KANOMAN
KANOMAN
Seperti telah dijelaskan pada artikel di Bab Spiritualitas tentang “ Tingkatan Ngelmu dalam Kejawen”, Ngelmu Kanoman adalah untuk golongan muda. Semua tataran ngelmu kecuali Ngelmu Sejati atau Ngelmu Kasampurnan atau Spiritualitas atau Kebatinan, belum mencapai tingkat tertinggi. Seseorang yang telah tercerahkan dalam kebatinan , dia telah mengenal Pribadi Sejatinya ,telah mengetahui Kasunyatan .Dimana dalam tataran ini jiwa telah tercerahkan dan mencapai kesadaran tertinggi yaitu asal muasal kita satu dan sama, yang ada adalah kita.
Dengan uraian diatas, menjadi jelas bahwa saudara-saudara kita yang belum tercerahkan jiwanya, durung bontos pungkasaning ngelmu, belum mencapai puncaknya ngelmu sejati, pikirannya masih terpilah-pilah.
Bagaimanapun baiknya seseorang, tetap saja ada pemilahan antara saya, kamu dan dia. Sehingga masih mudah pemahaman untuk mementingkan diri, untuk aku, kelompokku, keluargaku, saudaraku. Rasa kemanusiannya mudah terganggu oleh solidaritas individu dan kelompok dalam arena kehidupan yang berpihak kepada keduniawian. Meskipun harus dicatat bahwa tidak semua keduniawian itu jelek, ada hal-hal yang positif bagi manusia, yang menonjol misalnya prestasi iptek.
KANURAGAN
Berkelahi secara sportif
Penulis akan menceritakan apa yang pernah dialaminya sendiri pada masa remaja. Kemungkinan hal yang seperti ini bisa saja terjadi ditempat lain dan dikurun waktu lain.
Sampai dengan tamat SMA tahun 1959, penulis tinggal di Jogjakarta. Pada masa itu ,beberapa kali menyaksikan perkelahian fisik antara dua anak muda, biasanya terjadi perkelahian satu lawan satu, bukan berantem masal atau tawuran. Perkelahian juga dengan tangan kosong ,biasanya tidak menggunakan senjata tajam, apalagi senjata api.
Suasana waktu itu masih sportif, jujur. Bila dua kelompok anak muda berhadapan, maka biasanya terjadi persetujuan antara mereka, masing-masing mengajukan “jagonya” untuk berduel satu lawan satu. Masing-masing kelompok memberi semangat kepada jagoannya, tetapi tidak ada yang ikut membantu. Suasananya memang gaduh, dengan teriakan-teriakan yang seram. Kedua petarung berkelahi habis-habisan, menggunakan segala akal dan ketrampilannya. Berbagai gerak, pukulan, sabetan, gumulan diperagakan, tetapi tidak ada yang sampai mati, pingsanpun tidak. Kalau keduanya sudah tampak kewalahan atau salah satu sudah terdesak, lalu dipisahkan ramai-ramai. Kedua petarung saling berjabat tangan dan sejak saat itu berjanji untuk tidak saling dendam lagi.
Orang “ngoho”
Sejak jaman dulu memang ada orang “ngoho” – senang berkelahi ( Bahasa Jawa slank). Penyebab perkelahian biasanya soal sepele saja atau boleh dibilang memang dicari-cari. Orong ngoho, memang punya watak getol berantem, selalu ingin memcoba kemampuan dan kekuatannya dan ingin mencoba keberanian orang lain.
Pada saat itu, menurut apa yang penulis alami, tidak ada perkelahian yang terjadi karena perbedaan pandangan dalam bidang politik atau pendapat yang lain. Pergaulan anak muda, terutama antar pelajar,tidak terkotak-kotak dalam ormas orpol. Pemuda pelajar disaat itu sangat mendambakan persatuan Indonesia, sangat menghargai kemerdekaan bangsa dan negara dan secara mental semua siap untuk memperjuangkan pembebasan Irian Barat yang waktu itu masih dalam cengkeraman kolonialis Belanda.
Menjelang dan saat-saat Pemilu 1955 ( waktu itu penulis masih SMP), tidak ada bentrok masal karena politik. Pemilihan Umum berjalan lancar, meski keadaan masih sederhana, tetapi berjalan lancar dan demokratis.
Pencak Silat
Ditahun 1950-an, ada banyak perguruan pencak silat. Siswa-siswanya sebagian terbesar adalah pemuda pelajar sekolah menengah, sedangkan guru-gurunya pendekar mumpuni yang usianya kebanyakan 50 tahunan, ada banyak mahasiswa yang jadi asisten guru.
Pencak adalah seni olahraga beladiri, gerakan-gerakannya terdiri dari beberapa jurus pokok, gerak langkah lengkap dengan” kembang-kembang”/variasi geraknya yang artistis.
Silat adalah kunci gerakan-gerakan pokok untuk bertahan dan menyerang, termasuk untuk melumpuhkan gerakan lawan. Kunci-kunci gerakan silat biasanya adalah rahasia masing-masing perguruan. Ini diajarkan sesuai tingkat siswa. Pencak Silat disebut seni beladiri – The Art of Self Defense bukannnya The Martial Art –Seni Laga. Ini untuk menunjukkan bahwa pesilat itu tidak agresif, kalau seorang pesilat sampai menggunakan ilmunya, itu hanya karena dia harus mempertahankan diri dan membela kebenaran. Pencak Silat memang olahraga beladiri yang memerlukan latihan-latihan yang teratur dengan disiplin keras dan ditunjang oleh jiwa raga yang sehat.
Paguyuban-paguyuban pencak silat yang terbuka, tidak mengajarkan ngelmu supranatural atau mantra-mantra. Mereka sepenuhnya menggunakan ketrampilan raga ,akal dan pikir.
Anggota perguruan pencak silat harus berjanji untuk menggunakan kemampuannya hanya untuk membela diri, untuk tujuan positif, tidak untuk umuk-umukan- pamer, apalagi untuk perbuatan yang tak terpuji, melanggar hukum seperti perbuatan kriminal.
Anggota yang ketahuan melanggar aturan akan dikeluarkan, tetapi seingat penulis( yang juga pernah belajar pencak silat), hal seperti itu sangat jarang terjadi.
Kanuragan dengan Mantra
Pencak Silat “ Setrum”
Murid-murid perguruan pencak dengan “setrum”, pada waktu berlatih dibimbing oleh guru ,dengan menggunakan daya supranatural. Guru terlihat duduk bersila atau dikursi atau berdiri dipinggir tempat latihan, berkonsentrasi penuh, tangannya kadang-kadang bergerak seperti gerakan silat, memberi perintah batin kepada murid-muridnya untuk melakukan gerakan –gerakan silat.
Para siswa berdiri dengan sikap siap, lalu mereka bersama-sama melakukan gerakan-gerakan silat yang sama dengan mantap. Gerakannya meliputi gerak dari badan, tangan, kaki, leher, kepala, jari-jari tangan. Ada gerakan lambat, cepat, bertahan, menyerang, mengunci. Para pesilat bergerak secara otomatis, tidak ada terdengar suara aba-aba dari mulut guru. Semua perintah hanya lewat batin. Ini yang secara populer pada waktu itu disebut pencak “setrum “. Stroem dari bahasa Belanda artinya aliran listrik. Mungkin kalau sekarang yang dimaksud adalah pengaliran enerji.
Dalam latihan, selain ada gerakan silat bersama, juga ada latihan perkelahian satu lawan satu atau satu orang dikeroyok oleh beberapa orang. Pada tingkat selanjutnya, latihan ada yang menggunakan tongkat, senjata tajam dsb.
Dalam pencak setrum, murid sepenuhnya patuh dan percaya kepada guru, sebaliknya gurunya tidak sembarangan menerima murid. Penerimaan sangat selektif dan berdasarkan penilaian guru secara diam-diam. Oleh karena itu, keanggotaan pencak setrum saat itu tidak masal, karena tanggung jawab guru juga berat, atas tindak tanduk muridnya dimasyarakat. Kalau ada muridnya yang berkelakuan negatif, itu akan mencemarkan nama baik guru dan perguruan.
Guru biasanya akan memberikan kepada semua siswanya sebuah paket ajaran yang terdiri dari beberapa jurus pencak silat untuk bertahan dan menyerang seperti : gerakan silat khusus burung bangau, ular, monyet, harimau dll.
Ada” ngelmu” dengan gerakan khusus yang diberikan untuk siswa tertentu yang dinilai cocok dan kuat menerima “ngelmu” tersebut.Ini bukannya guru pilih kasih, tetapi setiap orang punya kelebihannya masing-masing.
Diberikan pula pokok-pokok cara penyembuhan alternatif termasuk pijatan untuk menguatkan raga dan menyembuhkan salah urat/terkilir, luka, lebam karena pukulan dan penyakit-penyakit lain termasuk membersihkan gangguan “yang tidak kelihatan”.
Setelah beberapa saat, ketika guru menilai murid sudah kuat menerima, maka guru akan memberikan wejangan berupa penggunaan mantra-mantra. Setapak demi setapak, murid akan diajari untuk melakukan gerakan silat sendiri.
Yang terpenting untuk menguasai setiap gerakan, murid harus membersihkan diri dulu baik fisik maupun mental antara lain dengan cara berpuasa dan melakukan pantangan tertentu. Latihan raga seperti berpuasa, tidak tidur dan berpantang itu bertujuan untuk membangkitkan daya badan halus dan kepekaan batin. Untuk menyerap ngelmu kanuragan dan juga ngelmu-ngelmu yang tingkatannya lebih tinggi seperti keselamatan/karahayon, kadonyan dan juga kesepuhan ada kalanya diperlukan mesu raga atau laku tirakat.
Ini merupakan tradisi turun temurun yang sudah berlaku semenjak kuno. Guru pada waktu belajar, juga menjalani hal yang sama untuk menerima ngelmu.
Siswa yang menerima ngelmu dari guru wajib melakukan hal ini, percaya sepenuhnya dengan mantap dan sadar menjalaninya. Biasanya siswa kuat dalam masa menerima transformasi ngelmu dari guru, dia tidak mengeluh/sambat-sambat untuk selama beberapa hari. Dia kuat menahan haus, lapar, kurang tidur dan lain-lain ujian. Kalau dia mengeluh, bisa-bisa transformasi ngelmu dari guru tidak jalan, artinya tidak bisa menguasai ngelmu itu. Sehingga dia harus mengulang lagi pelajaran dan laku tirakatnya.
Tirakat dalam perguruan pencak setrum adalah merupakan pitukon/laku wajib yang harus dijalani a.l. berupa :
1. Pembersihan dengan sesuci mandi. Ada yang mandi biasa, mandi dikali, dilaut, dipancuran,dialam terbuka pada waktu yang ditentukan. Ada pula yang harus mandi dengan air kembang setelah terlebih dulu keramas.
2. Pantang melakukan hubungan seks untuk beberapa saat.
3. Menjalani puasa, yang antara lain berupa : Tidak boleh makan minum disiang hari. Ngrowot- yang boleh dimakan hanya buah-buahan. Mutih- hanya boleh makan nasi putih sedikit dan minum air putih. Nganyep- makan sedikit nasi dan sayur tanpa garam , bumbu dan gula. Nglowong-sama sekali tidak boleh makan minum. Ngebleng- tidak makan ,tidak minum, tetapi boleh berada diluar kamar. Patigeni – tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak boleh melihat sinar, jadi harus berada dikamar gelap untuk beberapa waktu ,misalnya sehari semalam. Ada pula yang sewaktu menjalani puasa harus berada selalu dibawah langit terbuka. Ini semua tidak dianggap sebagai siksaan, melainkan gemblengan mental yang harus dilakukan untuk menambah kekuatan dan keyakinan terhadap ngelmunya. Benarlah apa yang dikatakan orang-orang dulu : Ngelmu iku kelakone kanthi laku – Ngelmu itu bisa dikuasai dengan latihan dan tirakat.
Ada tiga hal pokok yang diberikan kepada siswa, yaitu :
1. Mantra atau mel atau amalan.
2. Laku, puasa dan pantangan.
3. Patrap, sikap ragawi dan niat mantap.
Mantra, Laku dan Patrap, sesuai dengan ngelmunya. Ngelmu untuk pukulan geledhek lain dari ngelmu untuk menghindari serangan, oleh karena itu mantra, laku dan patrapnya lain-lain.
Supaya ngelmu bisa benar-benar dikuasai, harus ada kerjasama antara guru dengan siswa. Guru mengajar, menuntun, mengawasi. Siswa benar-benar mempelajari dengan yakin, percaya dan mantap.
Mantra bisa berjalan karena daya batin yang serasi, kalau diolah secara dangkal rasional tentu tidak akan ketemu. Dalam tataran ngelmu yang lebih tinggi seperti Kasepuhan dan Kasampurnan, mantra yang digunakan dengan selaras bahkan mampu menyentuh Suksma.
Praktek Pencak Setrum
Tibalah saatnya guru menurunkan ngelmu kepada siswa. Ini juga berlaku mengenai kebiasaan tradisi tentang waktu dan tempat.
Tempat : Bisa didalam rumah guru, dihalaman rumah guru, ditanah lapang, dipinggir sungai, dipantai, dihutan dll.
Waktu : Biasanya malam hari. Ada yang harus saat bulan purnama ditengah malam. Ada yang pagi atau siang hari. Ada juga menurut hari sesuai kalender Jawa seperti Jum’at Kliwon atau Legi, Senin Pon dll. Sesuai kebiasaan, guru yang menentukan waktu dan tempat.
Transformasi ngelmu
Pada saat yang telah ditentukan, disuatu malam, dihalaman rumah guru, seorang atau beberapa siswa yang masih berpuasa dan berpantang telah siap.
Guru membisikkan atau dengan suara pelan mengucapkan mantra yang sesuai dengan ngelmu yang diberikan, dengan jelas dan pelan. Siswa mengulangi ucapan guru dengan cara yang sama.Siswa dengan tuntunan guru mengucapkan mantra itu sampai hafal .
Dalam ngelmu kanuragan seperti pencak setrum, setelah menerima mantra , siswa dengan diawasi guru diminta untuk mempraktekkannya. Kalau sebelumnya,pada waktu latihan murid melakukan gerak-gerak silat dengan mantra yang diucapkan oleh guru, kini siswa melafalkan mantra tersebut sendiri dan secara otomatis bergerak sendiri, seperti ada yang menggerakkan. Tentu oleh guru dia telah diberi tahu kata sandi untuk berhenti. Itu tandanya siswa telah mampu menyerap ngelmu yang diberikan guru.
Sesudah suatu ngelmu kanuragan dikuasai , biasanya ada pantangan yang tak boleh dilanggar seperti : tidak boleh keluar rumah dihari tertentu, tidak boleh makan sate, tidak boleh membunuh binatang, tidak boleh tidur siang, tidak boleh mengucap kata tertentu, tetapi ada juga yang tanpa pantangan. Ada kiat-kiat yang harus dilakukan untuk lebih memperkuat penguasaan ngelmu tersebut.
Menyaksikan kanuragan pencak setrum
Ditahun 50-an, waktu itu penulis masih di SD ( SR jaman itu), tinggal di kota Jogja, sering menyaksikan beberapa tetangga yang sedang berlatih pencak setrum. Seingat penulis ada 4/empat orang tetangga magersari yang rutin berlatih dikebun pisang dan ketela disebelah rumah kami.( Waktu itu ayah penulis punya tanah yang agak luas untuk ukuran kota Jogja. Dibagian depan yang menghadap jalan untuk rumah keluarga kami dengan halamannya , disamping dan belakang untuk kebun pisang dan ketela. Ditanah kebun itu ada 4/empat rumah yang didirikan oleh tetangga kami secara magersari. Mereka itu dengan persetujuan ayah, ikut tinggal dengan cara mendirikan rumah sendiri dan tidak ditarik sewa untuk penggunaan tanah. )
Suasana di-komunitas kecil kami akur dan cukup regeng - akrab hubungannya. Disetiap rumah itu ditinggali keluarga besar masing-masing, ada kakek,nenek, bapak ibu dan anak-anaknya.Para tetangga magersari itu orang-orang merdeka yang mencari nafkah diberbagai bidang, ada yang jadi mekanik PJKA, tukang jahit, tukang rotan, tukang becak, kuli, para istrinya kebanyakan jualan pecel atau makanan kecil dipasar. Ayah penulis bekerja di Pemda Jogja di Kepatihan, ibu adalah perias temanten Jawa. Anak-anak tetangga itu menjadi teman main dekat penulis dimasa kecil.
Silat “Monyet”
Penulis ingat , mereka itu selain berlatih gerak silat biasa , juga sering memperagakan silat a la monyet.
Pesilat berdiri tegak dengan sikap sempurna, kedua tangan didepan dada, konsentrasi menutup mata, lalu matek aji- mengucapkan mantra dalam batin. Lalu pesilat itu mulai bergerak mulanya pelan, kemudian meningkat dengan gerakan-gerakan lincah seperti monyet dan kadang –kadang juga bersuara seperti monyet.
Peragaan silatnya cukup lengkap, seluruh anggota badan dipergunakan untuk memukul, menendang, mencakar, meloncat-loncat, berguling, bertahan dan menyerang sambil menggigit.
Beberapa kali saya melihat peragaan mengupas kelapa. Buah kelapa yang masih utuh, berserabut, dengan gigi dikupasnya serabut kelapa tersebut, dengan sesekali mengeluarkan suara bagai lengkingan monyet.Akhirnya buah kelapa itu terkupas semua serabutnya dengan cara gigitan.Biasanya pengupasan berjalan mulus, tetapi suatu saat saya saksikan dua buah gigi depan atas pesilat patah separuhnya. Saya kaget kenapa itu bisa terjadi?
Untuk mendapatkan jawaban atas beberapa hal yang saya belum tahu pada masa kecil, biasanya saya bertanya kepada ayah. Ayah seorang Jawa tradisional, sewaktu muda juga pesilat, seniman penabuh gamelan, penari Jawa klasik, mempelajari dan menghayati Kebatinan. Ayah menjelaskan kenapa gigi pesilat itu patah : 1. Dia kurang persiapan 2. Giginya memang tidak kuat.
Kurang persiapan itu luas artinya. Secara umum ada kelengahan pada waktu pelaksanaannya, ada kekeliruan.
Perlu diketahui bahwa sehebat-hebatnya apa yang disebut “ ngelmu” gaib, satu saat ada naasnya, oleh karena itu tetap harus hati-hati dalam melaksanakannya. Selain itu, faktor alami juga harus diperhatikan. Serabut kelapa itu sangat kuat, gigi pesilat kurang kuat.
Ayah selalu menekankan bahwa belajar kanuragan itu supaya dilihat manfaatnya. Kanuragan seperti pencak silat itu bagus, tetapi silat untuk mengupas serabut buah kelapa itu untuk apa?
Mungkin belum terpikir oleh ayah pada masa itu bahwa kupas kelapa ala monyet menggigit itu bisa jadi atraksi hiburan dan pariwisata yang menghasilkan uang dan devisa.
Gerakan Harimau Menerkam
Pertengahan tahun 1958, dipermulaan tahun pelajaran, saya baru naik ke kelas 3, umur saya belum 17 tahun.Pada satu hari Sabtu malam Minggu, SMA kami mengadakan bazar, satu event yang biasa diadakan oleh sekolah-sekolah pada masa itu. Bazar sekolah terbuka untuk umum. Suasana meriah, selain teman-teman satu sekolah, banyak juga pelajar sekolah lain yang datang. Mereka biasanya datang berombongan ramai-ramai. Karena berombongan jadi lebih berani. Mereka keliling melihat-lihat stand, ikut permainan yang ditawarkan , bercanda ria diantara mereka sendiri, tanya ini itu kepada teman-teman putri kami yang menjaga stand dengan nada sedikit menggoda. Kalau ketemu rombongan lain sekolah saling sapa, karena sudah saling kenal. Ada yang saling menggoda diiringi tawa riang. Memang bazar pelajar disaat itu adalah satu happy event, untuk bergaul dan hiburan.
Yang suka bikin ribut kalau ada rombongan anak “ndugal”- nakal, suka bikin gara-gara- gawe dhadhakan supaya berantem. Malam itu rupanya ada serombongan anak ugal-ugalan, sehingga mereka di beri peringatan oleh teman-teman yang bertugas sebagai ketertiban. Mereka diminta supaya meninggalkan arena bazar, akibatnya timbul perkelahian.
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti auman harimau dari halaman depan sekolah. Saya yang waktu itu lagi bertugas mengawasi stand-stand yang dihalaman belakang sekolah, berlari kehalaman depan sekolah untuk melihat apa yang terjadi. Dibawah sinar lampu redup dan sinar bulan, saya lihat adik kelas 2 yang bertugas selaku keamanan lagi menyerang lawannya dengan gerakan –gerakan harimau menerkam. Setiap kali menyerang dengan kedua tangan mencakar, terdengar auman kuat. Pada waktu tidak menyerang , dia menggeram keras.
Saya lihat lawannya cukup tenang melakukan perlawanan dengan gerakan-gerakan silat menghindar kekiri dan kekanan, sambil mundur sesekali dia melontarkan pukulan dengan tangan kosong. Perkelahian cukup fair, satu lawan satu, tidak ada keroyokan.
Tak lama kemudian semua teman-teman petugas keamanan datang karena panggilan”auman” harimau yang membahana. Ramai-ramai para “tamu” yang bikin ribut tersebut kita usir . “ Sudah, sudah, yang mengacau pergi atau kita usir dengan paksa”.
Mendengar teriakan kami, petarung lawan dan konco-konconya dengan cepat mundur dan meninggalkan sekolah dengan menaiki sepeda-sepeda mereka yang sengaja diparkir didepan sekolah. Rupanya mereka datang untuk “ mencoba kekuatan”.
Sesudah musuh pergi, saya rangkul jagoan kami sambil berkata : “ Sudah, sudah, musuhmu sudah lari”. Ayo kita semua kembali ke halaman belakang”. Kepada kerumunan penonton saya bilang : “ Bubar, bubar, pertunjukan sudah selesai. Tidak ada apa-apa”’
Kalau soal “ketertiban” disekolah, saya masih didengar, karena saya murid kelas 3 yang dianggap anak bandel. Saya berteman baik dengan teman-teman yang juga termasuk kategori bandel.
Ditempat terang, saya periksa petarung kami, saya lihat dia baik-baik saja, hanya mata kirinya biru terkena pukulan yang cukup keras. Saya tepuk-tepuk punggungnya supaya dia tenang, nafasnya masih ngos-ngosan dan kencang , masih belum bisa bicara. Lama-lama nafasnya kembali normal dan mulai bicara meski masih belum lancar. Saya beri dia minum air putih, selang beberapa saat sudah kembali normal.
Lalu dia menceritakan bagaimana sampai terjadi perkelahian. Awalnya terjadi tantang menantang lalu terjadi duel. Memang sudah biasa ,seorang petarung tentu akan menganalisa jalannya perkelahian yang baru saja dialaminya. Begitu juga jagoan yang punya “ajian harimau” ini.
Dari ceritanya ,bisa diketahui bahwa sewaktu dia matek ajinya- mengamalkan mantranya, dia berada dalam keadaan sadar. Dia cerita beberapa kali dia sempat menghantam dan mencakar lawannya, dia juga sempat sempoyongan terkena hantaman tangan musuhnya.
Saya menukas ; “ tadi waktu lawan terjatuh terkena pukulanmu, kenapa tidak kamu tubruk saja biar takluk?”
Dia menjawab dengan mata memerah : “ Tadinya memang mau saya habisi, tetapi saya lihat dia mengeluarkan dari bajunya benda putih yang berkilat kena sinar bulan, saya pikir itu pisau tajam, jadi saya urungkan niat, bisa gawat nantinya”.
Saya tukas sambil bercanda : “ Lho, kok macan takut sama pisau?’ Kan kulitnya tebal”. Dia tersenyum menjawab : “ Jo ngono to – jangan gitu ah, kalau bahaya ya jangan”.
Akhirnya saya tanya apakah dia tahu siapa lawannya itu. Dia jawab sudah pernah ketemu dan rupanya sama-sama ingin mencoba ketrampilan berantemnya. Jadi apa yang terjadi hanyalah ledakan yang telah lama diantisipasi.
Ketemu Macan Tua
Dipertengahan tahun 80-an, seorang kerabat dekat saya berkunjung dan menginap dirumah kami untuk beberapa hari. Beliau belum lama jadi purnawiran kolonel . Maksud kunjungannya adalah : 1. Menikmati masa pensiun 2. Mempererat tali persaudaraan supaya bisa saling mengenal dan 3. Ini mungkin yang terpenting : Ingin menjelaskan tentang ngelmu yang selama ini telah dipunyainya dan bertukar pikiran mengenai Kejawen.
Tentu saya merasa sangat terhormat dan dengan senang hati menerima beliau. Saya telah mengenal dekat Oom( begitu saya memanggil beliau) ini lebih dari 20 tahun lamanya. Waktu itu Oom masih perwira muda, berwibawa. Saya sudah mendengar kehebatannya dari teman-teman se-korpsnya, baik atasan maupun bawahannya. Katanya Oom bisa jadi macan, bisa menghilang. Oom sudah jadi prajurit sejak melawan pendudukan Jepang, Belanda dan pernah ikut bertempur dibanyak tempat di tanah air termasuk pembebasan Irian Barat.
Ditahun 70-an, saya sempat menyaksikan Oom dengan dua saudaranya berlatih silat dengan menggunakan teknik pukulan dan kuncian yang canggih. Menurut keterangan beliau itu ramuan gerak silat dari Banten, Jawa dan Indonesia yang lain.
Dua Oom yang lain termasuk Angkatan’45 dan juga pernah berjuang mengangkat senjata melawan penjajah dan pada waktu berlatih silat masih menjadi guru silat.
Saya telah menyaksikan kewaskitaan Oom dalam meramal dan membaca sesuatu yang akan terjadi, banyak yang tepat.
Malam itu, sesudah makan malam, beliau ngobrol santai dengan saya diteras rumah kami. Dalam privacy, beliau membuka pembicaraan :
“ Begini nak Suryo, karena nak Suryo saya nilai telah mempunyai pengertian yang luas tentang ngelmu Kejawen, saya ingin menjelaskan mengenai ngelmu saya dan apa saja pengalaman saya supaya tidak ada salah pengertian”.
“ Oh tentu Oom, saya merasa mendapat kehormatan yang tinggi, apalagi sebagai orang muda yang mendapatkan kunjungan dari priyayi sepuh”, jawab saya sesopan mungkin.
“ Begini nak, sebagai sesama orang tradisioanal Jawa, saya ingin sebelumnya menyatakan bahwa saya tidak menyombongkan diri, saya hanya akan bicara jujur apa adanya. Inilah sikap hidup yang saya tempuh selama ini”.
Ringkasnya cerita, dimulai sejak usia muda dimasa perang kemerdekaan, beliau bersama seorang kakaknya dan beberapa teman-temannya berguru ngelmu kanuragan kepada seorang guru di daerah Jawa Timur. Hal itu diperlukan untuk pagar diri, sesuatu yang biasa pada masa itu.
Ngelmu yang diserapnya adalah yang sesuai dengan keperluan menghadapi perang sebagai tentara. Sedangkan ngelmu kebatinan baru sebatas pemahaman, menurut perasaannya belum sampai kepuncaknya. Oleh karena itu kini adalah waktunya, Oom sudah banyak punya waktu senggang mau “napak tilas” ke-perguruannya lagi dan siapa tahu bisa ketemu saudara seperguruan yang sudah jadi. Dia ingin melanjutkan di-perguruan kebatinan yang sama, karena hanya ajaran dari perguruan tersebut yang dirasanya sreg – sesuai dengan dirinya.
Oom berhenti bicara sejenak, memandang saya dan berkata dengan sikap sangat serius : “ Begini nak, selama saya menginap disini, kalau melihat saya mulai menggeram, kapan saja, siang, malam atau ketika saya sedang tidur, panggillah nama kecil saya sekali saja, dan jangan diulang.
“Baik Oom”, jawab saya.
“ Mungkin nak Suryo ingin tahu kenapa?” Langsung diteruskannya : “ Kalau panggilan itu diulang, maka” ngelmu macan” saya bangkit dan saya akan mengamuk bagai macan.”
Sudah sering saya dengar cerita dari saudara-saudara dan teman-temannya bahwa selama berdinas Oom pernah mengamuk lebih dari sekali. Oleh karena itu teman-teman sejawatnya menyebutnya Oom bisa jadi macan dan bahkan menghilang. Yang terakhir “si macan” mengamuk sewaktu mencoba bekerja diperusahaan swasta dan satu saat merasa dilecehkan oleh bos-nya yang anak muda. Selama satu jam “si macan” memporak-porandakan seluruh isi kantor.
Dengan sopan dan lugas saya menjawab :’ Baik Oom, saya estokaken – saya akan laksanakan pesan Oom”.
Dalam batin saya mencipta, dengan karsa Gusti, jangan sampai “si macan” kumat selama berada dirumah kami. Saya mengerti “si macan” akan otomatis bangkit bila merasa terhina, tersinggung perasaannya dan dalam keadaan kepepet. Disini yang main adalah rasa sensitifnya demi kehormatan dan keselamatan. Ini sebenarnya bisa diterima nalar, seseorang yang tak bisa mengendalikan perasaannya sewaktu tersinggung, maka dia akan meledak begitu saja. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari perlu latihan kesabaran ( gampang diucapkan, kadang-kadang sulit dilakukan, juga untuk penulis).
Bagaimana beliau menyempurnakan ngelmunya, saya tidak pernah diberi tahu. Yang jelas, sampai akhir hidupnya beberapa tahun kemudian, dalam kehidupan yang relatif tenang, tidak lagi terdengar”si macan” mengamuk.
Mungkin “macan”nya sudah dikembalikan ke-habitatnya dan yang tinggal adalah Oom yang sejatinya manusia makhluk Gusti, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Memang benar bahwa seseorang yang sudah sepuh memang semestinya sudah meninggalkan ngelmu kanuragan ( kalau punya) dan juga yang bersifat kadonyan- keduniawian. Karena keduanya akan menghambat pemahaman spiritual yaitu kehidupan sejati.
Jagadkejawen,
Suryo S. Negoro
http://jagadkejawen.com/id/aneka-ragam/kanoman
Seperti telah dijelaskan pada artikel di Bab Spiritualitas tentang “ Tingkatan Ngelmu dalam Kejawen”, Ngelmu Kanoman adalah untuk golongan muda. Semua tataran ngelmu kecuali Ngelmu Sejati atau Ngelmu Kasampurnan atau Spiritualitas atau Kebatinan, belum mencapai tingkat tertinggi. Seseorang yang telah tercerahkan dalam kebatinan , dia telah mengenal Pribadi Sejatinya ,telah mengetahui Kasunyatan .Dimana dalam tataran ini jiwa telah tercerahkan dan mencapai kesadaran tertinggi yaitu asal muasal kita satu dan sama, yang ada adalah kita.
Dengan uraian diatas, menjadi jelas bahwa saudara-saudara kita yang belum tercerahkan jiwanya, durung bontos pungkasaning ngelmu, belum mencapai puncaknya ngelmu sejati, pikirannya masih terpilah-pilah.
Bagaimanapun baiknya seseorang, tetap saja ada pemilahan antara saya, kamu dan dia. Sehingga masih mudah pemahaman untuk mementingkan diri, untuk aku, kelompokku, keluargaku, saudaraku. Rasa kemanusiannya mudah terganggu oleh solidaritas individu dan kelompok dalam arena kehidupan yang berpihak kepada keduniawian. Meskipun harus dicatat bahwa tidak semua keduniawian itu jelek, ada hal-hal yang positif bagi manusia, yang menonjol misalnya prestasi iptek.
KANURAGAN
Berkelahi secara sportif
Penulis akan menceritakan apa yang pernah dialaminya sendiri pada masa remaja. Kemungkinan hal yang seperti ini bisa saja terjadi ditempat lain dan dikurun waktu lain.
Sampai dengan tamat SMA tahun 1959, penulis tinggal di Jogjakarta. Pada masa itu ,beberapa kali menyaksikan perkelahian fisik antara dua anak muda, biasanya terjadi perkelahian satu lawan satu, bukan berantem masal atau tawuran. Perkelahian juga dengan tangan kosong ,biasanya tidak menggunakan senjata tajam, apalagi senjata api.
Suasana waktu itu masih sportif, jujur. Bila dua kelompok anak muda berhadapan, maka biasanya terjadi persetujuan antara mereka, masing-masing mengajukan “jagonya” untuk berduel satu lawan satu. Masing-masing kelompok memberi semangat kepada jagoannya, tetapi tidak ada yang ikut membantu. Suasananya memang gaduh, dengan teriakan-teriakan yang seram. Kedua petarung berkelahi habis-habisan, menggunakan segala akal dan ketrampilannya. Berbagai gerak, pukulan, sabetan, gumulan diperagakan, tetapi tidak ada yang sampai mati, pingsanpun tidak. Kalau keduanya sudah tampak kewalahan atau salah satu sudah terdesak, lalu dipisahkan ramai-ramai. Kedua petarung saling berjabat tangan dan sejak saat itu berjanji untuk tidak saling dendam lagi.
Orang “ngoho”
Sejak jaman dulu memang ada orang “ngoho” – senang berkelahi ( Bahasa Jawa slank). Penyebab perkelahian biasanya soal sepele saja atau boleh dibilang memang dicari-cari. Orong ngoho, memang punya watak getol berantem, selalu ingin memcoba kemampuan dan kekuatannya dan ingin mencoba keberanian orang lain.
Pada saat itu, menurut apa yang penulis alami, tidak ada perkelahian yang terjadi karena perbedaan pandangan dalam bidang politik atau pendapat yang lain. Pergaulan anak muda, terutama antar pelajar,tidak terkotak-kotak dalam ormas orpol. Pemuda pelajar disaat itu sangat mendambakan persatuan Indonesia, sangat menghargai kemerdekaan bangsa dan negara dan secara mental semua siap untuk memperjuangkan pembebasan Irian Barat yang waktu itu masih dalam cengkeraman kolonialis Belanda.
Menjelang dan saat-saat Pemilu 1955 ( waktu itu penulis masih SMP), tidak ada bentrok masal karena politik. Pemilihan Umum berjalan lancar, meski keadaan masih sederhana, tetapi berjalan lancar dan demokratis.
Pencak Silat
Ditahun 1950-an, ada banyak perguruan pencak silat. Siswa-siswanya sebagian terbesar adalah pemuda pelajar sekolah menengah, sedangkan guru-gurunya pendekar mumpuni yang usianya kebanyakan 50 tahunan, ada banyak mahasiswa yang jadi asisten guru.
Pencak adalah seni olahraga beladiri, gerakan-gerakannya terdiri dari beberapa jurus pokok, gerak langkah lengkap dengan” kembang-kembang”/variasi geraknya yang artistis.
Silat adalah kunci gerakan-gerakan pokok untuk bertahan dan menyerang, termasuk untuk melumpuhkan gerakan lawan. Kunci-kunci gerakan silat biasanya adalah rahasia masing-masing perguruan. Ini diajarkan sesuai tingkat siswa. Pencak Silat disebut seni beladiri – The Art of Self Defense bukannnya The Martial Art –Seni Laga. Ini untuk menunjukkan bahwa pesilat itu tidak agresif, kalau seorang pesilat sampai menggunakan ilmunya, itu hanya karena dia harus mempertahankan diri dan membela kebenaran. Pencak Silat memang olahraga beladiri yang memerlukan latihan-latihan yang teratur dengan disiplin keras dan ditunjang oleh jiwa raga yang sehat.
Paguyuban-paguyuban pencak silat yang terbuka, tidak mengajarkan ngelmu supranatural atau mantra-mantra. Mereka sepenuhnya menggunakan ketrampilan raga ,akal dan pikir.
Anggota perguruan pencak silat harus berjanji untuk menggunakan kemampuannya hanya untuk membela diri, untuk tujuan positif, tidak untuk umuk-umukan- pamer, apalagi untuk perbuatan yang tak terpuji, melanggar hukum seperti perbuatan kriminal.
Anggota yang ketahuan melanggar aturan akan dikeluarkan, tetapi seingat penulis( yang juga pernah belajar pencak silat), hal seperti itu sangat jarang terjadi.
Kanuragan dengan Mantra
Pencak Silat “ Setrum”
Murid-murid perguruan pencak dengan “setrum”, pada waktu berlatih dibimbing oleh guru ,dengan menggunakan daya supranatural. Guru terlihat duduk bersila atau dikursi atau berdiri dipinggir tempat latihan, berkonsentrasi penuh, tangannya kadang-kadang bergerak seperti gerakan silat, memberi perintah batin kepada murid-muridnya untuk melakukan gerakan –gerakan silat.
Para siswa berdiri dengan sikap siap, lalu mereka bersama-sama melakukan gerakan-gerakan silat yang sama dengan mantap. Gerakannya meliputi gerak dari badan, tangan, kaki, leher, kepala, jari-jari tangan. Ada gerakan lambat, cepat, bertahan, menyerang, mengunci. Para pesilat bergerak secara otomatis, tidak ada terdengar suara aba-aba dari mulut guru. Semua perintah hanya lewat batin. Ini yang secara populer pada waktu itu disebut pencak “setrum “. Stroem dari bahasa Belanda artinya aliran listrik. Mungkin kalau sekarang yang dimaksud adalah pengaliran enerji.
Dalam latihan, selain ada gerakan silat bersama, juga ada latihan perkelahian satu lawan satu atau satu orang dikeroyok oleh beberapa orang. Pada tingkat selanjutnya, latihan ada yang menggunakan tongkat, senjata tajam dsb.
Dalam pencak setrum, murid sepenuhnya patuh dan percaya kepada guru, sebaliknya gurunya tidak sembarangan menerima murid. Penerimaan sangat selektif dan berdasarkan penilaian guru secara diam-diam. Oleh karena itu, keanggotaan pencak setrum saat itu tidak masal, karena tanggung jawab guru juga berat, atas tindak tanduk muridnya dimasyarakat. Kalau ada muridnya yang berkelakuan negatif, itu akan mencemarkan nama baik guru dan perguruan.
Guru biasanya akan memberikan kepada semua siswanya sebuah paket ajaran yang terdiri dari beberapa jurus pencak silat untuk bertahan dan menyerang seperti : gerakan silat khusus burung bangau, ular, monyet, harimau dll.
Ada” ngelmu” dengan gerakan khusus yang diberikan untuk siswa tertentu yang dinilai cocok dan kuat menerima “ngelmu” tersebut.Ini bukannya guru pilih kasih, tetapi setiap orang punya kelebihannya masing-masing.
Diberikan pula pokok-pokok cara penyembuhan alternatif termasuk pijatan untuk menguatkan raga dan menyembuhkan salah urat/terkilir, luka, lebam karena pukulan dan penyakit-penyakit lain termasuk membersihkan gangguan “yang tidak kelihatan”.
Setelah beberapa saat, ketika guru menilai murid sudah kuat menerima, maka guru akan memberikan wejangan berupa penggunaan mantra-mantra. Setapak demi setapak, murid akan diajari untuk melakukan gerakan silat sendiri.
Yang terpenting untuk menguasai setiap gerakan, murid harus membersihkan diri dulu baik fisik maupun mental antara lain dengan cara berpuasa dan melakukan pantangan tertentu. Latihan raga seperti berpuasa, tidak tidur dan berpantang itu bertujuan untuk membangkitkan daya badan halus dan kepekaan batin. Untuk menyerap ngelmu kanuragan dan juga ngelmu-ngelmu yang tingkatannya lebih tinggi seperti keselamatan/karahayon, kadonyan dan juga kesepuhan ada kalanya diperlukan mesu raga atau laku tirakat.
Ini merupakan tradisi turun temurun yang sudah berlaku semenjak kuno. Guru pada waktu belajar, juga menjalani hal yang sama untuk menerima ngelmu.
Siswa yang menerima ngelmu dari guru wajib melakukan hal ini, percaya sepenuhnya dengan mantap dan sadar menjalaninya. Biasanya siswa kuat dalam masa menerima transformasi ngelmu dari guru, dia tidak mengeluh/sambat-sambat untuk selama beberapa hari. Dia kuat menahan haus, lapar, kurang tidur dan lain-lain ujian. Kalau dia mengeluh, bisa-bisa transformasi ngelmu dari guru tidak jalan, artinya tidak bisa menguasai ngelmu itu. Sehingga dia harus mengulang lagi pelajaran dan laku tirakatnya.
Tirakat dalam perguruan pencak setrum adalah merupakan pitukon/laku wajib yang harus dijalani a.l. berupa :
1. Pembersihan dengan sesuci mandi. Ada yang mandi biasa, mandi dikali, dilaut, dipancuran,dialam terbuka pada waktu yang ditentukan. Ada pula yang harus mandi dengan air kembang setelah terlebih dulu keramas.
2. Pantang melakukan hubungan seks untuk beberapa saat.
3. Menjalani puasa, yang antara lain berupa : Tidak boleh makan minum disiang hari. Ngrowot- yang boleh dimakan hanya buah-buahan. Mutih- hanya boleh makan nasi putih sedikit dan minum air putih. Nganyep- makan sedikit nasi dan sayur tanpa garam , bumbu dan gula. Nglowong-sama sekali tidak boleh makan minum. Ngebleng- tidak makan ,tidak minum, tetapi boleh berada diluar kamar. Patigeni – tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak boleh melihat sinar, jadi harus berada dikamar gelap untuk beberapa waktu ,misalnya sehari semalam. Ada pula yang sewaktu menjalani puasa harus berada selalu dibawah langit terbuka. Ini semua tidak dianggap sebagai siksaan, melainkan gemblengan mental yang harus dilakukan untuk menambah kekuatan dan keyakinan terhadap ngelmunya. Benarlah apa yang dikatakan orang-orang dulu : Ngelmu iku kelakone kanthi laku – Ngelmu itu bisa dikuasai dengan latihan dan tirakat.
Ada tiga hal pokok yang diberikan kepada siswa, yaitu :
1. Mantra atau mel atau amalan.
2. Laku, puasa dan pantangan.
3. Patrap, sikap ragawi dan niat mantap.
Mantra, Laku dan Patrap, sesuai dengan ngelmunya. Ngelmu untuk pukulan geledhek lain dari ngelmu untuk menghindari serangan, oleh karena itu mantra, laku dan patrapnya lain-lain.
Supaya ngelmu bisa benar-benar dikuasai, harus ada kerjasama antara guru dengan siswa. Guru mengajar, menuntun, mengawasi. Siswa benar-benar mempelajari dengan yakin, percaya dan mantap.
Mantra bisa berjalan karena daya batin yang serasi, kalau diolah secara dangkal rasional tentu tidak akan ketemu. Dalam tataran ngelmu yang lebih tinggi seperti Kasepuhan dan Kasampurnan, mantra yang digunakan dengan selaras bahkan mampu menyentuh Suksma.
Praktek Pencak Setrum
Tibalah saatnya guru menurunkan ngelmu kepada siswa. Ini juga berlaku mengenai kebiasaan tradisi tentang waktu dan tempat.
Tempat : Bisa didalam rumah guru, dihalaman rumah guru, ditanah lapang, dipinggir sungai, dipantai, dihutan dll.
Waktu : Biasanya malam hari. Ada yang harus saat bulan purnama ditengah malam. Ada yang pagi atau siang hari. Ada juga menurut hari sesuai kalender Jawa seperti Jum’at Kliwon atau Legi, Senin Pon dll. Sesuai kebiasaan, guru yang menentukan waktu dan tempat.
Transformasi ngelmu
Pada saat yang telah ditentukan, disuatu malam, dihalaman rumah guru, seorang atau beberapa siswa yang masih berpuasa dan berpantang telah siap.
Guru membisikkan atau dengan suara pelan mengucapkan mantra yang sesuai dengan ngelmu yang diberikan, dengan jelas dan pelan. Siswa mengulangi ucapan guru dengan cara yang sama.Siswa dengan tuntunan guru mengucapkan mantra itu sampai hafal .
Dalam ngelmu kanuragan seperti pencak setrum, setelah menerima mantra , siswa dengan diawasi guru diminta untuk mempraktekkannya. Kalau sebelumnya,pada waktu latihan murid melakukan gerak-gerak silat dengan mantra yang diucapkan oleh guru, kini siswa melafalkan mantra tersebut sendiri dan secara otomatis bergerak sendiri, seperti ada yang menggerakkan. Tentu oleh guru dia telah diberi tahu kata sandi untuk berhenti. Itu tandanya siswa telah mampu menyerap ngelmu yang diberikan guru.
Sesudah suatu ngelmu kanuragan dikuasai , biasanya ada pantangan yang tak boleh dilanggar seperti : tidak boleh keluar rumah dihari tertentu, tidak boleh makan sate, tidak boleh membunuh binatang, tidak boleh tidur siang, tidak boleh mengucap kata tertentu, tetapi ada juga yang tanpa pantangan. Ada kiat-kiat yang harus dilakukan untuk lebih memperkuat penguasaan ngelmu tersebut.
Menyaksikan kanuragan pencak setrum
Ditahun 50-an, waktu itu penulis masih di SD ( SR jaman itu), tinggal di kota Jogja, sering menyaksikan beberapa tetangga yang sedang berlatih pencak setrum. Seingat penulis ada 4/empat orang tetangga magersari yang rutin berlatih dikebun pisang dan ketela disebelah rumah kami.( Waktu itu ayah penulis punya tanah yang agak luas untuk ukuran kota Jogja. Dibagian depan yang menghadap jalan untuk rumah keluarga kami dengan halamannya , disamping dan belakang untuk kebun pisang dan ketela. Ditanah kebun itu ada 4/empat rumah yang didirikan oleh tetangga kami secara magersari. Mereka itu dengan persetujuan ayah, ikut tinggal dengan cara mendirikan rumah sendiri dan tidak ditarik sewa untuk penggunaan tanah. )
Suasana di-komunitas kecil kami akur dan cukup regeng - akrab hubungannya. Disetiap rumah itu ditinggali keluarga besar masing-masing, ada kakek,nenek, bapak ibu dan anak-anaknya.Para tetangga magersari itu orang-orang merdeka yang mencari nafkah diberbagai bidang, ada yang jadi mekanik PJKA, tukang jahit, tukang rotan, tukang becak, kuli, para istrinya kebanyakan jualan pecel atau makanan kecil dipasar. Ayah penulis bekerja di Pemda Jogja di Kepatihan, ibu adalah perias temanten Jawa. Anak-anak tetangga itu menjadi teman main dekat penulis dimasa kecil.
Silat “Monyet”
Penulis ingat , mereka itu selain berlatih gerak silat biasa , juga sering memperagakan silat a la monyet.
Pesilat berdiri tegak dengan sikap sempurna, kedua tangan didepan dada, konsentrasi menutup mata, lalu matek aji- mengucapkan mantra dalam batin. Lalu pesilat itu mulai bergerak mulanya pelan, kemudian meningkat dengan gerakan-gerakan lincah seperti monyet dan kadang –kadang juga bersuara seperti monyet.
Peragaan silatnya cukup lengkap, seluruh anggota badan dipergunakan untuk memukul, menendang, mencakar, meloncat-loncat, berguling, bertahan dan menyerang sambil menggigit.
Beberapa kali saya melihat peragaan mengupas kelapa. Buah kelapa yang masih utuh, berserabut, dengan gigi dikupasnya serabut kelapa tersebut, dengan sesekali mengeluarkan suara bagai lengkingan monyet.Akhirnya buah kelapa itu terkupas semua serabutnya dengan cara gigitan.Biasanya pengupasan berjalan mulus, tetapi suatu saat saya saksikan dua buah gigi depan atas pesilat patah separuhnya. Saya kaget kenapa itu bisa terjadi?
Untuk mendapatkan jawaban atas beberapa hal yang saya belum tahu pada masa kecil, biasanya saya bertanya kepada ayah. Ayah seorang Jawa tradisional, sewaktu muda juga pesilat, seniman penabuh gamelan, penari Jawa klasik, mempelajari dan menghayati Kebatinan. Ayah menjelaskan kenapa gigi pesilat itu patah : 1. Dia kurang persiapan 2. Giginya memang tidak kuat.
Kurang persiapan itu luas artinya. Secara umum ada kelengahan pada waktu pelaksanaannya, ada kekeliruan.
Perlu diketahui bahwa sehebat-hebatnya apa yang disebut “ ngelmu” gaib, satu saat ada naasnya, oleh karena itu tetap harus hati-hati dalam melaksanakannya. Selain itu, faktor alami juga harus diperhatikan. Serabut kelapa itu sangat kuat, gigi pesilat kurang kuat.
Ayah selalu menekankan bahwa belajar kanuragan itu supaya dilihat manfaatnya. Kanuragan seperti pencak silat itu bagus, tetapi silat untuk mengupas serabut buah kelapa itu untuk apa?
Mungkin belum terpikir oleh ayah pada masa itu bahwa kupas kelapa ala monyet menggigit itu bisa jadi atraksi hiburan dan pariwisata yang menghasilkan uang dan devisa.
Gerakan Harimau Menerkam
Pertengahan tahun 1958, dipermulaan tahun pelajaran, saya baru naik ke kelas 3, umur saya belum 17 tahun.Pada satu hari Sabtu malam Minggu, SMA kami mengadakan bazar, satu event yang biasa diadakan oleh sekolah-sekolah pada masa itu. Bazar sekolah terbuka untuk umum. Suasana meriah, selain teman-teman satu sekolah, banyak juga pelajar sekolah lain yang datang. Mereka biasanya datang berombongan ramai-ramai. Karena berombongan jadi lebih berani. Mereka keliling melihat-lihat stand, ikut permainan yang ditawarkan , bercanda ria diantara mereka sendiri, tanya ini itu kepada teman-teman putri kami yang menjaga stand dengan nada sedikit menggoda. Kalau ketemu rombongan lain sekolah saling sapa, karena sudah saling kenal. Ada yang saling menggoda diiringi tawa riang. Memang bazar pelajar disaat itu adalah satu happy event, untuk bergaul dan hiburan.
Yang suka bikin ribut kalau ada rombongan anak “ndugal”- nakal, suka bikin gara-gara- gawe dhadhakan supaya berantem. Malam itu rupanya ada serombongan anak ugal-ugalan, sehingga mereka di beri peringatan oleh teman-teman yang bertugas sebagai ketertiban. Mereka diminta supaya meninggalkan arena bazar, akibatnya timbul perkelahian.
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti auman harimau dari halaman depan sekolah. Saya yang waktu itu lagi bertugas mengawasi stand-stand yang dihalaman belakang sekolah, berlari kehalaman depan sekolah untuk melihat apa yang terjadi. Dibawah sinar lampu redup dan sinar bulan, saya lihat adik kelas 2 yang bertugas selaku keamanan lagi menyerang lawannya dengan gerakan –gerakan harimau menerkam. Setiap kali menyerang dengan kedua tangan mencakar, terdengar auman kuat. Pada waktu tidak menyerang , dia menggeram keras.
Saya lihat lawannya cukup tenang melakukan perlawanan dengan gerakan-gerakan silat menghindar kekiri dan kekanan, sambil mundur sesekali dia melontarkan pukulan dengan tangan kosong. Perkelahian cukup fair, satu lawan satu, tidak ada keroyokan.
Tak lama kemudian semua teman-teman petugas keamanan datang karena panggilan”auman” harimau yang membahana. Ramai-ramai para “tamu” yang bikin ribut tersebut kita usir . “ Sudah, sudah, yang mengacau pergi atau kita usir dengan paksa”.
Mendengar teriakan kami, petarung lawan dan konco-konconya dengan cepat mundur dan meninggalkan sekolah dengan menaiki sepeda-sepeda mereka yang sengaja diparkir didepan sekolah. Rupanya mereka datang untuk “ mencoba kekuatan”.
Sesudah musuh pergi, saya rangkul jagoan kami sambil berkata : “ Sudah, sudah, musuhmu sudah lari”. Ayo kita semua kembali ke halaman belakang”. Kepada kerumunan penonton saya bilang : “ Bubar, bubar, pertunjukan sudah selesai. Tidak ada apa-apa”’
Kalau soal “ketertiban” disekolah, saya masih didengar, karena saya murid kelas 3 yang dianggap anak bandel. Saya berteman baik dengan teman-teman yang juga termasuk kategori bandel.
Ditempat terang, saya periksa petarung kami, saya lihat dia baik-baik saja, hanya mata kirinya biru terkena pukulan yang cukup keras. Saya tepuk-tepuk punggungnya supaya dia tenang, nafasnya masih ngos-ngosan dan kencang , masih belum bisa bicara. Lama-lama nafasnya kembali normal dan mulai bicara meski masih belum lancar. Saya beri dia minum air putih, selang beberapa saat sudah kembali normal.
Lalu dia menceritakan bagaimana sampai terjadi perkelahian. Awalnya terjadi tantang menantang lalu terjadi duel. Memang sudah biasa ,seorang petarung tentu akan menganalisa jalannya perkelahian yang baru saja dialaminya. Begitu juga jagoan yang punya “ajian harimau” ini.
Dari ceritanya ,bisa diketahui bahwa sewaktu dia matek ajinya- mengamalkan mantranya, dia berada dalam keadaan sadar. Dia cerita beberapa kali dia sempat menghantam dan mencakar lawannya, dia juga sempat sempoyongan terkena hantaman tangan musuhnya.
Saya menukas ; “ tadi waktu lawan terjatuh terkena pukulanmu, kenapa tidak kamu tubruk saja biar takluk?”
Dia menjawab dengan mata memerah : “ Tadinya memang mau saya habisi, tetapi saya lihat dia mengeluarkan dari bajunya benda putih yang berkilat kena sinar bulan, saya pikir itu pisau tajam, jadi saya urungkan niat, bisa gawat nantinya”.
Saya tukas sambil bercanda : “ Lho, kok macan takut sama pisau?’ Kan kulitnya tebal”. Dia tersenyum menjawab : “ Jo ngono to – jangan gitu ah, kalau bahaya ya jangan”.
Akhirnya saya tanya apakah dia tahu siapa lawannya itu. Dia jawab sudah pernah ketemu dan rupanya sama-sama ingin mencoba ketrampilan berantemnya. Jadi apa yang terjadi hanyalah ledakan yang telah lama diantisipasi.
Ketemu Macan Tua
Dipertengahan tahun 80-an, seorang kerabat dekat saya berkunjung dan menginap dirumah kami untuk beberapa hari. Beliau belum lama jadi purnawiran kolonel . Maksud kunjungannya adalah : 1. Menikmati masa pensiun 2. Mempererat tali persaudaraan supaya bisa saling mengenal dan 3. Ini mungkin yang terpenting : Ingin menjelaskan tentang ngelmu yang selama ini telah dipunyainya dan bertukar pikiran mengenai Kejawen.
Tentu saya merasa sangat terhormat dan dengan senang hati menerima beliau. Saya telah mengenal dekat Oom( begitu saya memanggil beliau) ini lebih dari 20 tahun lamanya. Waktu itu Oom masih perwira muda, berwibawa. Saya sudah mendengar kehebatannya dari teman-teman se-korpsnya, baik atasan maupun bawahannya. Katanya Oom bisa jadi macan, bisa menghilang. Oom sudah jadi prajurit sejak melawan pendudukan Jepang, Belanda dan pernah ikut bertempur dibanyak tempat di tanah air termasuk pembebasan Irian Barat.
Ditahun 70-an, saya sempat menyaksikan Oom dengan dua saudaranya berlatih silat dengan menggunakan teknik pukulan dan kuncian yang canggih. Menurut keterangan beliau itu ramuan gerak silat dari Banten, Jawa dan Indonesia yang lain.
Dua Oom yang lain termasuk Angkatan’45 dan juga pernah berjuang mengangkat senjata melawan penjajah dan pada waktu berlatih silat masih menjadi guru silat.
Saya telah menyaksikan kewaskitaan Oom dalam meramal dan membaca sesuatu yang akan terjadi, banyak yang tepat.
Malam itu, sesudah makan malam, beliau ngobrol santai dengan saya diteras rumah kami. Dalam privacy, beliau membuka pembicaraan :
“ Begini nak Suryo, karena nak Suryo saya nilai telah mempunyai pengertian yang luas tentang ngelmu Kejawen, saya ingin menjelaskan mengenai ngelmu saya dan apa saja pengalaman saya supaya tidak ada salah pengertian”.
“ Oh tentu Oom, saya merasa mendapat kehormatan yang tinggi, apalagi sebagai orang muda yang mendapatkan kunjungan dari priyayi sepuh”, jawab saya sesopan mungkin.
“ Begini nak, sebagai sesama orang tradisioanal Jawa, saya ingin sebelumnya menyatakan bahwa saya tidak menyombongkan diri, saya hanya akan bicara jujur apa adanya. Inilah sikap hidup yang saya tempuh selama ini”.
Ringkasnya cerita, dimulai sejak usia muda dimasa perang kemerdekaan, beliau bersama seorang kakaknya dan beberapa teman-temannya berguru ngelmu kanuragan kepada seorang guru di daerah Jawa Timur. Hal itu diperlukan untuk pagar diri, sesuatu yang biasa pada masa itu.
Ngelmu yang diserapnya adalah yang sesuai dengan keperluan menghadapi perang sebagai tentara. Sedangkan ngelmu kebatinan baru sebatas pemahaman, menurut perasaannya belum sampai kepuncaknya. Oleh karena itu kini adalah waktunya, Oom sudah banyak punya waktu senggang mau “napak tilas” ke-perguruannya lagi dan siapa tahu bisa ketemu saudara seperguruan yang sudah jadi. Dia ingin melanjutkan di-perguruan kebatinan yang sama, karena hanya ajaran dari perguruan tersebut yang dirasanya sreg – sesuai dengan dirinya.
Oom berhenti bicara sejenak, memandang saya dan berkata dengan sikap sangat serius : “ Begini nak, selama saya menginap disini, kalau melihat saya mulai menggeram, kapan saja, siang, malam atau ketika saya sedang tidur, panggillah nama kecil saya sekali saja, dan jangan diulang.
“Baik Oom”, jawab saya.
“ Mungkin nak Suryo ingin tahu kenapa?” Langsung diteruskannya : “ Kalau panggilan itu diulang, maka” ngelmu macan” saya bangkit dan saya akan mengamuk bagai macan.”
Sudah sering saya dengar cerita dari saudara-saudara dan teman-temannya bahwa selama berdinas Oom pernah mengamuk lebih dari sekali. Oleh karena itu teman-teman sejawatnya menyebutnya Oom bisa jadi macan dan bahkan menghilang. Yang terakhir “si macan” mengamuk sewaktu mencoba bekerja diperusahaan swasta dan satu saat merasa dilecehkan oleh bos-nya yang anak muda. Selama satu jam “si macan” memporak-porandakan seluruh isi kantor.
Dengan sopan dan lugas saya menjawab :’ Baik Oom, saya estokaken – saya akan laksanakan pesan Oom”.
Dalam batin saya mencipta, dengan karsa Gusti, jangan sampai “si macan” kumat selama berada dirumah kami. Saya mengerti “si macan” akan otomatis bangkit bila merasa terhina, tersinggung perasaannya dan dalam keadaan kepepet. Disini yang main adalah rasa sensitifnya demi kehormatan dan keselamatan. Ini sebenarnya bisa diterima nalar, seseorang yang tak bisa mengendalikan perasaannya sewaktu tersinggung, maka dia akan meledak begitu saja. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari perlu latihan kesabaran ( gampang diucapkan, kadang-kadang sulit dilakukan, juga untuk penulis).
Bagaimana beliau menyempurnakan ngelmunya, saya tidak pernah diberi tahu. Yang jelas, sampai akhir hidupnya beberapa tahun kemudian, dalam kehidupan yang relatif tenang, tidak lagi terdengar”si macan” mengamuk.
Mungkin “macan”nya sudah dikembalikan ke-habitatnya dan yang tinggal adalah Oom yang sejatinya manusia makhluk Gusti, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Memang benar bahwa seseorang yang sudah sepuh memang semestinya sudah meninggalkan ngelmu kanuragan ( kalau punya) dan juga yang bersifat kadonyan- keduniawian. Karena keduanya akan menghambat pemahaman spiritual yaitu kehidupan sejati.
Jagadkejawen,
Suryo S. Negoro
http://jagadkejawen.com/id/aneka-ragam/kanoman
Comments
Post a Comment