Protes Pada Sang Pelanduk
16 Juni 1990
GAJAH berkelahi dengan gajah, pelanduk yang muncul sebagai pemenang. Ini mungkin ungkapan yang pas untuk proses pemilihan ketua umum Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK), yang sudah menyelenggarakan munasnya enam bulan lalu. Si Pelanduk, Djoko Mursito Humardani, terpilih memimpin himpunan yang beranggotakan 260 paguyuban se-Indonesia ini, 5 Maret lalu. Menurut rencana, acara pengukuhan kepengurusan ini akan diadakan di Gedung Krida Bhakti, Jakarta Pusat, Kamis pekan ini. Pemilihan ketua umum seharusnya berlangsung dalam munas HPK. 18-21 Desember lalu, di Kaliurang, Yogyakarta. Tapi munas sempat diperpanjang sehari karena tujuh formatur belum berhasil menyusun pengurus baru. Sebagian formatur ingin mempertahankan Zahid Hussein, ketua umum HPK dua periode berturut-turut sebelumnya, tapi ada juga yang ingin menggusurnya. Para penentang Zahid menilai pejabat Setneg itu kurang berhasil mendekati Pemerintah. Akibatnya, pengikut HPK tidak bisa lagi menikah di Catatan Sipil seperti sebelumnya, dan tidak bisa mencantumkan kata "kepercayaan" dalam kolom agama di KTP. Selain itu, Zahid yang sudah naik haji itu dianggap terlalu condong ke Islam. Lalu muncul empat kandidat lain, Tulus, Permadi, Soemantri, dan Sri Soewardini. Tulus, yang tampil dengan program jangka pendek supaya anggota HPK bisa menikah di Catatan Sipil, mencuat namanya. Munas akhirnya diskors sebulan. Pada 21 Januari, acara akan dilanjutkan di Jakarta. Dalam masa skors ini, formatur meminta petunjuk dari Pemerintah. Nama empat kandidat terakhir dilayangkan pada Dirjen Kebudayaan dan Direktur Binhayat. Tembusan juga disampaikan pada Presiden dan Mensesneg. Tapi, sampai batas waktu berakhir, petunjuk belum turun juga. Sebenarnya, selama masa menunggu, tim formatur sudah mengadakan rapat di Cibogo, Bogor, 12 Januari, dan memilih Tulus sebagai ketua umum. Maka, disusulkanlah susunan pengurus dan ketua umum HPK ini. Namun, menurut salah seorang formatur, mereka juga menyiapkan Djoko Mursito Humardani sebagai cadangan ketua umum. Maksudnya, kalau usulan pertama tidak diterima, bisa diganti dengan yang berikutnya. Dua bulan ditunggu, jawaban tidak kunjung datang. Karena itu, usul cadangan ditayangkan. Dalam usul ini, Tulus tergusur dalam kepengurusan. Sebab, kata formatur itu lagi, Tulus dinilai kurang bisa menjembatani kepentingan HPK dan Pemerintah untuk membina hubungan antarumat beragama. Sebelum surat melayang, sudah diadakan lobi dengan beberapa pihak, antara lain Zahid Hussein dan salah seorang ketua DPP Golkar Mohammad Tarmudji. Upaya ketiga ini membuahkan hasil. Selembar disposisi bertanda tangan Presiden turun pada Mensesneg. Isinya: untuk memantapkan kepengurusan DPP HPK, Mensesneg agar segera berkonsultasi dengan Zahid Hussein dan Direktur Binhayat. Tanggal 5 Maret, diadakan pertemuan di rumah almarhum Soedjono Humardani -- ayah Djoko Mursito -- di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Pejabat Setneg Soenarso yang membawa disposisi dari Presiden bertemu dengan Direktur Binhayat Permadi, wakil ketua formatur Moerdijono, sekretaris formatur Ida Bagus Budhiawan, dan calon ketua Djoko Mursito. Pertemuan 10 jam itu menelurkan susunan dewan pengurus dengan Djoko sebagai ketua umum. Ketua I dan II dipegang oleh Moerdijono, dan ketua III pengurus lama, Soemantri. Zahid, Permadi, dan Tulus duduk sebagai ketua, sekretaris, dan anggota Dewan Pertimbangan Pusat HPK. Aksi tidak setuju atas terpilihnya Djoko pun segera berkibar. Dua anggota formatur, Soeratno, Ketua DPD HPK Jawa Tengah, dan Soewandi, Ketua DPD HPK Jawa Timur, bersedia menandatangani hasil rapat di Jalan Diponegoro itu kalau ada bukti tertulis tentang disposisi dari Presiden. Beberapa pihak menganggap pemilihan Djoko tidak sah karena hanya dihadiri ketua dan sekretaris. Seharusnya, sang ketua umum dipilih dalam rapat tim formatur dan pengurus DPD I HPK se-Indonesia. "Dalam munas Kaliurang itu, saya yang terpilih jadi ketua umum. Sebenarnya, saya tidak mau, tapi dicalonkan dari bawah," kata Tulus. Keberatan lain, Djoko dianggap masih belum cukup umur mengurus himpunan ini. Ia belum pernah duduk sebagai pengurus DPD atau DPP. Padahal, soal usia atau yang dituakan amat dipentingkan dalam ormas yang memiliki kepemimpinan tradisional ini. Tentangan juga datang dari pihak yang ikut dalam pertemuan 10 jam itu. Permadi, yang semula menyetujui putusan itu, berbalik menentangnya, bahkan mengirim surat permohonan penangguhan pengukuhan pengurus HPK pada Mensesneg, 7 Mei lalu. "Saya ingin agar semua masalah clear dulu sebelum peng- urus HPK dikukuhkan," begitu alasan Direktur Binhayat ini. Sang calon ketua umum sendiri tampak tenang-tenang saja. Kamis minggu lalu, ia memprakarsai pertemuan dengan sekitar 50 anggota HPK di Padepokan Kalimasada, Ciawi, Jawa Barat. Acara makan malam itu untuk mempersiapkan pengukuhan DPP HPK baru. Undangan bertanggal 4 Juni ini disampaikan juga kepada Permadi. Padahal, pada hari yang sama, Direktur Binhayat ini mengadakan pertemuan dengan anggota HPK di rumahnya. Ada kelompok lain yang juga menggalang kekuatan serupa pada hari itu. Zahid Hussein, ketua umum HPK demisioner, membuat sarasehan dengan sekitar 50 penghayat HPK di Sasono Adiroso TMII. Ia menganggap proses pemilihan Djoko tidak sah karena ia tidak tahumenahu proses pembentukan pengurus itu. Padahal, walau ia sudah mantan, tongkat estafet masih berada di tangannya. Meski ada protes, persiapan pengukuhan terus berjalan. Moerdijono yakin acara akan berjalan. Undangan yang, antara lain, menyatakan bakal ada amanat Presiden -- sekalipun belum ada kepastiannya -- sudah disebar. Undangan tanpa tanggal dan nomor itu sudah sampai ke tangan Tulus. Ia langsung menulis surat balasan pada Moerdijono. "Saya tulis harap Saudara batalkan acara tersebut sampai tiga kali," katanya. Diah Purnomowati, Moebanoe Moera, Rustam F. Mandayun, dan Zed Abidiencopy from: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/06/16/NAS/mbm.19900616.NAS16788.id.html
Comments
Post a Comment