanan, umumnya rajin shalat dan berlatar belakang “Islam Santri”. Ini tak lepas dari pengaruh sejarah. Jawa Timur dipegang oleh Sunan Giri yang keras. Jawa Barat dipegang oleh Sunan Gunung Jati yang tidak kalah keras. Sementara, di Jawa Tengah, dipengaruhi oleh Sunan Kalijaga. Ia sunan yang paling toleran. Sehingga bagi orang Jawa Tengah (kecuali di pesisir utara -selain Semarang- yang kuat keislamannya), yang penting memeluk agama Islam. Tidak salatpun tidak apa-apa. Sebuah kebiasaan yang sangat disayangkan karena membuat orang-orang Jawa Tengah mayoritas malas untuk shalat. Dan terbukti karena tidak shalat tidak apa-apa maka pusat-pusat pemurtadan (Kristenisasi) sangat kuat di Jawa Tengah ini.
Kebanyakan kaum antropolog seperti Clifford Geertz dalam The Religion of Java (Edisi Indonesianya lihat not No. 56) dan Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Jawa memandang kebatinan atau kejawen sebagai salah satu varian dari agama Islam. Koentjaraningrat misalnya membagi perwujudan Islam di Jawa menjadi dua varian yaitu agama Islam Jawa (kejawen) yang sinkretis, yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam; dan agama Islam yang puritan(santri) yang mengikuti ajaran agama secara lebih taat. Bentuk agama Islam orang Jawa, baik para pengikut kebatinan (kejawen) ataupun yang sering digolongkan sebagai abangan, merupakan sinkretis antara unsur-unsur pribumi, Hindu-Budha, dan Islam. Walaupun mereka banyak yang belum menjalankan salat lima waktu dan salat Jum’at, namun mereka banyak yang taat berpuasa bulan Ramadhan. Mereka sangat yakin akan adanya Allah. Dan seperti halnya orang muslim pada umumnya mereka percaya bahwa Muhammad adalah nabi-Nya.
Mereka menyadari bahwa orang yang baik hidupnya akan masuk sorga, dan orang yang banyak dosanya akan masuk neraka. mereka juga mengerti bahwa Al Qur-an berisi firman-firman Allah. Mereka juga telah membaca syahadat dan bila hari raya Idul Fitri juga berzakat fithrah. Mereka juga pernah membaca fatihah setidak-tidaknya pada waktu dikhitan. Dalam upacara perkawinan dan penguburan jenazah juga mengikuti cara-cara Islam dengan bantuan para naib dan modin. Mereka juga ikut merayakan hari-hari besar Islam walaupun dengan cara mengadakan kenduri atau selamatan. Selain itu mereka masih tetap pula percaya pada makhluk-makhluk gaib, percaya pada kekuatan-kekuatan magis dan sakti, banyak menjalankan berbagai macam ritus dan upacara yang tidak berkaitan dengan ajaran Islam.
S.K. Trimurti, salah seorang tokoh penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menulis:
“Mereka yang memasuki aliran-aliran (kebatinan) ini, baik yang sudah berorganisasi maupun yang tidak, banyak yang dengan tekun menjalankan syari’ah agama yang dipeluknya masing-masing”.
Dari sudut pandangan di atas sebenarnya tidak ada masalah bagi komunikasi antara umat Islam santri dengan para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah satu varian dari agama Islam. Apalagi bagi umat Islam yang telah mengenal ajaran tasawuf atau yang menganut tasawuf, ajaran-ajaran kebatinan seperti yang dihayati dan dipahami oleh para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak asing bagi mereka. Bahkan berbagai aspeknya disadari atau tidak disadari bersumber dari ajaran tasawuf. Bagi para santri yang telah mempelajari ilmu tasawuf tidak akan kikuk bergaul dengan saudaranya yang menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tinjauan dari segi sejarah penyebaran Islam dan tasawuf akan lebih memperjelas kaitan ajaran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dengan Islam dan khususnya dengan tasawuf. Pertumbuhan dan perkembangan pengamalan ajaran kebatinan di Jawa nampak ada kemiripan dengan sejarah perkembangan tasawuf. Menurut A.H. Johns penyebaran agama Islam yang sejak abad XIII makin cepat meluas di kepulauan Indonesia, adalah terutama berkat kegiatan para Shufi (penganut tasawuf). Gagasan-gagasan mistik memang mendapat sambutan hangat di Jawa karena sejak zaman sebelum masuknya Islam, tradisi kebudayaan Jawa Hindu sudah didominasi oleh unsur-unsur mistik. Dalam serat-serat babad, guru-guru agama penyebar Islam di Jawa pada mulanya terkenal dengan sebutan para wali tanah Jawa. Wali dalam pengertian ini memang khusus berkaitan dengan ajaran tasawuf. Menurut Dr. Soewito Santoso penyebaran Islam di Indonesia segera diikuti proses Islamisasi kepustakaan Jawa. Ia mengatakan:
“Islamization is the process of reforming any cultural product from another culture into something acceptable to muslims and in accordance with the basic principles and nations of Islam”.
Yang cukup unik adalah bahwa proses islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa ini tidak hanya dilakukan oleh para santri penyiar agama saja, tetapi justru terutama oleh raja dan pembantu-pembantunya sebagai pecinta dan pengembang kebudayaan Jawa. Hal ini amat nyata pada zaman Mataram. Agaknya para raja dan sastrawan kerajaan Mataram amat berkepentingan bagi pengintegrasian antara lingkungan kebudayaan pesantren dengan lingkungan kebudayaan Jawa. Hal ini memang amat penting bagi stabilitas kerajaan dan sosial-budaya. Sultan Agung (1613-1645) sebagai raja terbesar kerajaan Mataram nampak memelopori proses islamisasi ini. Di samping beliau banyak menarik peranan para ulama dalam pemerintahan kerajaan, Sultan Agung juga mengubah perhitungan tahun Saka berdasarkan perjalanan matahari menjadi tahun Jawa berdasarkan perjalanan bulan yang disesuaikan dengan perhitungan tahun Hijriyah. Perhitungan Tahun Jawa ciptaan Sultan Agung ini segera diterima baik oleh masyarakat Jawa (kejawen) maupun oleh masyarakat pesantren. Tindakan semacam ini juga dilakukan oleh para sastrawan dan para pujangga istana terhadap kepustakaan Jawa. Proses pengislaman karya-karya sastra Jawa pada zaman Jawa-Islam memang perlu agar dapat disebarkan dalam masyarakat luas. Hal ini nampak jelas dalam masa kebangkitan rohani dan masa pembaruan kepustakaan Jawa masa Surakarta. Sesudah terjadinya perpecahan kerajaan menjadi Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman, yang masing-masing kerajaan kecil ini makin dikurangi kekuasaan sosial-politiknya oleh pemerintah kolonial Belanda, seluruh perhatian istana lalu ditujukan untuk mencapai keluhuran rohani, yakni dalam bidang kebudayaan. Timbullah renaisans dalam bidang kebudayaan dan kepustakaan Jawa. Berbagai macam kitab berbahasa Jawa kuna yang sudah tak dimengerti oleh masyarakat Jawa digubah dan diperbarui ke dalam bahasa Jawa baru dan disesuaikan dengan zaman Islam. Kepustakaan Jawa yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam (yang sudah tumbuh sejak zaman kerajaan Jawa-Islam Demak) dinamakan oleh Dr. Simuh kepustakaan Islam-Kejawen. Ciri karya-karya sastra Jawa yang disusun pada masa kebangkitan rohani masa Surakarta ini sifatnya makin mistis dan istana-sentris. Dalam hal agama Islam, unsur-unsur tasawuf yang amat disenangi dan digubah serta dipertemukan dengan tradisi kejawen. Di samping yang berbentuk cerita-cerita seperti serat Ambiya, Tapel Adam, serat Kandha, Paromoyogo, serta Menak, dan lain-lainnya, timbul tiga jenis kepustakaan Islam-Kejawen, yaitu Suluk, Wirid, dan Primbon. Suluk dan Wirid jelas berinti ajaran mistik, karena kedua nama ini berkaitan dengan tasawuf. Wirid menurut tradisi kejawen adalah ajaran mistik yang umumnya disusun dalam bentuk prosa (jarwa). Sedang serat suluk berbentuk sekar (puisi). Sebagai contoh misalnya proses islamisasi naskah serat bimasuci, suatu serat yang merupakan inti pandangan atau falsafah mistik kejawen. Dalam hal ini Dr. Soewito Santoso mengatakan sebagai berikut:
“We see a Javanese muslim interpreting the Bimasuci in the Islamic manner or in other words making the Bimasuci acceptable to Muslims. Yet it can be seen In another light namely, that he tries to make Islam accepted by people who still believe in the mysticism of the Bimasuci. So we can understand the case on one hand as an attempt to Islamize the Bimasuci, and on the other hand to localize Islam”.
Jadi proses Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa mempunyai aspek ganda. Yakni memperkenalkan dan meresapkan unsur-unsur ajaran Islam kepada masyarakat dan para pecinta kepustakaan Jawa. Di samping itu proses ini menyebabkan pula kepustakaan Jawa ini diterima oleh masyarakat santri. Para Santri banyak yang memegangi kitab-kitab babad yang menyuguhkan cerita-cerita mitos tentang para wali dan kesaktian raja-raja Jawa. Jadi pengislaman kebudayaan dan kepustakaan Jawa menjadi sarana integrasi sosial budaya bagi masyarakat pesantren dan masyarakat kejawen. Ajaran-ajaran mistik Jawa atau kebatinan pada mulanya berkembang dan tersimpan dalam beberapa macam serat wirid dan serat suluk, seperti misalnya Wirid Hidayat Jati, maklumat Jati, Centhini, Wedhatama, Wulangreh, Suluk Suksma Lelana, Malang Sumirang, Suluk Wujil, Sastra Gendhing, Jati Swara, Kunci Swarga, dan lain-lainnya. Kesemuanya adalah kitab-kitab yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam, terutama unsur tasawufnya. Hampir semua ajaran kebatinan mengenal nafsu-nafsu amarah, lawwamah, dan muthmmainnnah, dari ajaran Al Ghazali.
Ciri dari ajaran mistik yang tersimpan dalam kepustakaan kejawen adalah hasil gubahan dan pemikiran para pujangga dan sastrawan yang berjiwa mandiri, individual, dan merupakan golongan khawas, (elite kerohanian). Kemudian dengan munculnya gerakan-gerakan kebatinan yang kini banyak tergabung dalam kelompok penghayat kepercayaan terhadap TuhanYang Maha Esa, pertumbuhannya mirip dengan ordo-ordo tarekat dalam tasawuf. Yakni merupakan upaya untuk memasyarakatkan ajaran mistik atau kebatinan, yang dulunya dalam kitab-kitab suluk harus selalu dirahasiakan. Hanya boleh diwejangkan dengan sembunyi-sembunyi bagi orang yang berbakat untuk ajaran itu. Dalam Centhini misalnya ajaran mistik hanya diwejangkan kepada Amogrogo kepada istrinya Tambangraras dan centhi-nya Nyai Centhini. Sedangkan kepada mertuanya Banupunarpa hanya diajar sareat saja. Dalam Islam munculnya beratus-ratus ajaran tarekat tidak banyak menimbulkan problem sosial keagamaan. Karena semua tarekat itu masih terikat dalam kesatuan sareat sebagai benang pengikat dan pemersatunya. Ikatan sareat bersama ini tidak dimiliki oleh berbagai kelompok aliran kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Munculnya aliran-aliran kebatinan atau kejawen yang tumbuh sejak masa pergerakan kebangsaan dan terutama sesuadah masa kemerdekaan dan pembangunan menurut Soedjatmoko mencerminkan gejala revitalisasi beberapa kebudyaan tradisional. Yakni munculnya kejawen atau kebatinan dinilai sebagai suatu respon positif terhadap tantangan kehidupan modern dan terhadap tantangan yang dilontarkan oleh keinginan untuk membangun. Gejala pemunculan aliran kebatinan atau kejawen memang upaya untuk mempertahankan dan memasyarakatkan kembali nilai-nilai kerohanian tradisional yang langsung mendapat gempuran arus pembaratan yang terbawa oleh proses modernisasi. Bahwa nilai mistik yang dalam tradisi Jawa semenjak dulu dipandang sebagai ilmu kasampurnan kini terancam oleh orientasi rasional-ilmiah yang mendasari peradaban modern. Maka seperti halnya dalam kalangan penganut tarekat, timbul pula kesadaran dan optimisme dalam kalangan pecinta mistik Jawa atau kejawen. Bahwa aspek kerohanian kebudayaan Jawa masih merupakan nilai yang sangat berharga dan dapat disumbangkan untuk menangkal aspek negatif dari peradaban modern. Bahwa kepincangan dunia modern yang terlalu sekular-materialistis perlu diobati dan dikawinkan dengan aspek rohani warisan kebudayaan Timur, yakni Jawa. Namun kelemahan terbesar dari aspek kerohanian Jawa yang tidak berkitab suci ini adalah tidak adanya kesatuan konsep. Inilah yang membuat aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini amburadul, campur-aduk, tumpang-tindih, tidak jelas dan hancur-lebur.
Aspek kerohanian Jawa merupakan pembauran berbagai unsur dari kebudayaan asli (pribumi), Hindu-Budha, dan Islam, dengan kadar yang beraneka ragam. Maka pemunculannya kembali juga beraneka macam coraknya, sesuai dengan pemahaman dan paham masing-masing guru pembina alirannya. Dalam daftar Kejaksaan Agung tahun 1975/1976 terdaftar sejumlah 224 macam aliran. Direktorat PPK (sekarang Dit Binahayat) sejak tahun 1979 hingga 1981 berhasil menginventaris 182 macam aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dari nama-nama yang terdaftar di Direktorat PPK bisa dibayangkan betapa keanekaragaman jenis dan macam aliran-aliran kebatinan di atas. Ke 182 aliran yang terdaftar di Direktorat PPK tersebut nampaknya belum mencakup keseluruhan aliran-aliran kebatinan. Berbagai macam aliran yang masih bersifat lokal yang pernah dijumpai Dr. Simuh dalam penelitian di daerah-daerah Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, dan Cilacap, belum termasuk dalam daftar nama-nama di atas seperti aliran Rukun Warga di Sukaraja. Anak cucu Bandayuda di Cilacap, dan lain-lainnya. Dari penelitian yang dilakukan Dr. Simuh di daerah Banyumasan hingga sekitar Cilacap, dan yang dilakukan rekan-rekan Dr. Simuh tahun 1983 di sekitar negeri Agung (Yogyakarta dan Surakarta), dan di daerah pesisir utara (Blora, Jepara, dan Rembang) bisa dikategorikan ada beberapa jenis aliran.
Ada sejumlah aliran yang lebih menekankan pada aaspek mistiknya yang cukup halus, yakni menekankan pada upaya mencapai penghayatan manunggaling kawulo-gusti (union mistik). Ada pula sejumlah aliran yang lebih menekankan pada aspek pembinaan moral kerohanian dengan ajaran-ajaran yang sangat sederhana dan lugu, seperti misalnya Aliran Hurip Bener (hidup betul). Kalau hanya menekankan pada pembinaan moral masih bisa ditolerir.
Tetapi banyak pula aliran-aliran yang lebih menonjolkan aspek-aspek animisme-dinamisme, yakni ada yang menekankan pada hubungan dengan roh-roh gaib untuk mendapatkan wangsit bagi berbagai keperluan (spiritualis). Ada yang menekankan penggunaan getaran-getaran dari dalam, baik bagi macam-macam keperluan, atau bahkan untuk keperluan berhubungan dengan dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah kesyirikan yang luar biasa.
Pada dasarnya gerakan mistik adalah independen (bebas). Oleh karena itu, Prof. Soedjito Sosrodihardjo, dalam bukunya Sosiologi Agama mengatakan:
“Pada umumnya seorang ahli mistik terkenal sebagai orang yang tidak mau tunduk kepada peraturan keduniawian. Dia percaya bahwa dengan jalan mistiknya, dia dapat berhubungan langsung dengan Tuhan dan dapat pula menerima petunjuk-petunjuk langsung dari Tuhan. Jika di dalam suatu daerah terdapat banyak penganut aliran-aliran mistik, khususnya yang telah berubah menjadi magi, maka besar sekali kemungkinannya bahwa para penganut ini tidak mau tunduk pada peraturan-peraturan pemerintah.
Di dalam sejarah kerap kali terjadi pengejaran-pengejaran terhadap ahli mistik, khususnya di luar negeri. Di Indonesia hal ini belum terdapat, meskipun telah terjadi gejala-gejala yang membahayakan. Yaitu misalnya pembunuhan (dengan cara pembedahan) seseorang oleh keluarganya sendiri, karena merasa dapat perintah gaib. Dalam pada itu pemerintah telah pula mengambil langkah-langkah penertiban. Di sini kita lihat ekses-ekses akibat-akibat yang negatif daripada mistik yang telah berubah sifatnya menjadi magi.”
Pada umumnya aliran-aliran kebatinan itu sesuai dengan dasar kebudayaan Jawa bersifat patuh pada pemerintah. Namun dalam masa pertumbuhannya memang terdapat sementara aliran yang bersifat ekstrim dan berlebihan. Hal itu wajar apalagi dalam masa demokrasi liberal dulu. Pada masa itu ada golongan politik tertentu, terutama komunis (PKI), yang berusaha memperalat aliran-aliran kebatinan itu untuk diadu dengan golongan agama. Maka timbullah aliran-aliran yang terang-terangan mendakwahkan diri sebagai agama baru dan menyusun aturan-aturan perkawinan sendiri, sehingga menimbulkan konflik dalam masyarakat yang memancing pemerintah untuk campur tangan.
Di antara aliran yang menyatakan dirinya sebagai agama adalah ADARI (Agama Djawa Asli Republik Indonesia), IIH (Igama Iman Hak), Agama Adam Makrifat, dan sebagainya. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya keresahan masyarakat, berbagai aliran kebatinan itu diatur di bawah payung pengawasan kejaksaan. Beberapa di antara aliran itu terpaksa dibekukan atau dibubarkan dengan keputusan Jaksa Agung. Namun dalam perkembangan selanjutnya, para penganut aliran kebatinan segera membentuk wadah kerjasama untuk menghimpun semua aliran-aliran kebatinan dan menyalurkannya ke tujuan-tujuan yang positif dengan ungkapan sepi ing pamrih rame ing gawe. Wadah kerjasama itu semula bernama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI). Dengan memasyarakatkan ungkapan sepi ing pamrih rame ing gawe. Berarti BKKI mengingatkan dan berusaha lebih memurnikan tujuan aliran kebatinan ke arah cita mistik yang murni yakni sepi ing pamrih. Tidak mementingkan tujuan-tujuan yang bersifat duniawi. Dalam perkembangan selanjutnya di samping aliran-aliran kebatinan mendapatkan wadah bimbingan di bawah Depdikbud, juga mendapatkan pengakuan dalam GBHN dengan ungkapan “Aliran Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bukan agama, dan pengembangannya jangan sampai mengarah kepada pembentukan agama baru”. Tetapi dalam praktiknya banyak yang seperti agama baru misalnya cara doa tersendiri. Fenomena ini bahkan bisa disaksikan dalam acara-acara resmi kenegaraan, misalnya pelantikan anggota DPR/MPR yang kebetulan pengikut (atau penganut?) kebatinan.
Mahardhika Zifana
Sumber:
Agus Suherman. 2002. Makalah Perkembangan Gerakan Kebatinan Pada Masyarakat Jawa. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.
Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Penerbit Jambatan.
_____________. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia
_____________. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.
Majalah Derap terbitan bulan Februari minggu III tahun 1978
Makalah. Seminar Wali Songo di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Makalah. Seminar Pesantren di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Comments
Post a Comment