Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Di Era Reformasi
Potret Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan Di Era Reformasi
Oleh Siti Musdah Mulia
Pengantar
Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Setua persoalan ini muncul, masalah kebebasan beragama memang tidak pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang.
Semula, rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lantas diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya), yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Itu tidak berarti tidak ada usaha serius dari sebagian kalangan Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan di sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika usaha-usaha tersebut. Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan pasal 29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan pasal 29 sebagaimana adanya tanpa perubahan apapun; kedua, mengubah ayat 1 pasal 29 dengan memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti rumusan hasil siding BPUPKI 1945; dan ketiga, berusaha mengambil jalan tengah dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat lagi dari pasal 29 tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya: “Penyelanggara Negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma, dan hukum agama” (diusulkan oleh Partai Golkar); “Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa” (diusulkan oleh PPP); dan “Tiap pemeluk agama diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing” (diusulkan oleh Partai Reformasi).
Menarik pula dicatat di sini bahwa perdebatan di MPR tentang pasal 29 itu mencakup juga soal pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi Partai Demokrasi Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata “kepercayaan itu” dari rumusan yang ada karena dianggap membingungkan. Hasil perdebatan panjang di MPR untuk amandemen UUD 1945 menyimpulkan, pasal 29 akhirnya diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti ditetapkan dalam siding PPKI.
Maka tidak berlebihan untuk mengatakan, di Tanah Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tidak hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga masalah pelaksanaannya di lapangan. Sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan agama sepanjang dari Orde lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun masyarakat sipil.
Setidaknya terdapat tiga ranah masalah yang muncul dalam problem rumit isu kebebasan beragama. Pertama, ranah negara dengan berbagai aparaturnya (pemerintah, polisi, pengadilan, dll); kedua, ranah hukum. Terkait isu kebebasan beragama isu-isu hukum yang muncul diantaranya tentang penyiaran agama, bantuan asing, pendirian rumah ibadah, pendidikan keagamaan, dan perda-perda bernuansa syariat Islam. Ketiga, ranah masyarakat sipil. Di level ini tantangan paling serius adalah menguatnya arus gerakan Islamisme, tidak hanya di pusat tapi juga didaerah. Selain itu, patut juga dipertimbangkan peran media dan ormas-ormas dalam membangun karakter masyarakat yang lebih toleran.
Kebebasan Beragama di Era Orde Baru
Selama 32 tahun masa kekuasaannya, rezim Orde Baru memang seperti nyaris sempurna melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama di tanah air. Intervensi ini setidaknya mengambil tiga bentuk. Pertama, campur tangan negara terhadap keyakinan dan kehidupan keberagamaan warga. Rezim banyak melakukan pelarangan terhadap buku, perayaan atau kelompok keagamaan tertentu yang dinilai bisa menganggu dan melakukan perlawanan atas kekuasaannya. Selama dua tahun masa awal kekuasaannya, Orde Baru telah melarang lebih dari seratus aliran kepercayaan atau kebatinan yang berhaluan kiri.
Namun begitu, tidak berarti masalah kebebasan beragama tidak memiliki payung konstitusi yang kukuh. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 jelas menegaskan masalah ini: (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2). “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Ini senafas dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, pasal 18, yakni : “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan manaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.” Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama daripada Deklarasi HAM. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut.
Untuk menunjang pelaksanaan pasal 29 (2) UUD 1945 itu pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Pasal 1 menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dikungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”.
Sepintas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekadar mengingatkan warga negara untuk bersikap hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti melontarkan sebutan “kafir”. Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap komunitas agama dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akan tetapi, ketetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di awal Januari 1965, dan kemudian dukukuhkan oleh pemerintah Soeharto pada 1969, membawa implikasi luas dalam kebebasan beragama di Indonesia pada masa-masa berikutnya. Penetapan itu justru digunakan sebagai legimitasi untuk “mengamankan” agama-agama resmi yang diakui Negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha) terhadap tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain. Bahkan dijadikan pula alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan Negara. Kondisi inilah yang membahayakan kehidupan beragama, yakni agama dijadikan alat politik bagi penguasa. Mulailah terjadi politisasi agama untuk kepentingan penguasa.
Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan ini sejalan dengan rumusan yang terdapat dalam UUD 1945.
Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikirangi dalam keadaan apapun (non-derogable).”
Bentuk intervensi kedua Orde Baru adalah melalui pendifinisian “agama resmi” dan “tidak resmi”. Dengan cara ini Orde Baru mengontrol kelompok keagamaan lain di luar “agama resmi” yang dianggap membahayakan kekuasaannya melalui tangan agama-agama resmi. Ini membuktikan bahwa di masa-masa itu negara ingin menjadikan agama-agama resmi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan.
Pendefinisian ini muncul dalam bentuk keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang antara lain menyebutkan: Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Keloempok-kelompok yang jelas menjadi korban adalah kelompok-kelompok kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, dan komunitas Kaharingan di Kalimantan.
Pada saat yang sama kehadiran UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam agama-agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya kelompok “pembaharu” dalam tubuh mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan Orde Baru.
Tidak heran jika kemudian muncul lembaga-lembaga seperti MUI, WALUBI, PGI, KWI dan HINDUDHARMA. Kelompok-kelompok inilah yang diberi wewenang mengontrol bentuk-bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan di masyarakat. Kemurnian dan keshahihan tafsir yang benar pada gilirannya akan dijadikan dalih untuk mengontrol dan mengendalikan sejauhmana praktik-praktik keagamaan yang dijalankan seorang individu atau kelompok masyarakat menyimpang atau tidak dari garis-garis pokok ajaran keagamaan atau dikatakan sebagai induk agama.
Dalam Islam misalnya, kasus penyimpangan terhadap tafsir mayoritas ditunjukkan dalam kasus Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-hak mereka dibatasi, mulai dari soal membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka.
Dengan pola intervensi ini tak heran berbagai varian dalam kelompok-kelompok keagamaan tidak muncul ke permukaan. Yang mampu bertahan adalah yang mampu menyiasati kekuasaan Orde Baru. Sebut saja kehidupan kelompok sempalan seperti Darul Hadis Islam Jamaah yang dianggap menyimpang dari arus maenstream. Dengan mendukung partai penguasa dan merubah nama menjadi Lemkari (Lembaga Karyawan Islam) atau LDII (Lembaga dakwah Islam Indonesia), kelompok ini mampu bertahan sampai hari ini. Ini berbeda dengan yang dialami Darul Arqam. Kelompok tersebut dinyatakan sebagai kelompok “terlarang”.
Sementara pola intervensi yang terakhir adalah proses kolonisasi agama-agama mayoritas terhadap kelompok kepercayaan atau agama-agama lokal sebagai dampak dari kebijakan dari pendefinisian “agama resmi”. Beberapa kelompok seperti komunitas Sunda Wiwitan, Parmalim, Tolotang, dan Kaharingan menjadi target dari kolonisasi agama resmi melalui islamisasi atau kristenisasi.
Sistuasi ini mendapat legitimasi hukum dengan dirilisnya TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh Negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap TYME merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR di atas bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang terkandung dalam UUD 1945. Prinsip UUD 1945 semestinya hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui perundang-undangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan, bukan membatasi definisi dan jumlah agama.
Jaminan Konstitusi
Secara terperinci jaminan kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan dapat kita simak pada sejumlah kebijakan sebagaimana tersebut di bawah ini:
1. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
2. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1): Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. Pasal 18 ayat (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
4. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
5. UU No. 1/PNPS/1965, jo. UU No. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1 berbunyi: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini”. Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi pembedaan status hokum tentang agama yang diakui melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan bahwa, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism di larang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya…”.
Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3) Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-Undang. Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut antara lain:
1. Restriction for the Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di public dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan, prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan individu-individu (hidup, integritas, atau kesehatan) atau kepemilikan.
2. Restriction for the Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memenifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan mendaftar badan hokum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.
3. Restriction for the Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan berkaitan dengan kesehatan public dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfuse darah atau melarang penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim adalah praktik mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adapt-istiadat tertentu di Afrika.
4. Restriction for the Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan agama atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan social. Olehkarena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan dapat dilakukan oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu.
5. Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan Kebebasan Orang Lain)
5.1 Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan.
5.2 Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum minoritas.
Merujuk dasar-dasar tersebut di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen, yaitu:
1. Kebebasan Internal. Setiap orang memunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.
2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan peribadahannya.
3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, asal-usul.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi omunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban public, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.
8. Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.
Agama dan Prinsip Toleransi serta Kebebasan Beragama
Tidak hanya dalam konstitusi, prinsip kebebasan dan toleransi beragama juga berakar dalam tradisi agama dan kepercayaan. Pada tradisi Islam, misalnya, prinsip-prinsip tersebut ditegaskan dalam al-Quran dan Hadis, termasuk dalam kitab fikih, tafsir, dan bukti sejarah keislaman. Dalam al-Quran prinsip-prinsip tersebut termuat dalam QS. Al-Baqarah, 2: 256 (tidak ada paksaan dalam beragama); Yunus 99 (larangan memaksa penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapaai “kalimatun sawa”); al-Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong orang-orang non-muslim yang tidak memusuhi dan mengusir mereka). Dalam tradisi fikih, prinsip ini termuat dalam konsep “maqashid al-syariah”: kebebasan untuk hidup (hifz al-nafs); kebebasan beropini dan berpendapat (hifz al-‘aql); menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nasl); kebebasan memiliki properti (hifz al-nasl); kebebasan beragama (hifz al-din).
Dalam tradisi Katholik dan Protestan, prinsip ini terdapat Kitab Galatia: Kasihilah sesama manusia seperti kamu mengasihi diri sendiri, Injil Matius 22: 37-40 (Hukum Kasih), atau dalam Advent – Matius 7 : 12-Advent: “Apa yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat padamu, perbuatlah demikian juga, karena inilah isi kitab hukum Taurat dan kitab para nabi; Hindu dalam Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan, Pelemahan), Tat Twam Asi (Aku adalah Kau, Kau adalah aku); Budha dalam kitab Falisuta dan Kalamasuta (jangan mencela agama lain karena dengan mencela agama lain, berarti telah mencela atau mengubur agamanya; Khonghucu dalam ajaran “di empat penjuru lautan, semua manusia bersaudara”.
Sementara itu dalam tradisi kepercayaan dan komunitas lokal, prinsip-prinsip ini memiliki akar kuat. Misalnya petuah Ura’ngi Rua, Kaluppai Rua (ingatlah kejahatan kepada orang lain dan ingat kebaikan orang-orang kepadamu serta lupakanlah kebaikanmu kepada orang lain serta lupakanlah kejahatan orang kepadamu dalaam falsafah Bugis-Makasar atau “to kamase-kamase” (saling mengasihi sesamaa manusia) dalam tradisi komunitas Kajang.
Sepuluh Tahun Reformasi: Tantangan dan Peluang Kebebasan Beragama
1. Perspektif Hukum
UUD 45 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan hukum di Indonesia setelah UUD 45 adalah: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Daerah. Dalam sistim hukum global Indonesia banyak juga meratifikasi berbagi konvenan Internasional seperti Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik lewat UU 12/2005. Dalam masa reformasi UUD 45 paling tidak telah mengalami empat kali amandemen , sungguh sebuah masa perubahan yang sangat cepat dalam hukum di Indonesia.
Banyak sekali produk hukum yang lahir dalam masa reformasi dihasilkan sebagai produk kontestasi etno politik dari berbagai kelompok masyarakat baik ditingkat pusat maupun daerah. Reformasi berjalan dengan berbagai upaya legislatif mengisi ruang hukum Negara Indonesia dengan berbagai produk hukum. Bercampur dengan situasi politik dan ekonomi Negara dan berbagai agenda kepentingan lainnya reformasi telah menghasilkan sejumlah produk hokum, mulai dari UU sampai dengan Peraturan Daerah. Sangat disayangkan, sejumlah produk hokum atau peraturan yang ada menimbulkan ketegangan di masyarakat dan tumpang tindih bahkan ada juga yang melihat sebagai produk-produk multitafsir. Sebut saja Undang-undang Perlindungan Anak tahun 2002, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Undang-undang Administrasi Kependudukan 2006, Keputusan Presiden No. 11/2003 tentang penerapan Syariat Islam di Aceh, Peraturan Daerah (Perda) tentang penerapan Syariat Islam di beberapa daerah, PBM No. 8/9 Tahun 2006 dll.
Berikut beberapa situasi ragam aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak berdasarkan tafsir kelompok tertentu terjadi di bumi pertiwi ini, yang terjadi baik dilakukan kelompok masyarakat maupun pemerintah ;
1. Perda-perda bernuasa Syariat Agama. Beberapa daerah di Indonesia, para pimpinan setempat menerapkan praktek agama yang lebih ketat . Misalnya, di kabupaten Cianjur, beberapa kabupaten maupun kotamadya Sumatera Barat, Gowa, Maros dll. ada peraturan daerah mengharuskan semua pegawai pemerintahan maupun siswa sekolah untuk mengenakan pakaian Muslim. Beberapa penduduk mengatakan bahwa pihak berwenang mencampuri urusan pribadi mereka. Bahkan praktek-praktek agama Islam yang lebih ketat memberikan waktu untuk para pegawai untuk menjalankan shalat berjamaah. Contoh lain adalah munculnya Rancangan Perda (raperda) Kota Injil di Monokwari Papua.
2. Kaum perempuan di Tangerang mengalami pembatasan dalam ruang publik setelah keluarnya Perda No 8 tahun 2005. Terjadi pembatasan aktivitas perempuan di waktu malam hari. Dan peristiwa penangkapan seorang perempuan buruh pabrik menjadi bukti bahwa peraturan yang ada sangat diskriminatif dan membatasi hak ekonomi kaum perempuan untuk bekerja mencari nafkah.
3. Penerapan UU Perlindungan Anak 2002 telah memenjarakan 3 orang perempuan di Indramayu, Jawa Barat yang ditangkap pada 13 Mei 2005 dengan alasan berusaha menarik anak-anak Muslim masuk Kristen. Para perempuan tersebut ditangkap setelah anggota komunitas mengeluhkan bahwa pada saat dilakukannya program sekolah Minggu di rumah mereka, mereka memberikan kotak pensil dan kaos kepada para pengunjung, termasuk anak-anak Muslim.
4. Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin dari Departemen Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun (baik dalam bentuk bantuan itu sendiri, personil, maupun keuangan) kepada kelompok-kelompok keagamaan di dalam negeri. Walaupun pada umumnya pemerintah tidak melaksanakan persyaratan ini, beberapa kelompok Kristen menyatakan bahwa pemerintah menerapkannya lebih sering kepada kelompok minoritas daripada kepada kelompok mayoritas Muslim.
5. Peraturan bersama 2 Menteri. Sebelum dan sesudah adanya PBM no 9 dan 8 2006 terjadi aksi penutupan rumah ibadah Kristiani terjadi secara serentak dan terencana. Dalam beberapa kejadian terjadi aksi kekerasan yang terjadi di depan aparat keamanan pemerintah dan ada kesan pembiaran terhadap aksi kekerasan, terjadi dalam aksi penutup tiga gereja di Perumahan Jatimulya, Bekasi (sampai tulisan ini dibuat aksi ketidakadilan masih terjadi, pembongkaran rumah ibadah oleh pemerintah kabupaten Bekasi).
6. Pada tanggal 8 Maret 2007, 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug, menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena merasa terganggu dengan kegiatan mahasiswa juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekoah tersebut memiliki ijin.
7. Aksi anarkis dilakukan FPI pada saat hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008 di Monas. Dalam suasana semangat kabangsaan yang ada, peristiwa kekerasan terjadi hanya karena perasaan tidak suka. Sungguh sebuah keadaan yang memalukan dalam negara Pancasila.
Demikian hanya beberapa contoh kecil ragam persoalan yang terjadi seputar kebebasan beragama dan berkeyakinan dan disayangkan apa yang terjadi dan bila mencermati Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.
Politik Hukum Negara Indonesia
Dalam refleksi sepuluh tahun reformasi terhadap situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan seharusnya politik hukum Indonesia menjadi jawaban atas negara kesatuan Indonesia dengan Pancasila sebagai falsafah hidup bersama. Bagaimana arah politk hukum kembali kepada situasi pembangunan negara oleh bapak bangsa, bahwa kesatuan bangsa menjadi dasar pertama dalam mengisi kemerdekaan.
Memang dalam beberapa kejadian aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok masyarakat pemerintah melalui aparat kepolisian telah melakukan tindakan yang tepat dengan menangkap dan memproses secara hokum para pelaku. Namun tindakan tersebut tidak secara konsisten dilakukan di berbagai tempat. Artinya kebijakan keamanan sangat bergantung dengan situasi politik si suatu daerah. Tentu hal ini akan sangat memprihatinkan bila terus terjadi.
Bagimana umat beragama di Indonesia hidup berdampingan? Pertama, harapan tentunya pemerintah sebagai pelaksana jalannya roda pemerintahan dapat secara konsisten menjabarkan UUD 1945 melalui berbagi peraturan yang berada di bawah UUD 45 sehingga berbagai produk hukum yang dihasilakan dan bertentangan dengan UUD 45 dapat dibatalkan keberadaannya. Kedua, negara dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab terhadap perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bentuk pengakuan adanya persamaan hak bagi seluruh warga Indonesia. Ketiga, mendorong para pemuka agama mulai dari tingkat pusat sampai daerah membuka ruang dialog dalam merespon berbagai fenomena kehidupan reformasi yang terus berjalan.
Menurut W Cole Durham, Jr (1996), penghapusan diskriminasi menuju kemerdekaan beragama dan berkeyakinan membutuhkan beberapa prasyarat, antara lain 1) Pengakuan dan penghormatan atas pluralisme; 2) Stabilitas ekonomi; 3) Pemerintahan dengan legitimasi yang kuat; 4) Kelompok-kelompok masyarakat mempunyai cara pandang yang positif atas perbedaan satu sama lain.
Mengutip MM Bilah, “Mengapa iklim kebebasan beragama sulit untuk diwujudkan di Indonesia?” Bilah memberikan gambaran paling tidak ada dua faktor yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Krisis dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif merealisasikan undang-undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM sekalipun, pada dasarnya undang-undang Negara Indonesia terkait masalah kebebasan beragama sudah cukup memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran yang menyimpang. Krisis peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah yang mesti kita sadari.
Reformasi di Indonesia masih terus berjalan termasuk reformasi di bidang hukum. Dalam proses yang sedang berjalan dapat juga masyarakat hukum Indonesia melakukan judicial review terhadap semua UU dan peraturan perundang-undangan yang potensial bertentangan dengan UUD 45 demi tercapainya sebuah sistim hukum yang sesuai dengan semangat UUD 45, artinya politik hukum Indonesia yang baik dan tepat akan mendukung terciptanya negara Indonesia yang sejahtera, karena hukum merupakan salah satu pilar pembangunan dalam perjalanan reformasi saat ini.
2. Perspektif Sosio-Kultural
Jatuhnya Orde Baru dan dimulainya era reformasi adalah tonggak penting bagi kehidupan kebebasan beragama hingga sekarang ini, dari yang positif hingga yang mengancam nilai reformasi itu sendiri.
Bagi sebagian masyarakat muslim di tanah air, era transisi itu seperti menjadi momentum bagi ‘kebangkitan’ Islam di tanah air. Di masa-masa ini identitas keislaman yang tak tunggal mencuat ke permukaan–sesuatu yang agaaknya mustahil berkembang di era Orde Baru. Organisasi-organisasi massa Islam, simbol dan label-label Islam, termasuk media-media Islam baru, bermunculan.
Setidaknya terdapat tiga corak organisasi keagamaan berkembang di era reformasi. Pertama, kelompok eksklusif, moderat dan progresif. Dalam deretan kelompok eklusif, bahkan cenderung berhaluan “keras” beberapa nama yang bisa disebut adalah Laskar Jihad (yang sekarang bubar), Front Pembela Islam (FPI), Front Hizbullah, Majlis Mujahidin Indonesia, Hizbuttahrir Indonesia Laskar Jundullah, Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan Forum Pemuda Islam Surakarta. Dalam aksinya sebagian mereka tak segan-segan melakukan aksi-aksi kekerasan. Di level ideologi, ciri khas sebagian kelompok ini adalah perjuangan mereka menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Usaha mereka terbilang gigih dan mensasar hingga kalangan akar rumput. Cukup mendapat respon di lingkungan kampus-kampus umum. Mereka memanfaatkan momentum kebijakan otonomi daerah dalam mendesakan agenda islamisasi mereka. Tulisan-tulisan menyangkut keempat ormas ini cukup lengkap, mengulas mulai dari sejarah kelahiran, aktor, hingga ideologi yang diusung.
Sementara itu peran moderasi tetap dimainkan oleh ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah. Kelompok keagamaan yang lebih bercorak sufistik seperti kelompok Majelis Az-zikra pimpinan Muhammad Arifin Ilham dan kelompok-kelompok zikir yang sekarang berkembang juga dapat dimasukan dalam kelompok berhaluan moderat.
Di luar keduanya, tumbuh kelompok-kelompok yang tidak hanya terbuka tapi juga kritis terhadap isu keagamaan dan sosial. Beberapa nama bisa disebut disini: Wahid Institute Jakarta, Lakpesdam NU, Institute for Interfaith Dialog (Interfidei) di Yogyakarta, ICIP, Indonesian Conference on Religion and Peace (tempat dimana penulis berkiprah), dan Maarif Institute. Tak hanya di Pusat, kelompok ini juga menjamur di tingkat lokal.
Varian arus pemikiran dan kecenderungan ideologi keislaman juga tampak dalam peta perkembangan media di era reformasi, khususnya media cetak. Secara sederhana media-media Islam yang tumbuh di pasar nasional saat ini bisa dipilah dalam dua kategori. Pertama, “media islamis” yang mengusung isu-isu penegakan syariat Islam, jihad, Zionisme, Anti-Amerika. Kedua, “media populer” yang menyajikan isu-isu keislaman dengan pendekatan yang lebih populer dan cocok dengan nilai-nilai kemoderenan. Dalam kategori ini, media-media yang ada bisa lagi dibedakan dalam dua “mistik Islam” dan life style. Ketiga, “media sufisme” yang menyajikan berita dan artikel-artikel tentang pemikiran dan praktis sufisme. Keempat “media pluralis” yang berusaha mengusung ide-ide keislaman yang lebih kritis, terbuka, dan toleran terhadap beragam penafsiran, perbedaan agama dan keyakinan.
Sabili, Hidayatullah, Media Dakwah adalah beberapa nama majalah yang bisa dikategorikan dalam tipe media pertama. Sabili misalnya, media yang telah terbit sejak akhir tahun 80-an ini mencapai oplah fantastis pada tahun 2000 dimana konflik-konflik keagamaan seperti kasus Ambon terjadi. Oplahnya mencapai 100 ribu kopi. Dalam berita-berita yang dimuat Sabili, Hidayatullah, dan Media Dakwah tampaknya muncul nuansa kebencian, terutama non-muslim, melalui idiom-idiom khas seperti anti-Zionis, anti-Barat, kafir, atau penyimpangan akidah.
Sedang media yang bisa bisa dikategorikan sebagai kategori media mistik Islam adalah Majalah Hidayah; Noor untuk media life style; Cahaya Sufi untuk media sufistik; dan majalah Syirah untuk media pluralis.
Berbeda dengan media cetak, potret keragaman pandangan keagamaan yang terefleksi dalam acara-acara di stasiun-stasiun teve nasional tampaknya masih kurang menggemberikan. Terkait acara keagamaan, materi yang dimunculkan masih seragam, hanya memunculkan khotib-khotib yang hanya berbicara tentang iman, takwa, amal soleh, namun sering abai pada situasi konkrit umat seperti kemiskinan, korupsi, kekereasan dan lain-lain.
Stasiun-stasiun teve sepertinya tak punya visi, bahkan terkesan membatasi untuk menyajikan keragaman pandangan keagaman yang berbeda. Benar, bahwa kebebasan media jauh lebih baik dewasa ini ketimbang di era Orde Baru. Tetapi menyangkut akses publik terhadap pandangan yang berbeda-beda dan kemampuan media untuk mewakili kemampuan publik untuk mewakili keragaman pandangan publik mengenai berbagai isu masih berada dibawah standar dan kecenderungannya merosot. Dalam beberapa kasus, media-media juga takut pada protes yang dilancarkan kelompok keagamaan tertentu sehingga mereka terpaksa menuruti apa yang menjadi tuntuntan. Ini pernah dialami SCTV dalam kasus iklan Islam warna-warni, Kompas, dan beberapa media lokal.
Berbagai Tantangan
Keragaman yang tampak dalam potret berbagai keagamaan dan perkembangan media dewasa ini seperti dijelaskan di atas jelas merupakan buah nyata sekaligus sesuatu yang absah di alam demokrasi. Tidak hanya mereka yang meyakini bahwa pluralitas harus dijaga dan dikelola dengan baik, demokrasi memberi ruang bagi kelompok keagamaan atau media yang seakan menolak pluralitas itu bahkan bisa tumbuh subur. Sayangnya keragaman dan perbedaan pandangan mereka ini justru sering berujung pada tindak kekerasan, situasi yang justru membahayakan demokrasi itu sendiri.
Sepanjang era reformasi hingga sekarang, pola kekerasan agama muncul dalam dua bentuk. Pertama, fenomena penyesatan dan kekerasan terhadap aliran keagamaan dan kepercayaan tertentu dengan alasan agama. Wahid Institute mencatat sekitar 27 kasus kekerasan berlangsung sejak 2004 hingga Februari 2006. Sepanjang Januari hingga Nopember 2007, Setara Institute for Democracy and Peace dalam laporan tahunannya mencatat telah terjadi 135 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori. Jumlah terbanyak kelompok (korban) yang mengalami pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah al qiyadah al Islamiyah, sebuah aliran keagamaan dalam Islam yang dipimpin Ahmad Moshaddeq. Aliran ini ditimpa 68 kasus pelarangan, kekerasan, penangkapan dan penahanan. Kelompok berikutnya adalah jemaah Kristen/ Katholik yang mengalami 28 pelanggaran, disusul Ahmadiyah yang ditimpa 21 tindakan pelanggaran.
Sebelumnya bentuk kekerasan mengambil modus aksi terorisme dan konflik antar agama. Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003 untuk Indonesia yang diterbitkan Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan Amerika Serikat, misalnya, cukup gamblang menggambarkan bagaimana kekerasan model ini berlangsung.
Kedua, kristenisasi dan penutupan rumah ibadah. Dalam laporan pengurus Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Wali Gereja Indonesia kepada Komnas HAM pertengahan Desember 2007, sejak 2004 – 2007 telah terjadi 108 kasus penutupan, penyerangan, dan pengrusakan gereja. Paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat, Banten, Poso, Jawa Tengah dan Bengkulu.
Aksi kekerasan keagamaan itu sepertinya berbanding lurus dengan meningkatnya gerakan islamisme yang juga kian menjamur hingga ke pelosok daerah. Isu yang diangkat beragam, mulai dari kristenisasi dan pemurtadan, anti-maksiat, aliran sesat, atau penegakan syariat Islam.
Di daerah, kelompok-kelompok islamis ini menjadi aktor penting bagi lahirnya sejumlah perda bernuansa Syariat. Sebut saja Komite Penegakan Syariat Islam (KPPSI) pimpinan Aziz Kahar, putera Kahar Muzakar pemimpin DI/TII, di Sulawesi Selatan . Organisasi ini dengan tegas menyatakan misinya sebagai organisasi yang memperjuangkan Syariat Islam di Sulsel secara legal formal melalui perjuangan politik konstitusional, demokratis, dan tetap dalam bingkai NKRI. Perda-perda yang lahir di Sulsel sebagian besar ditopang KPPSI. Dengan kendaraan ini pula Aziz Kahar juga terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Sulsel pada 2004 setelah Aksa Mahmud. Aziz meraih suara 636.856 suara. Tahun 2007, Azis mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Kalsel berpasangan dengan Mubyl Handaling.
Menariknya, KPPSI berhasil memperoleh dukungan dari sejumlah tokoh organisasi besar yang selama ini dikenal sebagai organisasi moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Strategi mencari legitimasi dari ormas besar ini juga dipakai kelompok-kelompok Islamis di derah lain. Dalam kasus Monas, bisa dilihat pula bagaimana Riziek Sihab berupaya mencari dukungan opini dari pernyataan ketua PBNU Hasyim Muzadi terkait posisi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragaman dan Berkeyakinan (AKKBB).
Di Sulawesi Selatan, KPPSI berhasil mengajak tokoh NU dan Muhammadiyah untuk ikut menandatangi surat dukungan kepada usaha penegakan syariat Islam yang dilakukan KPPSI. Mereka antara lain KH. Sanusi Baco, Lc., pimpinan pimpinan NU Sulsel, dan KH. Jamaludin Amien dan pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsesl. Fenomena serupa juga tampak dalam pernyataan-pernyataan sikap Forum Umat Islam (FUI) di Jawa Barat terkait isu-isu keagamaan tertentu.
Agar lebih “efektif” di lapangan, kelompok Islamis ini biasanya membentuk kelompok-kelompok sayap militer. KPPSI misalnya membentuk Lasykar Jundullah dan Aliansi Muslim Bulukumba yang menjadi organ taktisnya. Di Jawa Barat berdiri Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP) Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP) diklaim didukung 27 organisasi massa Islam antara lain Front Pembela Islam, Barisan Pemuda Persis, Jamaah Tabligh, dan Hizbut Tahrir. Jumlah anggotanya diklaim mencapai 50 ribu laskar yang tersebar di Bandung, Purwakarta, Garut, dan Sumedang.
Sekali lagi perlu ditegaskan, kekerasan umumnya tidak berdimensi tunggal. Ada banyak faktor pemicunya. Di luar soal doktrin keagamaan, lemahnya sikap tegas aparat terhadap aksi-aksi kekerasan ini merupakan faktor lainnya. Tidak jarang pula dijumpai adanya kecenderungan sikap keberpihakan aparat terhadap pandangan mayoritas dan tekanan kelompok-kelompok islamis sehingga mengorbankan mereka yang sesungguhnya adalah korban kekerasan.
Netralitas negara dalam penyelenggaraan kehidupan keberagamaaan juga patut dipertanyakan dalam konteks hubungan kepala negara terhadap ormas atau lembaga keagamaan, khususnya Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam sebuah forum pertemuan dengan pihak MUI yang baru menggelar Rapat Kerja Nasional MUI september tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan dukungannya atas keluarnya 10 Kriteria versi MUI. Sikap ini menunjukkan kecenderungan keberpihakan negara terhadap agama tertentu yakni Islam. Dari ini bisa juga dimulai untuk melihat posisi Majlis Ulama Indonesia dalam struktur kelembagaan dan tata pemerintahan Indonesia.
Seperti di ketahui, konteks khusus terbentuknya MUI di era Orde Baru telah menjadikan lembaga ini “istimewa” dan seperti setara dengan lembaga independen lain yang juga dibiayai negara melalui APBN seperti halnya Komnas HAM atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Padahal jika merujuk pada anggaran dasar MUI, lembaga ini jelas dinyatakan sama kedudukannya sebagai organisasi massa seperti NU dan Muhammadiyah. Jika alasan ini bisa diterima, maka pola hubungannya negara terhadap MUI tak berbeda dengan ormas lainnya. Hanya saja dalam realitas politik Indonesia, pemerintah, baik langsung maupun tak langsung, kerap kali merujuk fatwa-fatwa MUI untuk mengambil kebijakan.
Bahkan pasca dikeluarkannya 11 fatwa MUI pada Juli 2005 lalu, presiden memberikan dukungan penuh atas fatwa-fatwa tersebut. Wajar jika sejumlah tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Syafii Anwar, Ulil Abshar-Abdala, dan Weinata Sairin menolak fatwa-fatwa tersebut karena dinilai bertentangan dengan semangat kebhinekaan Indonesia, UUD 1945 dan Pancasila. Tak ketinggalan, Hazim Muzadi, Ketua Umum PBNU juga menilai mundur fatwa MUI tersebut terutama bagi kehidupan antar umat beragama.
3. Ranah Politik; Suara Partai Politik Era Reformasi
Bergulirnya era reformasi berpengaruh terhadap kehidupan berdemokrasi masyarakat Indonesia. Kesadaran untuk mengemukakan pendapat di muka umum, berserikat, berorganisasi, bahkan mendirikan partai politik menjadi warna tersendiri di era ini. Tercatat pada pemilu 1999 ada 48 partai politik (parpol) peserta pemilu, pemilu 2004 menciut menjadi 24 parpol saja. Namun demikian jumlah tersebut sudah merupakan jumlah yang signifikan dibanding dengan era Orde Baru.
Kebijakan publik seperti perundangan-undangan yang dihasilkan oleh parpol di parlemen pun mengalami kemajuan, meski belum sesuai dengan yang kita harapkan. Paling tidak terkait dengan masalah kebebasan beragama yang dalam UUD 1945 dipatrikan pada pasal 28 dan 29 sebagai telah diuraikan sebelumnya tidak mengalami perubahan. Ini menunjukkan bahwa pada umumnya partai politik kita cenderung untuk tetap mempertahankan koridor kebebasan beragama sebagaimana telah dirancang para pendiri bangsa (founding fathers) ini sejak tahun 1945 silam.
Sayangnya, persoalan kebebasan beragama nampaknya tak cukup hanya diatur melalui pasal-pasal dalam UUD tersebut. Entah karena cara menafsirkan dan implementasinya yang berbeda-beda pada tataran pelaksanaan atau kekurangjelasan para implementator di lapangan terhadap isi dari pasal-pasal dimaksud. Yang terang, sejumlah peristiwa yang mencederai konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan terus berlangsung hingga hari ini. Kekerasan bernuansa agama yang masih kerap terjadi di berbagai daerah dan menimpa berbagai kelompok masyarakat dan komunitas agama. Lantas bagaimana sikap partai-partai politik (dan fraksi-fraksi di DPR RI) era Reformasi menyikapi hal itu?
Terhadap peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sepanjang tahun 2007 Komisi III DPR RI menyatakan prihatin akan hal itu. Seperti dilaporkan SETARA Institute, sepanjang Januari hingga November 2007 sebanyak 135 peristiwa terjadi di tahun itu. Keprihatinan itu disampaikan anggota Komisi III DPR saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan SETARA Institute, Perwakilan Hakim Adhoc PHI dan Human Right Working Group, pada 22 Januari 2008 yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III Suripto (F-PKS).
Atas peristiwa tersebut Azlaini Agus dari Fraksi Partai Amanat Nasional menanyakan kenapa sekarang dengan alasan agama kita bisa memerangi orang lain, padahal negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya masalah ini persoalan yang serius untuk segera ditangani dan ada hal-hal yang perlu dievaluasi. Karena berdasarkan amanah konstitusi, sesungguhnya negara wajib melindungi setiap warga negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Soal SKB Tiga Menteri yang mengatur keberadaan Ahmadiyah dua partai politik nampak berseberangan pendapat. Sebelum SKB tersebut dikeluarkan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tetap meminta pemerintah membatalkan rencana Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai Ahmadiyah itu. Jika pemerintah mengeluarkan putusan tersebut, Ahmadiyah dan seluruh elemen masyarakat pendukung pluralisme wajib mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pernyataan dari PDIP itu ditegaskan oleh anggota Fraksi PDIP Said Abdullah pada 6 Juni 2008 lalu. Ia mengatakan negara atau siapa pun tidak berhak mengatur keyakinan beragama seseorang.
Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebelum SKB itu dikeluarkan, tetap mendesak pemerintah segera mengeluarkan SKB Ahmadiyah, untuk menghindari konflik sosial yang lebih luas dan supaya tidak terkesan pemerintah membiarkan aliran Ahmadiyah sehingga memicu munculnya berbagai aliran sesat lainnya di Indonesia. Ketua DPP PPP Hasrul Azwar mengatakan, pihaknya akan tetap mendesak pemerintah mengeluarkan SKB Ahmadiyah. Menurutnya, bagi umat Islam ajaran Ahmadiyah sangat meresahkan dan memicu perpecahan umat, khususnya dalam hal shalat dan ibadah lainnya.
Kasus-kasus kekerasan dengan mengatasnamakan agama juga mendapat perhatian dari kalangan parpol dan fraksi-fraksi di DPR. Yang teranyar adalah terhadap peristiwa kekerasan yang menimpa aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyainan (AKKBB) di Silang Monas, 1 Juni 2008 lalu. Atas peristiwa yang memakan 70-an korban dan 14 diantaranya harus dirawat di rumah sakit itu Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, menyatakan keprihatianan yang mendalam sehubungan dengan terjadinya tindak kekerasan dalam bentuk penyerangan oleh kelompok Front Pembela Islam. Fraksi ini melalui Pimpinan DPR mendesak pemerintah untuk: (1) Secara tegas tanpa ragu-ragu melalui Aparat Kepolisian RI segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kelompok yang melakukan tindak kekerasan sesuai dengan hukum berlaku; (2) secara tegas tanpa ragu-ragu memberikan sikap dan pengaturan terhadap permasalahan Ahmadiyah, sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945, dan kewenagan yang diberikan oleh peraturan perundangan yang berlaku dalam mewujudkan perlindungan dan jaminan terhadap seluruh umat beragama; (3) melaksanakan penegakan hukum secara tegas dan konsekwen tanpa diskriminasi, sehingga dapat memelihara rasa keadilan masyarakat sebagai prasyarat terwujud kerukunan hidup umat beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, serta menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Senada dengan fraksi PDIP, Ketua Fraksi PKB DPR A Effendy Choirie memprotes keras tindakan anarkis yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap AKKBB. Tindakan itu menurutnya jelas melanggar hak asasi manusia, konstitusi bangsa dan mencerminkan pemahaman keagamaan yang dangkal. Karena itu negara dan aparat kepolsian harus bertindak tegas dengan menangkap serta memproses mereka secara hukum. Bahkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jateng kubu Ali Maskur Moesa mendukung langkah tegas pihak polisi dengan menangkap aktivis Front Pembela Islam (FPI) pelaku kekerasan AKKBB di Silang Mona situ. Ketua DPW PKB Jawa Tengah kubu Ali Maskur Moesa, KH Yusuf Cudlori menyatakan siapapun yang melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama warga negara, tanpa ada alasan jelas harus di proses secara hokum.
Sementara itu Fraksi PKS menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) harus dilihat sebagai reaksi atas ketidaktegasan pemerintah terhadap Ahmadiyah. Pemerintah dihimbau untuk segera mengambil keputusan tegas mengenai keberadaan aliran-aliran sesat di Indonesia seperti Ahmadiyah. Karena jika hal itu tidak dilakukan konflik sosial tidak mustahil akan terjadi lagi. Hal ini diungkapkan Ma'mur Hasanuddin, Anggota komisi III DPR RI menanggapi insiden Monas 1 Juni itu.
Dari beberapa pernyataan dan sikap di atas masih menunjukkan bahwa suara prapol dan fraksi-fraksi di DPR baru sampai pada tataran keprihatinan dan himbauan kepada pemerintah untuk bersikap tegas. Padahal, kita berharap parpol melalui wakilnya di DPR dapat mendorong terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui langkah-langkah kongkrit seperti membuat peruandang-undangan yang memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan beragama di Indonesia. Bukankah di penghujung tahun 2005, Komisi VIII DPR RI melalui ketuanya Hazrul Azhar menyatakan siap mengusulkan UU Kebebasan Beragama untuk menggantikan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/MDN-MAG/1969 tentang "Pendirian Rumah Ibadah" yang saat itu disempurnakan pemerintah?. Tentunya kita menunggu usaha-usaha itu untuk direalisasikan di tengah adanya pula parpol dan fraksi di DPR yang kurang atau belum memahami pentingnya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi warga masyarakat.
Penutup dan Rekomendasi
Meski sejumlah kemajuan penting dalam isu kebebasan beragama berhasil dicapai sepanjang era reformasi, namun problem-problem masih menjadi pekerjaan rumah yang segera di selesaikan, mulai dari persoalan regulasi hingga aksi kekerasan yang makin meningkat.
Ini berarti, masalah kebebasan beragama tidak hanya problem negara tapi juga masalah bagi seluruh anak bangsa. Dan bisa dipastikan pula bahwa tidak ada solusi tunggal untuk keluar dari masalah yang begitu komplek ini.
Berikut ini adalah beberapa rekomendasi untuk pihak-pihak/ lembaga/ instansi yang tyersebut di bawah ini, yang mungkin berguna sekaligus bagian dari kontribusi anak bangsa terhadap masalah yang masih menggelayuti negeri ini.
1. DPR. Diharapkan menjadi lembaga pengontrol yang efektif bagi pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia; tetap bersepakat bahwa negara ini bukanlah negara berdasarkan agama, tapi berdasarkan Pancasila seperti ditunjukkan sepanjang sejarah parlemen Indonesia terkait isu kebebeasan beragama. DPR diharapkan untuk melanjutkan pembahasan mengenai RUU Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dan LSM/NGO yang concern terhadap masalah ini, sehingga RUU tersebut akhirnya dapat disahkan menjadi UU.
2. Kepada Presiden dan Wakil Presiden. Jika kita sepakat bahwa negara ini berdasarkan Pancasila, bukan negara agama, maka sepatutnya untuk bersikap netral terhadap setiap problem keagamaan dan kepercayaan, khususnya menyangkut keyakinan, seperti diamanahkan konstitusi. Presiden dan Wakil Presiden menyerahkan masalah agama dalam urusan internal mereka masing-masing. Memosisikan Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga seperti ormas-ormas keagamaan lain. Tetapi sebagai pimpinan penyelenggara negara, Presiden dan Wakil Presiden juga berkewajiban untuk memfasilitasi semua agama dan kepercayaan yang dipeluk warganya agar berkembang secara secara prima. Misalnya penyediaan guru agama, fasilitas pendirian rumah ibadah dan lain-lain.
3. Menteri Kabinet. Khususnya kepada Menteri Agama, sudah seyogyanya pula untuk tidak mencampuri urusan keyakinan warga negaranya. Betapapun Menteri Agama adalah aparat negara yang seyogyanya bersikap netral. Dalam pandangan konstitusi, Jabatan Menteri Agama tidak dipandang sebagai mewakili agama atau kepercayaan tertentu. Tidak pula mewakili mainstream pemikiran dalam agama atau kepercayaan tertentu.
4. Mahkamah Agung. Agar mengawal proses singkronisasi antara Undang-Undang yang sudah disahkan sebelumnya dengan aturan-aturan/kebijakan di bawahnya yang bertentangan. Misalnya keberadaan Perda-Perda berbasis agama (syari’at) yang diberlakukan di sejumlah daerah.
5. Kejaksaan Agung. Sudah saatnya lembaga ini meninjau ulang keberadaan Bakor Pakem yang kerap bertindak sebagai polisi agama yang dapat menentukan sesat atau tidaknya suatu agama atau aliran keagamaan. Sebab, kewenangan semacam itu bertentangan dengan semangat kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, DUHAM, dan UU No. 39/1999 tentang HAM.
6. Mahkamah Konstitusi. Agar mengawal proses singkronisasi antara konstitusi yang sudah disahkan sebelumnya dengan aturan-aturan/kebijakan di bawahnya yang bertentangan.
7. Komnas HAM. Menjadi lembaga yang terus-menerus mengawal negara dalam melaksanakan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakianan, serta memberikan pendidikan tentang HAM kepada masyarakat agar mereka memahami kewajiban dan hak-haknya sebagai warga negara.
8. TNI/POLRI. Khususnya kepada pihak kepolisian, bisa lebih responsif untuk mencegah terjadinya aksi-aksi kekerasan; tidak cenderung tunduk pada tuntutan kelompok-kelompok mainstream yang melakukan aksi kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas terutama yang terjadi di daerah-daerah; melihat kasus-kasus keagamaan bukan pada soal masalah keyaakinan tetapi tegas pada soal kekerasan, apapun motifnya.
9. Partai Politik. Mendesak kepada parpol-parpol nasionalis untuk terus menyuarakan isu-isu kebebasan beragama dan mempertahankan dasar Pancasila dari kelompok-kelompok yang berusaha menggantikan dasar negara ini; tidak melakukan tindakan politisasi agama yang bisa mengancam keutuhan republik ini
10. Lembaga Keagamaan dan pemuka agama. Terus menerus menyuarakan nila-nilai toleransi dan perdamaian. Khususnya kepada ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk mewaspadai menguatnya gerakan Islamisme yang diam-diam juga menggerogoti umatnya. Isu perebutan masjid dan aset pendidikan bisa menjadi indikasinya.
11. Media Massa. Sebagai pilar penting demokrasi, media harus berperan aktif untuk menyuarakan isu-isu kebebasan beragama, dan meminimalisir berita-berita kekerasan agama dan kelompok-kelompok garis keras. Menghindari idiom-idiom yang berdampak negatif bagi toleransi masyarakat seperti kata “aliran sesat”; tindak tunduk pada tuntutan sekelompok orang untuk menghakimi kelompok yang lain dengan cara-cara kekerasan.
12. Organisasi Masyarakat. Menghindari cara-cara kekerasan dalam menyampaikan aspirasi mereka, melainkan dialog yang santun dan terbuka. Melakukan tindakan hukum seperti yudicial review terhadap peraturan yang bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama sebagai tercantum dalam konstitusi.
13. Masyarakat Umum. Mengembangkan semangat keterbukaan dan toleransi serta menghindari kecurigaan keagamaan dengan usaha untuk terus berdialog; mengembangkan tradisi media literacy (melek media) untuk kritis terhadap pemberitaan media khususnya dalam isu-isu kebebasan beragama.
Disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008
Siti Musdah Mulia ,Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
Sekretariat Jendral MPR RI, Risalah Rapat-Rapat Panitia Ad Hoc BP MPR, Buku Kedua Jilid 3C Jakarta, h. 546-547
Download di:
http://www.google.co.id/#q=Musdah+Mulia_Potret+Kebebasan+Beragama+di+Era+Reformasi&hl=id&sa=2&fp=aef7b2de7d770d4c
Berkeyakinan Di Era Reformasi
Oleh Siti Musdah Mulia
Pengantar
Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Setua persoalan ini muncul, masalah kebebasan beragama memang tidak pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang.
Semula, rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lantas diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya), yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Itu tidak berarti tidak ada usaha serius dari sebagian kalangan Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan di sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika usaha-usaha tersebut. Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan pasal 29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan pasal 29 sebagaimana adanya tanpa perubahan apapun; kedua, mengubah ayat 1 pasal 29 dengan memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti rumusan hasil siding BPUPKI 1945; dan ketiga, berusaha mengambil jalan tengah dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat lagi dari pasal 29 tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya: “Penyelanggara Negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma, dan hukum agama” (diusulkan oleh Partai Golkar); “Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa” (diusulkan oleh PPP); dan “Tiap pemeluk agama diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing” (diusulkan oleh Partai Reformasi).
Menarik pula dicatat di sini bahwa perdebatan di MPR tentang pasal 29 itu mencakup juga soal pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi Partai Demokrasi Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata “kepercayaan itu” dari rumusan yang ada karena dianggap membingungkan. Hasil perdebatan panjang di MPR untuk amandemen UUD 1945 menyimpulkan, pasal 29 akhirnya diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti ditetapkan dalam siding PPKI.
Maka tidak berlebihan untuk mengatakan, di Tanah Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tidak hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga masalah pelaksanaannya di lapangan. Sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan agama sepanjang dari Orde lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun masyarakat sipil.
Setidaknya terdapat tiga ranah masalah yang muncul dalam problem rumit isu kebebasan beragama. Pertama, ranah negara dengan berbagai aparaturnya (pemerintah, polisi, pengadilan, dll); kedua, ranah hukum. Terkait isu kebebasan beragama isu-isu hukum yang muncul diantaranya tentang penyiaran agama, bantuan asing, pendirian rumah ibadah, pendidikan keagamaan, dan perda-perda bernuansa syariat Islam. Ketiga, ranah masyarakat sipil. Di level ini tantangan paling serius adalah menguatnya arus gerakan Islamisme, tidak hanya di pusat tapi juga didaerah. Selain itu, patut juga dipertimbangkan peran media dan ormas-ormas dalam membangun karakter masyarakat yang lebih toleran.
Kebebasan Beragama di Era Orde Baru
Selama 32 tahun masa kekuasaannya, rezim Orde Baru memang seperti nyaris sempurna melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama di tanah air. Intervensi ini setidaknya mengambil tiga bentuk. Pertama, campur tangan negara terhadap keyakinan dan kehidupan keberagamaan warga. Rezim banyak melakukan pelarangan terhadap buku, perayaan atau kelompok keagamaan tertentu yang dinilai bisa menganggu dan melakukan perlawanan atas kekuasaannya. Selama dua tahun masa awal kekuasaannya, Orde Baru telah melarang lebih dari seratus aliran kepercayaan atau kebatinan yang berhaluan kiri.
Namun begitu, tidak berarti masalah kebebasan beragama tidak memiliki payung konstitusi yang kukuh. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 jelas menegaskan masalah ini: (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2). “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Ini senafas dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, pasal 18, yakni : “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan manaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.” Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama daripada Deklarasi HAM. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut.
Untuk menunjang pelaksanaan pasal 29 (2) UUD 1945 itu pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Pasal 1 menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dikungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”.
Sepintas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekadar mengingatkan warga negara untuk bersikap hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti melontarkan sebutan “kafir”. Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap komunitas agama dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akan tetapi, ketetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di awal Januari 1965, dan kemudian dukukuhkan oleh pemerintah Soeharto pada 1969, membawa implikasi luas dalam kebebasan beragama di Indonesia pada masa-masa berikutnya. Penetapan itu justru digunakan sebagai legimitasi untuk “mengamankan” agama-agama resmi yang diakui Negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha) terhadap tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain. Bahkan dijadikan pula alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan Negara. Kondisi inilah yang membahayakan kehidupan beragama, yakni agama dijadikan alat politik bagi penguasa. Mulailah terjadi politisasi agama untuk kepentingan penguasa.
Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan ini sejalan dengan rumusan yang terdapat dalam UUD 1945.
Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikirangi dalam keadaan apapun (non-derogable).”
Bentuk intervensi kedua Orde Baru adalah melalui pendifinisian “agama resmi” dan “tidak resmi”. Dengan cara ini Orde Baru mengontrol kelompok keagamaan lain di luar “agama resmi” yang dianggap membahayakan kekuasaannya melalui tangan agama-agama resmi. Ini membuktikan bahwa di masa-masa itu negara ingin menjadikan agama-agama resmi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan.
Pendefinisian ini muncul dalam bentuk keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang antara lain menyebutkan: Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Keloempok-kelompok yang jelas menjadi korban adalah kelompok-kelompok kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, dan komunitas Kaharingan di Kalimantan.
Pada saat yang sama kehadiran UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam agama-agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya kelompok “pembaharu” dalam tubuh mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan Orde Baru.
Tidak heran jika kemudian muncul lembaga-lembaga seperti MUI, WALUBI, PGI, KWI dan HINDUDHARMA. Kelompok-kelompok inilah yang diberi wewenang mengontrol bentuk-bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan di masyarakat. Kemurnian dan keshahihan tafsir yang benar pada gilirannya akan dijadikan dalih untuk mengontrol dan mengendalikan sejauhmana praktik-praktik keagamaan yang dijalankan seorang individu atau kelompok masyarakat menyimpang atau tidak dari garis-garis pokok ajaran keagamaan atau dikatakan sebagai induk agama.
Dalam Islam misalnya, kasus penyimpangan terhadap tafsir mayoritas ditunjukkan dalam kasus Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-hak mereka dibatasi, mulai dari soal membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka.
Dengan pola intervensi ini tak heran berbagai varian dalam kelompok-kelompok keagamaan tidak muncul ke permukaan. Yang mampu bertahan adalah yang mampu menyiasati kekuasaan Orde Baru. Sebut saja kehidupan kelompok sempalan seperti Darul Hadis Islam Jamaah yang dianggap menyimpang dari arus maenstream. Dengan mendukung partai penguasa dan merubah nama menjadi Lemkari (Lembaga Karyawan Islam) atau LDII (Lembaga dakwah Islam Indonesia), kelompok ini mampu bertahan sampai hari ini. Ini berbeda dengan yang dialami Darul Arqam. Kelompok tersebut dinyatakan sebagai kelompok “terlarang”.
Sementara pola intervensi yang terakhir adalah proses kolonisasi agama-agama mayoritas terhadap kelompok kepercayaan atau agama-agama lokal sebagai dampak dari kebijakan dari pendefinisian “agama resmi”. Beberapa kelompok seperti komunitas Sunda Wiwitan, Parmalim, Tolotang, dan Kaharingan menjadi target dari kolonisasi agama resmi melalui islamisasi atau kristenisasi.
Sistuasi ini mendapat legitimasi hukum dengan dirilisnya TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh Negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap TYME merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR di atas bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang terkandung dalam UUD 1945. Prinsip UUD 1945 semestinya hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui perundang-undangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan, bukan membatasi definisi dan jumlah agama.
Jaminan Konstitusi
Secara terperinci jaminan kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan dapat kita simak pada sejumlah kebijakan sebagaimana tersebut di bawah ini:
1. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
2. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1): Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. Pasal 18 ayat (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
4. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
5. UU No. 1/PNPS/1965, jo. UU No. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1 berbunyi: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini”. Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi pembedaan status hokum tentang agama yang diakui melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan bahwa, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism di larang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya…”.
Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3) Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-Undang. Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut antara lain:
1. Restriction for the Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di public dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan, prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan individu-individu (hidup, integritas, atau kesehatan) atau kepemilikan.
2. Restriction for the Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memenifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan mendaftar badan hokum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.
3. Restriction for the Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan berkaitan dengan kesehatan public dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfuse darah atau melarang penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim adalah praktik mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adapt-istiadat tertentu di Afrika.
4. Restriction for the Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan agama atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan social. Olehkarena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan dapat dilakukan oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu.
5. Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan Kebebasan Orang Lain)
5.1 Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan.
5.2 Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum minoritas.
Merujuk dasar-dasar tersebut di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen, yaitu:
1. Kebebasan Internal. Setiap orang memunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.
2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan peribadahannya.
3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, asal-usul.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi omunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban public, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.
8. Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.
Agama dan Prinsip Toleransi serta Kebebasan Beragama
Tidak hanya dalam konstitusi, prinsip kebebasan dan toleransi beragama juga berakar dalam tradisi agama dan kepercayaan. Pada tradisi Islam, misalnya, prinsip-prinsip tersebut ditegaskan dalam al-Quran dan Hadis, termasuk dalam kitab fikih, tafsir, dan bukti sejarah keislaman. Dalam al-Quran prinsip-prinsip tersebut termuat dalam QS. Al-Baqarah, 2: 256 (tidak ada paksaan dalam beragama); Yunus 99 (larangan memaksa penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapaai “kalimatun sawa”); al-Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong orang-orang non-muslim yang tidak memusuhi dan mengusir mereka). Dalam tradisi fikih, prinsip ini termuat dalam konsep “maqashid al-syariah”: kebebasan untuk hidup (hifz al-nafs); kebebasan beropini dan berpendapat (hifz al-‘aql); menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nasl); kebebasan memiliki properti (hifz al-nasl); kebebasan beragama (hifz al-din).
Dalam tradisi Katholik dan Protestan, prinsip ini terdapat Kitab Galatia: Kasihilah sesama manusia seperti kamu mengasihi diri sendiri, Injil Matius 22: 37-40 (Hukum Kasih), atau dalam Advent – Matius 7 : 12-Advent: “Apa yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat padamu, perbuatlah demikian juga, karena inilah isi kitab hukum Taurat dan kitab para nabi; Hindu dalam Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan, Pelemahan), Tat Twam Asi (Aku adalah Kau, Kau adalah aku); Budha dalam kitab Falisuta dan Kalamasuta (jangan mencela agama lain karena dengan mencela agama lain, berarti telah mencela atau mengubur agamanya; Khonghucu dalam ajaran “di empat penjuru lautan, semua manusia bersaudara”.
Sementara itu dalam tradisi kepercayaan dan komunitas lokal, prinsip-prinsip ini memiliki akar kuat. Misalnya petuah Ura’ngi Rua, Kaluppai Rua (ingatlah kejahatan kepada orang lain dan ingat kebaikan orang-orang kepadamu serta lupakanlah kebaikanmu kepada orang lain serta lupakanlah kejahatan orang kepadamu dalaam falsafah Bugis-Makasar atau “to kamase-kamase” (saling mengasihi sesamaa manusia) dalam tradisi komunitas Kajang.
Sepuluh Tahun Reformasi: Tantangan dan Peluang Kebebasan Beragama
1. Perspektif Hukum
UUD 45 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan hukum di Indonesia setelah UUD 45 adalah: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Daerah. Dalam sistim hukum global Indonesia banyak juga meratifikasi berbagi konvenan Internasional seperti Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik lewat UU 12/2005. Dalam masa reformasi UUD 45 paling tidak telah mengalami empat kali amandemen , sungguh sebuah masa perubahan yang sangat cepat dalam hukum di Indonesia.
Banyak sekali produk hukum yang lahir dalam masa reformasi dihasilkan sebagai produk kontestasi etno politik dari berbagai kelompok masyarakat baik ditingkat pusat maupun daerah. Reformasi berjalan dengan berbagai upaya legislatif mengisi ruang hukum Negara Indonesia dengan berbagai produk hukum. Bercampur dengan situasi politik dan ekonomi Negara dan berbagai agenda kepentingan lainnya reformasi telah menghasilkan sejumlah produk hokum, mulai dari UU sampai dengan Peraturan Daerah. Sangat disayangkan, sejumlah produk hokum atau peraturan yang ada menimbulkan ketegangan di masyarakat dan tumpang tindih bahkan ada juga yang melihat sebagai produk-produk multitafsir. Sebut saja Undang-undang Perlindungan Anak tahun 2002, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Undang-undang Administrasi Kependudukan 2006, Keputusan Presiden No. 11/2003 tentang penerapan Syariat Islam di Aceh, Peraturan Daerah (Perda) tentang penerapan Syariat Islam di beberapa daerah, PBM No. 8/9 Tahun 2006 dll.
Berikut beberapa situasi ragam aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak berdasarkan tafsir kelompok tertentu terjadi di bumi pertiwi ini, yang terjadi baik dilakukan kelompok masyarakat maupun pemerintah ;
1. Perda-perda bernuasa Syariat Agama. Beberapa daerah di Indonesia, para pimpinan setempat menerapkan praktek agama yang lebih ketat . Misalnya, di kabupaten Cianjur, beberapa kabupaten maupun kotamadya Sumatera Barat, Gowa, Maros dll. ada peraturan daerah mengharuskan semua pegawai pemerintahan maupun siswa sekolah untuk mengenakan pakaian Muslim. Beberapa penduduk mengatakan bahwa pihak berwenang mencampuri urusan pribadi mereka. Bahkan praktek-praktek agama Islam yang lebih ketat memberikan waktu untuk para pegawai untuk menjalankan shalat berjamaah. Contoh lain adalah munculnya Rancangan Perda (raperda) Kota Injil di Monokwari Papua.
2. Kaum perempuan di Tangerang mengalami pembatasan dalam ruang publik setelah keluarnya Perda No 8 tahun 2005. Terjadi pembatasan aktivitas perempuan di waktu malam hari. Dan peristiwa penangkapan seorang perempuan buruh pabrik menjadi bukti bahwa peraturan yang ada sangat diskriminatif dan membatasi hak ekonomi kaum perempuan untuk bekerja mencari nafkah.
3. Penerapan UU Perlindungan Anak 2002 telah memenjarakan 3 orang perempuan di Indramayu, Jawa Barat yang ditangkap pada 13 Mei 2005 dengan alasan berusaha menarik anak-anak Muslim masuk Kristen. Para perempuan tersebut ditangkap setelah anggota komunitas mengeluhkan bahwa pada saat dilakukannya program sekolah Minggu di rumah mereka, mereka memberikan kotak pensil dan kaos kepada para pengunjung, termasuk anak-anak Muslim.
4. Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin dari Departemen Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun (baik dalam bentuk bantuan itu sendiri, personil, maupun keuangan) kepada kelompok-kelompok keagamaan di dalam negeri. Walaupun pada umumnya pemerintah tidak melaksanakan persyaratan ini, beberapa kelompok Kristen menyatakan bahwa pemerintah menerapkannya lebih sering kepada kelompok minoritas daripada kepada kelompok mayoritas Muslim.
5. Peraturan bersama 2 Menteri. Sebelum dan sesudah adanya PBM no 9 dan 8 2006 terjadi aksi penutupan rumah ibadah Kristiani terjadi secara serentak dan terencana. Dalam beberapa kejadian terjadi aksi kekerasan yang terjadi di depan aparat keamanan pemerintah dan ada kesan pembiaran terhadap aksi kekerasan, terjadi dalam aksi penutup tiga gereja di Perumahan Jatimulya, Bekasi (sampai tulisan ini dibuat aksi ketidakadilan masih terjadi, pembongkaran rumah ibadah oleh pemerintah kabupaten Bekasi).
6. Pada tanggal 8 Maret 2007, 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug, menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena merasa terganggu dengan kegiatan mahasiswa juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekoah tersebut memiliki ijin.
7. Aksi anarkis dilakukan FPI pada saat hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008 di Monas. Dalam suasana semangat kabangsaan yang ada, peristiwa kekerasan terjadi hanya karena perasaan tidak suka. Sungguh sebuah keadaan yang memalukan dalam negara Pancasila.
Demikian hanya beberapa contoh kecil ragam persoalan yang terjadi seputar kebebasan beragama dan berkeyakinan dan disayangkan apa yang terjadi dan bila mencermati Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.
Politik Hukum Negara Indonesia
Dalam refleksi sepuluh tahun reformasi terhadap situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan seharusnya politik hukum Indonesia menjadi jawaban atas negara kesatuan Indonesia dengan Pancasila sebagai falsafah hidup bersama. Bagaimana arah politk hukum kembali kepada situasi pembangunan negara oleh bapak bangsa, bahwa kesatuan bangsa menjadi dasar pertama dalam mengisi kemerdekaan.
Memang dalam beberapa kejadian aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok masyarakat pemerintah melalui aparat kepolisian telah melakukan tindakan yang tepat dengan menangkap dan memproses secara hokum para pelaku. Namun tindakan tersebut tidak secara konsisten dilakukan di berbagai tempat. Artinya kebijakan keamanan sangat bergantung dengan situasi politik si suatu daerah. Tentu hal ini akan sangat memprihatinkan bila terus terjadi.
Bagimana umat beragama di Indonesia hidup berdampingan? Pertama, harapan tentunya pemerintah sebagai pelaksana jalannya roda pemerintahan dapat secara konsisten menjabarkan UUD 1945 melalui berbagi peraturan yang berada di bawah UUD 45 sehingga berbagai produk hukum yang dihasilakan dan bertentangan dengan UUD 45 dapat dibatalkan keberadaannya. Kedua, negara dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab terhadap perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bentuk pengakuan adanya persamaan hak bagi seluruh warga Indonesia. Ketiga, mendorong para pemuka agama mulai dari tingkat pusat sampai daerah membuka ruang dialog dalam merespon berbagai fenomena kehidupan reformasi yang terus berjalan.
Menurut W Cole Durham, Jr (1996), penghapusan diskriminasi menuju kemerdekaan beragama dan berkeyakinan membutuhkan beberapa prasyarat, antara lain 1) Pengakuan dan penghormatan atas pluralisme; 2) Stabilitas ekonomi; 3) Pemerintahan dengan legitimasi yang kuat; 4) Kelompok-kelompok masyarakat mempunyai cara pandang yang positif atas perbedaan satu sama lain.
Mengutip MM Bilah, “Mengapa iklim kebebasan beragama sulit untuk diwujudkan di Indonesia?” Bilah memberikan gambaran paling tidak ada dua faktor yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Krisis dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif merealisasikan undang-undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM sekalipun, pada dasarnya undang-undang Negara Indonesia terkait masalah kebebasan beragama sudah cukup memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran yang menyimpang. Krisis peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah yang mesti kita sadari.
Reformasi di Indonesia masih terus berjalan termasuk reformasi di bidang hukum. Dalam proses yang sedang berjalan dapat juga masyarakat hukum Indonesia melakukan judicial review terhadap semua UU dan peraturan perundang-undangan yang potensial bertentangan dengan UUD 45 demi tercapainya sebuah sistim hukum yang sesuai dengan semangat UUD 45, artinya politik hukum Indonesia yang baik dan tepat akan mendukung terciptanya negara Indonesia yang sejahtera, karena hukum merupakan salah satu pilar pembangunan dalam perjalanan reformasi saat ini.
2. Perspektif Sosio-Kultural
Jatuhnya Orde Baru dan dimulainya era reformasi adalah tonggak penting bagi kehidupan kebebasan beragama hingga sekarang ini, dari yang positif hingga yang mengancam nilai reformasi itu sendiri.
Bagi sebagian masyarakat muslim di tanah air, era transisi itu seperti menjadi momentum bagi ‘kebangkitan’ Islam di tanah air. Di masa-masa ini identitas keislaman yang tak tunggal mencuat ke permukaan–sesuatu yang agaaknya mustahil berkembang di era Orde Baru. Organisasi-organisasi massa Islam, simbol dan label-label Islam, termasuk media-media Islam baru, bermunculan.
Setidaknya terdapat tiga corak organisasi keagamaan berkembang di era reformasi. Pertama, kelompok eksklusif, moderat dan progresif. Dalam deretan kelompok eklusif, bahkan cenderung berhaluan “keras” beberapa nama yang bisa disebut adalah Laskar Jihad (yang sekarang bubar), Front Pembela Islam (FPI), Front Hizbullah, Majlis Mujahidin Indonesia, Hizbuttahrir Indonesia Laskar Jundullah, Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan Forum Pemuda Islam Surakarta. Dalam aksinya sebagian mereka tak segan-segan melakukan aksi-aksi kekerasan. Di level ideologi, ciri khas sebagian kelompok ini adalah perjuangan mereka menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Usaha mereka terbilang gigih dan mensasar hingga kalangan akar rumput. Cukup mendapat respon di lingkungan kampus-kampus umum. Mereka memanfaatkan momentum kebijakan otonomi daerah dalam mendesakan agenda islamisasi mereka. Tulisan-tulisan menyangkut keempat ormas ini cukup lengkap, mengulas mulai dari sejarah kelahiran, aktor, hingga ideologi yang diusung.
Sementara itu peran moderasi tetap dimainkan oleh ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah. Kelompok keagamaan yang lebih bercorak sufistik seperti kelompok Majelis Az-zikra pimpinan Muhammad Arifin Ilham dan kelompok-kelompok zikir yang sekarang berkembang juga dapat dimasukan dalam kelompok berhaluan moderat.
Di luar keduanya, tumbuh kelompok-kelompok yang tidak hanya terbuka tapi juga kritis terhadap isu keagamaan dan sosial. Beberapa nama bisa disebut disini: Wahid Institute Jakarta, Lakpesdam NU, Institute for Interfaith Dialog (Interfidei) di Yogyakarta, ICIP, Indonesian Conference on Religion and Peace (tempat dimana penulis berkiprah), dan Maarif Institute. Tak hanya di Pusat, kelompok ini juga menjamur di tingkat lokal.
Varian arus pemikiran dan kecenderungan ideologi keislaman juga tampak dalam peta perkembangan media di era reformasi, khususnya media cetak. Secara sederhana media-media Islam yang tumbuh di pasar nasional saat ini bisa dipilah dalam dua kategori. Pertama, “media islamis” yang mengusung isu-isu penegakan syariat Islam, jihad, Zionisme, Anti-Amerika. Kedua, “media populer” yang menyajikan isu-isu keislaman dengan pendekatan yang lebih populer dan cocok dengan nilai-nilai kemoderenan. Dalam kategori ini, media-media yang ada bisa lagi dibedakan dalam dua “mistik Islam” dan life style. Ketiga, “media sufisme” yang menyajikan berita dan artikel-artikel tentang pemikiran dan praktis sufisme. Keempat “media pluralis” yang berusaha mengusung ide-ide keislaman yang lebih kritis, terbuka, dan toleran terhadap beragam penafsiran, perbedaan agama dan keyakinan.
Sabili, Hidayatullah, Media Dakwah adalah beberapa nama majalah yang bisa dikategorikan dalam tipe media pertama. Sabili misalnya, media yang telah terbit sejak akhir tahun 80-an ini mencapai oplah fantastis pada tahun 2000 dimana konflik-konflik keagamaan seperti kasus Ambon terjadi. Oplahnya mencapai 100 ribu kopi. Dalam berita-berita yang dimuat Sabili, Hidayatullah, dan Media Dakwah tampaknya muncul nuansa kebencian, terutama non-muslim, melalui idiom-idiom khas seperti anti-Zionis, anti-Barat, kafir, atau penyimpangan akidah.
Sedang media yang bisa bisa dikategorikan sebagai kategori media mistik Islam adalah Majalah Hidayah; Noor untuk media life style; Cahaya Sufi untuk media sufistik; dan majalah Syirah untuk media pluralis.
Berbeda dengan media cetak, potret keragaman pandangan keagamaan yang terefleksi dalam acara-acara di stasiun-stasiun teve nasional tampaknya masih kurang menggemberikan. Terkait acara keagamaan, materi yang dimunculkan masih seragam, hanya memunculkan khotib-khotib yang hanya berbicara tentang iman, takwa, amal soleh, namun sering abai pada situasi konkrit umat seperti kemiskinan, korupsi, kekereasan dan lain-lain.
Stasiun-stasiun teve sepertinya tak punya visi, bahkan terkesan membatasi untuk menyajikan keragaman pandangan keagaman yang berbeda. Benar, bahwa kebebasan media jauh lebih baik dewasa ini ketimbang di era Orde Baru. Tetapi menyangkut akses publik terhadap pandangan yang berbeda-beda dan kemampuan media untuk mewakili kemampuan publik untuk mewakili keragaman pandangan publik mengenai berbagai isu masih berada dibawah standar dan kecenderungannya merosot. Dalam beberapa kasus, media-media juga takut pada protes yang dilancarkan kelompok keagamaan tertentu sehingga mereka terpaksa menuruti apa yang menjadi tuntuntan. Ini pernah dialami SCTV dalam kasus iklan Islam warna-warni, Kompas, dan beberapa media lokal.
Berbagai Tantangan
Keragaman yang tampak dalam potret berbagai keagamaan dan perkembangan media dewasa ini seperti dijelaskan di atas jelas merupakan buah nyata sekaligus sesuatu yang absah di alam demokrasi. Tidak hanya mereka yang meyakini bahwa pluralitas harus dijaga dan dikelola dengan baik, demokrasi memberi ruang bagi kelompok keagamaan atau media yang seakan menolak pluralitas itu bahkan bisa tumbuh subur. Sayangnya keragaman dan perbedaan pandangan mereka ini justru sering berujung pada tindak kekerasan, situasi yang justru membahayakan demokrasi itu sendiri.
Sepanjang era reformasi hingga sekarang, pola kekerasan agama muncul dalam dua bentuk. Pertama, fenomena penyesatan dan kekerasan terhadap aliran keagamaan dan kepercayaan tertentu dengan alasan agama. Wahid Institute mencatat sekitar 27 kasus kekerasan berlangsung sejak 2004 hingga Februari 2006. Sepanjang Januari hingga Nopember 2007, Setara Institute for Democracy and Peace dalam laporan tahunannya mencatat telah terjadi 135 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori. Jumlah terbanyak kelompok (korban) yang mengalami pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah al qiyadah al Islamiyah, sebuah aliran keagamaan dalam Islam yang dipimpin Ahmad Moshaddeq. Aliran ini ditimpa 68 kasus pelarangan, kekerasan, penangkapan dan penahanan. Kelompok berikutnya adalah jemaah Kristen/ Katholik yang mengalami 28 pelanggaran, disusul Ahmadiyah yang ditimpa 21 tindakan pelanggaran.
Sebelumnya bentuk kekerasan mengambil modus aksi terorisme dan konflik antar agama. Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003 untuk Indonesia yang diterbitkan Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan Amerika Serikat, misalnya, cukup gamblang menggambarkan bagaimana kekerasan model ini berlangsung.
Kedua, kristenisasi dan penutupan rumah ibadah. Dalam laporan pengurus Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Wali Gereja Indonesia kepada Komnas HAM pertengahan Desember 2007, sejak 2004 – 2007 telah terjadi 108 kasus penutupan, penyerangan, dan pengrusakan gereja. Paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat, Banten, Poso, Jawa Tengah dan Bengkulu.
Aksi kekerasan keagamaan itu sepertinya berbanding lurus dengan meningkatnya gerakan islamisme yang juga kian menjamur hingga ke pelosok daerah. Isu yang diangkat beragam, mulai dari kristenisasi dan pemurtadan, anti-maksiat, aliran sesat, atau penegakan syariat Islam.
Di daerah, kelompok-kelompok islamis ini menjadi aktor penting bagi lahirnya sejumlah perda bernuansa Syariat. Sebut saja Komite Penegakan Syariat Islam (KPPSI) pimpinan Aziz Kahar, putera Kahar Muzakar pemimpin DI/TII, di Sulawesi Selatan . Organisasi ini dengan tegas menyatakan misinya sebagai organisasi yang memperjuangkan Syariat Islam di Sulsel secara legal formal melalui perjuangan politik konstitusional, demokratis, dan tetap dalam bingkai NKRI. Perda-perda yang lahir di Sulsel sebagian besar ditopang KPPSI. Dengan kendaraan ini pula Aziz Kahar juga terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Sulsel pada 2004 setelah Aksa Mahmud. Aziz meraih suara 636.856 suara. Tahun 2007, Azis mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Kalsel berpasangan dengan Mubyl Handaling.
Menariknya, KPPSI berhasil memperoleh dukungan dari sejumlah tokoh organisasi besar yang selama ini dikenal sebagai organisasi moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Strategi mencari legitimasi dari ormas besar ini juga dipakai kelompok-kelompok Islamis di derah lain. Dalam kasus Monas, bisa dilihat pula bagaimana Riziek Sihab berupaya mencari dukungan opini dari pernyataan ketua PBNU Hasyim Muzadi terkait posisi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragaman dan Berkeyakinan (AKKBB).
Di Sulawesi Selatan, KPPSI berhasil mengajak tokoh NU dan Muhammadiyah untuk ikut menandatangi surat dukungan kepada usaha penegakan syariat Islam yang dilakukan KPPSI. Mereka antara lain KH. Sanusi Baco, Lc., pimpinan pimpinan NU Sulsel, dan KH. Jamaludin Amien dan pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsesl. Fenomena serupa juga tampak dalam pernyataan-pernyataan sikap Forum Umat Islam (FUI) di Jawa Barat terkait isu-isu keagamaan tertentu.
Agar lebih “efektif” di lapangan, kelompok Islamis ini biasanya membentuk kelompok-kelompok sayap militer. KPPSI misalnya membentuk Lasykar Jundullah dan Aliansi Muslim Bulukumba yang menjadi organ taktisnya. Di Jawa Barat berdiri Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP) Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP) diklaim didukung 27 organisasi massa Islam antara lain Front Pembela Islam, Barisan Pemuda Persis, Jamaah Tabligh, dan Hizbut Tahrir. Jumlah anggotanya diklaim mencapai 50 ribu laskar yang tersebar di Bandung, Purwakarta, Garut, dan Sumedang.
Sekali lagi perlu ditegaskan, kekerasan umumnya tidak berdimensi tunggal. Ada banyak faktor pemicunya. Di luar soal doktrin keagamaan, lemahnya sikap tegas aparat terhadap aksi-aksi kekerasan ini merupakan faktor lainnya. Tidak jarang pula dijumpai adanya kecenderungan sikap keberpihakan aparat terhadap pandangan mayoritas dan tekanan kelompok-kelompok islamis sehingga mengorbankan mereka yang sesungguhnya adalah korban kekerasan.
Netralitas negara dalam penyelenggaraan kehidupan keberagamaaan juga patut dipertanyakan dalam konteks hubungan kepala negara terhadap ormas atau lembaga keagamaan, khususnya Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam sebuah forum pertemuan dengan pihak MUI yang baru menggelar Rapat Kerja Nasional MUI september tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan dukungannya atas keluarnya 10 Kriteria versi MUI. Sikap ini menunjukkan kecenderungan keberpihakan negara terhadap agama tertentu yakni Islam. Dari ini bisa juga dimulai untuk melihat posisi Majlis Ulama Indonesia dalam struktur kelembagaan dan tata pemerintahan Indonesia.
Seperti di ketahui, konteks khusus terbentuknya MUI di era Orde Baru telah menjadikan lembaga ini “istimewa” dan seperti setara dengan lembaga independen lain yang juga dibiayai negara melalui APBN seperti halnya Komnas HAM atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Padahal jika merujuk pada anggaran dasar MUI, lembaga ini jelas dinyatakan sama kedudukannya sebagai organisasi massa seperti NU dan Muhammadiyah. Jika alasan ini bisa diterima, maka pola hubungannya negara terhadap MUI tak berbeda dengan ormas lainnya. Hanya saja dalam realitas politik Indonesia, pemerintah, baik langsung maupun tak langsung, kerap kali merujuk fatwa-fatwa MUI untuk mengambil kebijakan.
Bahkan pasca dikeluarkannya 11 fatwa MUI pada Juli 2005 lalu, presiden memberikan dukungan penuh atas fatwa-fatwa tersebut. Wajar jika sejumlah tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Syafii Anwar, Ulil Abshar-Abdala, dan Weinata Sairin menolak fatwa-fatwa tersebut karena dinilai bertentangan dengan semangat kebhinekaan Indonesia, UUD 1945 dan Pancasila. Tak ketinggalan, Hazim Muzadi, Ketua Umum PBNU juga menilai mundur fatwa MUI tersebut terutama bagi kehidupan antar umat beragama.
3. Ranah Politik; Suara Partai Politik Era Reformasi
Bergulirnya era reformasi berpengaruh terhadap kehidupan berdemokrasi masyarakat Indonesia. Kesadaran untuk mengemukakan pendapat di muka umum, berserikat, berorganisasi, bahkan mendirikan partai politik menjadi warna tersendiri di era ini. Tercatat pada pemilu 1999 ada 48 partai politik (parpol) peserta pemilu, pemilu 2004 menciut menjadi 24 parpol saja. Namun demikian jumlah tersebut sudah merupakan jumlah yang signifikan dibanding dengan era Orde Baru.
Kebijakan publik seperti perundangan-undangan yang dihasilkan oleh parpol di parlemen pun mengalami kemajuan, meski belum sesuai dengan yang kita harapkan. Paling tidak terkait dengan masalah kebebasan beragama yang dalam UUD 1945 dipatrikan pada pasal 28 dan 29 sebagai telah diuraikan sebelumnya tidak mengalami perubahan. Ini menunjukkan bahwa pada umumnya partai politik kita cenderung untuk tetap mempertahankan koridor kebebasan beragama sebagaimana telah dirancang para pendiri bangsa (founding fathers) ini sejak tahun 1945 silam.
Sayangnya, persoalan kebebasan beragama nampaknya tak cukup hanya diatur melalui pasal-pasal dalam UUD tersebut. Entah karena cara menafsirkan dan implementasinya yang berbeda-beda pada tataran pelaksanaan atau kekurangjelasan para implementator di lapangan terhadap isi dari pasal-pasal dimaksud. Yang terang, sejumlah peristiwa yang mencederai konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan terus berlangsung hingga hari ini. Kekerasan bernuansa agama yang masih kerap terjadi di berbagai daerah dan menimpa berbagai kelompok masyarakat dan komunitas agama. Lantas bagaimana sikap partai-partai politik (dan fraksi-fraksi di DPR RI) era Reformasi menyikapi hal itu?
Terhadap peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sepanjang tahun 2007 Komisi III DPR RI menyatakan prihatin akan hal itu. Seperti dilaporkan SETARA Institute, sepanjang Januari hingga November 2007 sebanyak 135 peristiwa terjadi di tahun itu. Keprihatinan itu disampaikan anggota Komisi III DPR saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan SETARA Institute, Perwakilan Hakim Adhoc PHI dan Human Right Working Group, pada 22 Januari 2008 yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III Suripto (F-PKS).
Atas peristiwa tersebut Azlaini Agus dari Fraksi Partai Amanat Nasional menanyakan kenapa sekarang dengan alasan agama kita bisa memerangi orang lain, padahal negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya masalah ini persoalan yang serius untuk segera ditangani dan ada hal-hal yang perlu dievaluasi. Karena berdasarkan amanah konstitusi, sesungguhnya negara wajib melindungi setiap warga negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Soal SKB Tiga Menteri yang mengatur keberadaan Ahmadiyah dua partai politik nampak berseberangan pendapat. Sebelum SKB tersebut dikeluarkan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tetap meminta pemerintah membatalkan rencana Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai Ahmadiyah itu. Jika pemerintah mengeluarkan putusan tersebut, Ahmadiyah dan seluruh elemen masyarakat pendukung pluralisme wajib mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pernyataan dari PDIP itu ditegaskan oleh anggota Fraksi PDIP Said Abdullah pada 6 Juni 2008 lalu. Ia mengatakan negara atau siapa pun tidak berhak mengatur keyakinan beragama seseorang.
Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebelum SKB itu dikeluarkan, tetap mendesak pemerintah segera mengeluarkan SKB Ahmadiyah, untuk menghindari konflik sosial yang lebih luas dan supaya tidak terkesan pemerintah membiarkan aliran Ahmadiyah sehingga memicu munculnya berbagai aliran sesat lainnya di Indonesia. Ketua DPP PPP Hasrul Azwar mengatakan, pihaknya akan tetap mendesak pemerintah mengeluarkan SKB Ahmadiyah. Menurutnya, bagi umat Islam ajaran Ahmadiyah sangat meresahkan dan memicu perpecahan umat, khususnya dalam hal shalat dan ibadah lainnya.
Kasus-kasus kekerasan dengan mengatasnamakan agama juga mendapat perhatian dari kalangan parpol dan fraksi-fraksi di DPR. Yang teranyar adalah terhadap peristiwa kekerasan yang menimpa aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyainan (AKKBB) di Silang Monas, 1 Juni 2008 lalu. Atas peristiwa yang memakan 70-an korban dan 14 diantaranya harus dirawat di rumah sakit itu Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, menyatakan keprihatianan yang mendalam sehubungan dengan terjadinya tindak kekerasan dalam bentuk penyerangan oleh kelompok Front Pembela Islam. Fraksi ini melalui Pimpinan DPR mendesak pemerintah untuk: (1) Secara tegas tanpa ragu-ragu melalui Aparat Kepolisian RI segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kelompok yang melakukan tindak kekerasan sesuai dengan hukum berlaku; (2) secara tegas tanpa ragu-ragu memberikan sikap dan pengaturan terhadap permasalahan Ahmadiyah, sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945, dan kewenagan yang diberikan oleh peraturan perundangan yang berlaku dalam mewujudkan perlindungan dan jaminan terhadap seluruh umat beragama; (3) melaksanakan penegakan hukum secara tegas dan konsekwen tanpa diskriminasi, sehingga dapat memelihara rasa keadilan masyarakat sebagai prasyarat terwujud kerukunan hidup umat beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, serta menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Senada dengan fraksi PDIP, Ketua Fraksi PKB DPR A Effendy Choirie memprotes keras tindakan anarkis yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap AKKBB. Tindakan itu menurutnya jelas melanggar hak asasi manusia, konstitusi bangsa dan mencerminkan pemahaman keagamaan yang dangkal. Karena itu negara dan aparat kepolsian harus bertindak tegas dengan menangkap serta memproses mereka secara hukum. Bahkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jateng kubu Ali Maskur Moesa mendukung langkah tegas pihak polisi dengan menangkap aktivis Front Pembela Islam (FPI) pelaku kekerasan AKKBB di Silang Mona situ. Ketua DPW PKB Jawa Tengah kubu Ali Maskur Moesa, KH Yusuf Cudlori menyatakan siapapun yang melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama warga negara, tanpa ada alasan jelas harus di proses secara hokum.
Sementara itu Fraksi PKS menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) harus dilihat sebagai reaksi atas ketidaktegasan pemerintah terhadap Ahmadiyah. Pemerintah dihimbau untuk segera mengambil keputusan tegas mengenai keberadaan aliran-aliran sesat di Indonesia seperti Ahmadiyah. Karena jika hal itu tidak dilakukan konflik sosial tidak mustahil akan terjadi lagi. Hal ini diungkapkan Ma'mur Hasanuddin, Anggota komisi III DPR RI menanggapi insiden Monas 1 Juni itu.
Dari beberapa pernyataan dan sikap di atas masih menunjukkan bahwa suara prapol dan fraksi-fraksi di DPR baru sampai pada tataran keprihatinan dan himbauan kepada pemerintah untuk bersikap tegas. Padahal, kita berharap parpol melalui wakilnya di DPR dapat mendorong terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui langkah-langkah kongkrit seperti membuat peruandang-undangan yang memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan beragama di Indonesia. Bukankah di penghujung tahun 2005, Komisi VIII DPR RI melalui ketuanya Hazrul Azhar menyatakan siap mengusulkan UU Kebebasan Beragama untuk menggantikan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/MDN-MAG/1969 tentang "Pendirian Rumah Ibadah" yang saat itu disempurnakan pemerintah?. Tentunya kita menunggu usaha-usaha itu untuk direalisasikan di tengah adanya pula parpol dan fraksi di DPR yang kurang atau belum memahami pentingnya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi warga masyarakat.
Penutup dan Rekomendasi
Meski sejumlah kemajuan penting dalam isu kebebasan beragama berhasil dicapai sepanjang era reformasi, namun problem-problem masih menjadi pekerjaan rumah yang segera di selesaikan, mulai dari persoalan regulasi hingga aksi kekerasan yang makin meningkat.
Ini berarti, masalah kebebasan beragama tidak hanya problem negara tapi juga masalah bagi seluruh anak bangsa. Dan bisa dipastikan pula bahwa tidak ada solusi tunggal untuk keluar dari masalah yang begitu komplek ini.
Berikut ini adalah beberapa rekomendasi untuk pihak-pihak/ lembaga/ instansi yang tyersebut di bawah ini, yang mungkin berguna sekaligus bagian dari kontribusi anak bangsa terhadap masalah yang masih menggelayuti negeri ini.
1. DPR. Diharapkan menjadi lembaga pengontrol yang efektif bagi pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia; tetap bersepakat bahwa negara ini bukanlah negara berdasarkan agama, tapi berdasarkan Pancasila seperti ditunjukkan sepanjang sejarah parlemen Indonesia terkait isu kebebeasan beragama. DPR diharapkan untuk melanjutkan pembahasan mengenai RUU Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dan LSM/NGO yang concern terhadap masalah ini, sehingga RUU tersebut akhirnya dapat disahkan menjadi UU.
2. Kepada Presiden dan Wakil Presiden. Jika kita sepakat bahwa negara ini berdasarkan Pancasila, bukan negara agama, maka sepatutnya untuk bersikap netral terhadap setiap problem keagamaan dan kepercayaan, khususnya menyangkut keyakinan, seperti diamanahkan konstitusi. Presiden dan Wakil Presiden menyerahkan masalah agama dalam urusan internal mereka masing-masing. Memosisikan Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga seperti ormas-ormas keagamaan lain. Tetapi sebagai pimpinan penyelenggara negara, Presiden dan Wakil Presiden juga berkewajiban untuk memfasilitasi semua agama dan kepercayaan yang dipeluk warganya agar berkembang secara secara prima. Misalnya penyediaan guru agama, fasilitas pendirian rumah ibadah dan lain-lain.
3. Menteri Kabinet. Khususnya kepada Menteri Agama, sudah seyogyanya pula untuk tidak mencampuri urusan keyakinan warga negaranya. Betapapun Menteri Agama adalah aparat negara yang seyogyanya bersikap netral. Dalam pandangan konstitusi, Jabatan Menteri Agama tidak dipandang sebagai mewakili agama atau kepercayaan tertentu. Tidak pula mewakili mainstream pemikiran dalam agama atau kepercayaan tertentu.
4. Mahkamah Agung. Agar mengawal proses singkronisasi antara Undang-Undang yang sudah disahkan sebelumnya dengan aturan-aturan/kebijakan di bawahnya yang bertentangan. Misalnya keberadaan Perda-Perda berbasis agama (syari’at) yang diberlakukan di sejumlah daerah.
5. Kejaksaan Agung. Sudah saatnya lembaga ini meninjau ulang keberadaan Bakor Pakem yang kerap bertindak sebagai polisi agama yang dapat menentukan sesat atau tidaknya suatu agama atau aliran keagamaan. Sebab, kewenangan semacam itu bertentangan dengan semangat kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, DUHAM, dan UU No. 39/1999 tentang HAM.
6. Mahkamah Konstitusi. Agar mengawal proses singkronisasi antara konstitusi yang sudah disahkan sebelumnya dengan aturan-aturan/kebijakan di bawahnya yang bertentangan.
7. Komnas HAM. Menjadi lembaga yang terus-menerus mengawal negara dalam melaksanakan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakianan, serta memberikan pendidikan tentang HAM kepada masyarakat agar mereka memahami kewajiban dan hak-haknya sebagai warga negara.
8. TNI/POLRI. Khususnya kepada pihak kepolisian, bisa lebih responsif untuk mencegah terjadinya aksi-aksi kekerasan; tidak cenderung tunduk pada tuntutan kelompok-kelompok mainstream yang melakukan aksi kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas terutama yang terjadi di daerah-daerah; melihat kasus-kasus keagamaan bukan pada soal masalah keyaakinan tetapi tegas pada soal kekerasan, apapun motifnya.
9. Partai Politik. Mendesak kepada parpol-parpol nasionalis untuk terus menyuarakan isu-isu kebebasan beragama dan mempertahankan dasar Pancasila dari kelompok-kelompok yang berusaha menggantikan dasar negara ini; tidak melakukan tindakan politisasi agama yang bisa mengancam keutuhan republik ini
10. Lembaga Keagamaan dan pemuka agama. Terus menerus menyuarakan nila-nilai toleransi dan perdamaian. Khususnya kepada ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk mewaspadai menguatnya gerakan Islamisme yang diam-diam juga menggerogoti umatnya. Isu perebutan masjid dan aset pendidikan bisa menjadi indikasinya.
11. Media Massa. Sebagai pilar penting demokrasi, media harus berperan aktif untuk menyuarakan isu-isu kebebasan beragama, dan meminimalisir berita-berita kekerasan agama dan kelompok-kelompok garis keras. Menghindari idiom-idiom yang berdampak negatif bagi toleransi masyarakat seperti kata “aliran sesat”; tindak tunduk pada tuntutan sekelompok orang untuk menghakimi kelompok yang lain dengan cara-cara kekerasan.
12. Organisasi Masyarakat. Menghindari cara-cara kekerasan dalam menyampaikan aspirasi mereka, melainkan dialog yang santun dan terbuka. Melakukan tindakan hukum seperti yudicial review terhadap peraturan yang bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama sebagai tercantum dalam konstitusi.
13. Masyarakat Umum. Mengembangkan semangat keterbukaan dan toleransi serta menghindari kecurigaan keagamaan dengan usaha untuk terus berdialog; mengembangkan tradisi media literacy (melek media) untuk kritis terhadap pemberitaan media khususnya dalam isu-isu kebebasan beragama.
Disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008
Siti Musdah Mulia ,Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
Sekretariat Jendral MPR RI, Risalah Rapat-Rapat Panitia Ad Hoc BP MPR, Buku Kedua Jilid 3C Jakarta, h. 546-547
Download di:
http://www.google.co.id/#q=Musdah+Mulia_Potret+Kebebasan+Beragama+di+Era+Reformasi&hl=id&sa=2&fp=aef7b2de7d770d4c
Comments
Post a Comment