Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK)
Kepemimpinan dalam Masyarakat Sunda
Oleh AYATROHAEDI
PERILAKU para pemimpin di jalan moderen ini sangat membingungkan masyarakat. Ada pejabat yang dalam setiap kesempatan mengubah pernyataan sebelumya, ada yang sering mengatakan lupa mengenai suatu hal jika sekiranya akan memojokkannya. Ada pula para pejabat yang saling salahkan atau saling lindungi, tergantung situasi dan suasana. Di samping itu, para atasan hampir selalu menganggap dirinya benar dan bawahan kurang memahami saran, perintah, atau nasihat yang disampaikannya. Semuanya ternyata mempunyai satu tujuan: menyelamatkan diri, baik kedudukan maupun penghasilan. Semuanya ternyata mempunyai satu sasaran: mengorbankan bawahan yang pasti tidak akan membant ah karena mereka pun perlu kedudukan dan penghasilan.Lalu, ke mana keteladanan harus dicari? Mungkinkah teladan itu dapat ditemukan dalam berbagai warisan budaya yang umumnya sudah diabaikan karena tidak menjanjikan hidup yang lebih dari segi sosial dan ekonomi? Mungkinkah teladan itu justru masih dapat ditemukan pada masyarakat "primitif" atau sekurang-kurangnya "terbelakang" dibandingkan cara dan gaya hidup sehari-hari massa kini?
Sejumlah naskah berbahasa Sunda Buhun mengandung rucita (konsep) kepemimpinan yang dapat dijadikan rujukan dalam upaya memahami citra kepemimpinan tradisional Sunda berdasarkan naskah dan prasasti. Di antara naskah itu, yang terpenting adalah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) dari tahun 1518 (Aca, 1972) dan oleh Suhamir (1961) disebut sebagai 'ensikpoledi Sunda'. naskah lainnya adalah Carita Parahyangan (CP) dari tahun 1580 (Aca 1967), berupa sebuah "ikhtisar sejarah" Tatar Sunda sejak masa kerajaan Galuh dan Sunda hingga keruntuhan kerajaan Pajajaran (669-1579), dan Sewakadarma (SD) yang tanpa tahun (Saleh Danasasmita dkk. 1987) namun diperkirakan berasal dari masa yang hampir sama atau bahkan lebih tua (Ayatrohaedi 2001).Ini beberapa kutipan dari naskah SSKK:1.nihan sinangguh dasaprebakti ngaranya, anak bakti di bapa, ewe bakti di salaki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wang tani bakti di wado, waso bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu di dewata, dewata bakti di hyang, ya ta sinangguh dasaprebakti ngaranna.
(Inilah yang disebut Dasarprebakti 'sepuluh kebaktian': Anak berbakti kepada ayah, istri berbakti kepada suami, hamba berbakti kepada majikan, siswa berbakti kepada guru, petani berbakti kepada wado, wado berbakti kepada nu nangganan, nunangganan berbakti kepada mantri, mantri berbakti kepada mangkabumi, mangkabumi berbakti kepada raja, raja berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang. Ya itulah yang disebut Dasaprebakti namanya).
2. ini twah ing jnma, pigunaon na urang reya. ulah mo turut sanghyang siksa kandang karesian, jaga rang dek luput ing pancagati, sangsara, mulah carut mulah sarereh, mulah nyangcarutkon maneh, kalinganya nyangcarutkon maneh ma ngaranya: nu aya dipajar hanto, nu hanto dipajar waya, nu inya dipajar lain, nu lain dipajar inya, nya karah edapna ma kira-kira, budi-budi ngajerum mijahotan, eta byaktana nyangcarutkon maneh ngaranna. nyangcarutkon sakalih ma ngaranna, mipit mi amit, ngala mo menta, ngajuput mo sadu; makanguni tu tunumpu, maling, ngetal, ngabegal, sing sawatek cekap carut, ya nyangcarutkon sakalih ngaranna.
(Inilah perilaku manusia yang akan berguna bagi orang banyak. Ikutilah Sanghyang Siksa Kandang karesian. Waspadalah, agar kita terluput dari pancagati ('lima penyakit: keserakahan, kebododohan, kejahatan, ketekeburan, keangkuhan) sehingga tidak sengsara. Janganah berkhianat, jangan culas, jangan mengkhisnati diri sendiri. Yang dikatakan mengkhianati diri sendiri ialah jika yang ada dikatakan tiada, yang tiada dikatakan ada, yang benar dikatakan salah, yang salah dikatakan benar. Begitulah, tekadnya penuh dengan muslihat. Perbuatan memitnah, menyakiti hati (orang lain), itulah kenyataannya yang disebut mengkhianati diri sendiri. Yang disebut mengkhianati orang lain ialah memetik (milik orang lain) tanpa perkenan, mengambil tanpa meminta, memungut tanpa memberi tahu. Demikian pula halnya dengan merampas, mencari, merampok, menodong; segala macam perbuatan khianat, ya mengkhianati orang lain namanya).
3. ini ujar sang sadu, basana drebyana. ini tritangtu di bumi. bayu kita pinaka prebu, sabda kita pinaka rama, hedap kita pinaka resi. ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaranna. (Inilah nasihat Sang Budman ketika menyentosakan pribadinya. Inilah tiga ketentuan di dunia: kesentosaan kita bagaikan raja, ucap kita ibarat tetua, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu dibumi, yang disebut (sebagai) peneguh dunia).
4. ini triwarga di lamba. wisnu kangken prabu, brahma kangken rama, isora kangkeng resi. nya mana tritangtu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat. ya sinangguh tritangtu di nu reya ngaranya. (Inilah triwarga di lamba 'tiga golongan dalam kehidupan'. Wisnu ibarat raja, Brahma ibarat tetua (=rama), Isora (Iswara) ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut sebagai tritangtu pada orang banyak namanya).
. teguhkon pagohkon sahingga ning tuhu, pepet, byakta warta manah. mana kreta na bwana, mana hayu ikang jagat, kena twah ning janma kapahayu. (Teguhkan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuh kenyataan sikap baik dalam jiwa sehigga dunia menjadi baik sebagai akibat dari perbuatan manusia yang baik).
6. kitu keh, sang pandita pogoh dipakanditaanana, kreta; sang wiku pogoh di kawikianana, kreta; sang manguyu pagoh di kamanguanana, kreta; sang paliken pagoh di kapaliikennana, kreta; sang tetega pagoh di kategaanana, kreta; sang ameng pagoh di kaamenganana, kreta; sang wasi pagoh di kawasianana, kreta; sang ebon pogoh di kaebonana, kreta; makanguni sang walka pagoh di kawalkaanana, kreta; sang wong tani pagoh di katanianana, kreta; sang owah pagoh di kaowahanana, kreta; sang gusit pagoh di kagusitanana, kreta; sang mantri pagoh di kamantrianana, kreta; sang masang pagoh di kamangsaanana, kreta; sang bujangga pagoh di kabujanganana, kreta; sang tarahan pogoh di katarahanana, kreta; sang disi pagoh di kadisianana, kreta; sang rama pagoh di karamaanana, kreta; sang resi pagoh di keresianana, kreta; prebu pagoh di kapreuanana, kreta. (Demikianlah, sang pendeta kukuh dalam kependetaannya, sejahtera; sang wiku (ahli agama) teguh dalam kewikuannya, sejahtera; manguyu (ahli gamelan) kukuh dengan kemanguyuannya, sejahtera; paliken (senirupawan) kukuh dalam kepalikenannya, sejahtera; ameng (pelayan biara) kukuh dalam keamengannya, sejahtera; wasi (cantik, pengikut agama) teguh dalam kewasiannya, sejahtera; ebon (biarawati) kukuh dalam keebonannya, sejahtera; tetega (biarawan) kukuh dalam ketegaannya, sejahtera; demikian juga jika sang walka (petapa berpakaian kulit kayu) teguh dalam kewalkaannya, sejahtera; petani teguh dalam kepetaniannya, sejahtera; owah (penjaga ladang) teguh dalam keowahannya, sejahtera; gusti (tuan tanah) kukuh dalam kegustiannya, sejahtera; mantri (menteri) kukuh dalam kemantriannya, sejahtera; sang masang (penjerat binatang) kukuh dalam kemasangannya, sejahtera; bujangga (ahli agama) kukuh dalam kebujanggaannya, sejahtera; sang tarahan (penambang perahu) kukuh dalam ketarahannyal sejahtera; sang disi (ahli obat) teguh dalam kedisiannya, sejahtera; rama (tetua desa) kukuh dalam keramaannya, sejahtera; resi (utuma) kukuh dalam keresiannya, sejahtera; dan prebu (raja) kukuh dalam keprebuannya, sejahtera).
7. nguni sang pandita kalawan sang dewaratu pagoh ngretakon ing bwana, nya mana lreta lor kidul kuln wetan, saka kasangga dening pretiwi, saka kakurung dening akasa; pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh. (Demikianlah, jika penderita dan raja sungguh-sungguh berupaya menyejahterakan dunia, maka sejahteralah di utara, selatan, barat, dan timur; semua yang tersangga (terpikul) oleh bumi, semua yang ternaungi langit, sejahteralah hidup sekalian makhluk (manusia).Dalam pada itu, paparan naskah SD umumnya berkenan dengan kehidupan keagamaan. SD merupakan salah satu bukti tentang pernah berkembangnya aliran Tantrayana di Tatar Sunda.
Ajaran itu menampilkan campuran aliran Siwasidanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Dewa Siwa, dengan agama Buda Mahayana. Di antara kerajaan atau negara di Tatar Sunda yang meninggalkan bekasnya dalam hal ajaran itu adalah kerajaan Talagamanggung yang berdiri sekitar abad ke-14 dan merupakan kerajaan beragama Buda aliran Stwawirawada; di daerah pusat kerajaan Sunda terdapat batu mandala yang membuktikan pernah berkembangnya agama Buda Wijrayana di daerah itu (Saleh Danasasmita dkk.). Campuran agama Siwa dan Buda itu masih berbaur dengan "agama pribumi" karena ternyata unsur hyang tetap dibedakan dengan dewata, walaupun tempat tinggal para dewata juga disebut kahyangan.
Jika dikaji lebih mendalam, akan dapat diketahui bahwa kedudukan hyang dan dewata pada naskah SD (Kropak 408) masih seimbang, sedangkan dalam SSKK (Kropak 630) sudah ditemukan dewa bakti di hyang. Hal itu menunjukkan bahwa pada saat SSKK ditulis, anasir Hindu sudah kian terdesak oleh anasir "pribumi" atau Nusantara, sekaligus menjadi petunjuk bahwa SD, walaupun tanpa angka tahun, lebih tua dari SSKK (Ayatrohaedi).Kehidupan masyarakat dan kepemimpinanNaskah SSKK merupakan salah satu sumber penting dalam upaya memahami kehidupan masyarakat Sunda masa silam, terutama pada masa sebelum masuknya pengaruh Islam.
Dilengkapi berbagai embaran yang terdapat dalam naskah lain (CP, SD, Carita Ratu Pakuan, Galungung, Bujangga Manik, Waruga Jagat), dapat diperoleh gambaran hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat Sunda Islam itu. Hal-hal yang agak jelas terdapat dalam naskah-naskah itu antara lain yang berkenaan dengan "birokrasi" dan pembagian kekuasaan, pelapisan masyarakat, kesehatan dan lingkungan, dan hubungan yang terjadi dalam tata masyarakat pada masa itu
(kys.).
Menurut sumber Portugis, perjanjian antara Suanda dan Portugis berlangsung pada tanggal 22 Agustus 1522. Dari pihak Sunda, penandatangan adalah Ratu Samiam yang sebelumnya penguasa daerah Sangiang dengan bandar Kalapanya. Dihubungkan dengan berita CP, berarti bahwa Ratu Samiam adalah Prabu Surawisesa yang berkuasa selama 14 tahun (1521-35) di kerajaan Sunda.Dari berbagai sumber, antara lain CP, dapat diketahui bahwa kerajaan Sunda berkembang sekira 900 tahun (669-1579).
Negara itu terdiri atas sejumlah wilayah lebih kecil, namun pada umumnya tetap mengakui kekuasaan kerajaan Sunda. Pada dasarnya kerajaan Sunda merupakan "negara kembar", terdiri atas dua negara dengan wilayah yang luasnya berimbang, yaitu Sunda di barat dan Galur di timur. Di wilayah kedua negara itu terdapat sejumlah negara bawahan dengan para penguasa yang umumnya masih kerabat raja "pusat". Bahkan, dalam beberapa hal tertentu, sering calon raja "dilatih" dengan memberinya kekuasaan di negara bawahan.
Rucita Dasaprebakti dalam SSKK menggambarkan bahwa pejabat yang paling dekat hubungannya di bawah raja adalah mangkubumi 'perdana menteri'. Ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan oleh bawahannya, nu nangganan, lalu berturut-turut ke bawah ada mantri dan wado. Jabatan nu nangganan juga tercatat dalam naskah Carita Ratu Pakuan: /10b/ (....) tan liyan girang nangganan nu / I Ia/ nangganan para putri nu golis (....) 'tidak lain (daripada) girang nangganan yang menangani (mengasuh?) para putri yang jelita' (Aca 1970). Jadi, nu nangganan adalah pejabat yang cukup memperoleh kepercayaan dari raja.Dengan demikian, barangkali struktur kerajaan Suanda dapat dibinaulang sebagai berikut: Di tingkat pemerintahan pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Dalam pelaksanaan tugasnya sehar-hari, raja dibantu oleh mangkubumi yang membawahi beberapa orang nu nangganan. Di samping itu, ada putra makuta yang akan menggantikan kedudukan raja jika raja meninggal atau mengundurkan diri. Untuk mengelola wilayah yang sangat luas itu, raja dibantu oleh beberapa orang raja bawahan atau raja daerah. Raja-raja itu melaksanakan tugas mereka sehari-hari bertindak sebagai raja yang merdeka, namun mereka tetap mengakui raja Sunda sebagai jungjunan mereka.
Dalam hal raja tidak mempunyai anak laki-laki yang berhak menggantikannya sebagai raja, tahta dapat beralih kepada menantunya. Jika putra makuta masih terlalu muda untuk memegang tampuk pemerintahan, mangkubumi dapat bertindak sebagai pejabat sementara raja. Dalam pada itu, untuk masalah perniagaan, di bandar-bandar kerajaan raja diwakili oleh syahbandar yang bertindak untuk dan atas nama raja Sunda di bandar yang dikuasakan kepada mereka. Struktur kerajaan itulah yang dianggap paling sesuai dengan kerajaan Sunda. Berbagai carita pantun juga pada umumnya mengisahkan seorang anak raja Pajajaran yang mengembara, dan dalam pengembaraannya ia menaklukkan berbagai raja kecil. Setelah raja-raja itu takluk, diangkat kembali sebagai penguasa di daerahnya, dengan syarat harus mengakui kekuasaan tertinggi yang berada di Pakuan Pajajaran.
Dalam CP dikisahkan bahwa selama rentang waktu yang sangat panjang itu, ada beberapa orang raja Sunda yang berhasil membawa negaranya ke dalam masa keemasan kena rampes na agama, kretayuga 'karena sempurna mengamalkan agama, maka tercapailah keadaan yang serba sejahtera' (Saleh Danasasmita 1984). Secara khusus, berkenaan dengan masa pemerintahan Niskala Wastukancana (1371-1475) CP mengembarkan, .... nya mana sang rama enak amangan, sang resi enak ngaresianana, ngawakan na purbatisti-purbajati. sang distri enak masini ngawakan na manusasana, ngaduman alas pari alas. ku beet hamo diukih, ku gede diukih. nya mana sang tarahan enak lalayaran ngawakan manurajasasana. sanghyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu enak-enak ngalungguh di sanghiyang jagatpalaka, ngawakan sanghiyang rajasasana, angadeg disanghiyang linggawesi, brata siya puja tan palum. sang wiku enak ngadewasanana, ngawakan sanghiyang watang agong, enak mangadeg manurajasunyi.... 'Dengan demikian, sang rama (sesepuh desa) dapat leluasa mengemong (membimbing) rakyat, sang resi dapat leluasa melaksanakan tugas sebagai pendeta mengamalkan adat-istiadat warisan leluhur. Sang disri dapat leluasa mengatur pembagian wilayah, mengamalkan hukum Manu, membagikan hutan dan daerah sekitarnya. Yang kecil maupun yang besar tidak ada yang menggugat. Karena itulah sang tarahan dapat leluasan mengurangi perairan mengamalkan peraturan raja. Air, cahaya, angin, angkara, "eter" merasa betah berada dalam naungan sang pelindung dunia. Wastu Kancana) menerapkan undang-undang kerajaan, menetap (?) di sanghyang linggawesi (nama ajaran atau Astana Gede?). Ia melakukan tapa dan puja tiada henti-hentinya. Sang Wiku (Wastu Kancana) dengan leluasa melaksanakan undang-undang dewa, mengamalkan sanghyang watang ageung (ajaran yang disusun oleh Sang Kandiawan, ayahanda Wretikandayun). Dengan tenang ia melaksanakan manurajasuniya ('bertapa setelah turun tahta').
Seperti ditegaskan dalam SSKK, terdapat "trias politika" Sunda di masa lampau. Pedoman itu disebut tritangtu(di bumi) yang pelaksanaannya muncul dalam wujud triwarga di lamba. Pedoman itu mengatur dan menata fungsi, kedudukan, dan peran yang melekat pada unsur-unsur tritangtu itu. Tujuannya adalah untuk menyentosakan pribadi (seseorang). Ia harus sentosa bagaikan raja, ucapannya harus dapat dipegang bagaikan petuah para tetua, sedangkan budinya haruslah bagaikan budi seorang resi. Tritangtu itulah yang disebut sebagai peneguh dunia.Dalam pada itu, dalam kehidupan sehari-hari pun ada tiga hal yang nyatanya merupakan perwujudan rucita tritangtu itu. Ketiganya dikembalikan perumpamaannya kepada Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa). Sesuai dengan fungsinya, raja diibaratkan Wisnu, para tetua diibaratkan Brahma, sementara resi diibaratkan Siwa atau Iswara. Tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia.Agar semuanya itu berlangsung dengan bai, maka setiap orang, sesuai dengan kedudukannya, harus kukuh berpegang dan menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawab dan kudratnya.
Pendeta, misalnya, harus kukuh sebagai pendeta, raja harus kukuh sebagai raja, dan resi pun harus kukuh sebagai resi.Ternyata, rucita tritangtu itu tetap bertahan atau dipertahankan pada masa yang jauh lebih kemudian. Namun, karena ungkapannya disampaikan dalam bahasa Jawa, pada umumnya rucita itu dianggap berasal dari kebudayaan Jawa sehingga "umurnya" baru sekira 400 tahun (Mataram pertengahan abad ke-178). Ungkapan yang berbunyi guru ratu wong atua karo wajib sinembah 'guru, raja, dan kedua orang tua wajib dijunjung tinggi' itu, apa bedanya dengan prebu 'raja, pemimpin', rama 'orang tua, tetua', dan resi 'guru' menurut SSKK?Maka, sejauh manakah kita masih dapat berpegang pada pedoman lama yang ternyata tetap baru itu? Jika upaya penyadaran akan warisan budaya (baik jasadi maupun ruhani) tetap dilakukan seperti sekarang, pada masanya yang mungkin tidak terlalu lama lagi, kita pun tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap dan bertindak menghadapi segala kemelut yang kian memuncak ini.***
Prof. Dr. H. Ayatrohaedi adalah pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, Depok.
SUPLEMEN
IKLAN
Oleh AYATROHAEDI
PERILAKU para pemimpin di jalan moderen ini sangat membingungkan masyarakat. Ada pejabat yang dalam setiap kesempatan mengubah pernyataan sebelumya, ada yang sering mengatakan lupa mengenai suatu hal jika sekiranya akan memojokkannya. Ada pula para pejabat yang saling salahkan atau saling lindungi, tergantung situasi dan suasana. Di samping itu, para atasan hampir selalu menganggap dirinya benar dan bawahan kurang memahami saran, perintah, atau nasihat yang disampaikannya. Semuanya ternyata mempunyai satu tujuan: menyelamatkan diri, baik kedudukan maupun penghasilan. Semuanya ternyata mempunyai satu sasaran: mengorbankan bawahan yang pasti tidak akan membant ah karena mereka pun perlu kedudukan dan penghasilan.Lalu, ke mana keteladanan harus dicari? Mungkinkah teladan itu dapat ditemukan dalam berbagai warisan budaya yang umumnya sudah diabaikan karena tidak menjanjikan hidup yang lebih dari segi sosial dan ekonomi? Mungkinkah teladan itu justru masih dapat ditemukan pada masyarakat "primitif" atau sekurang-kurangnya "terbelakang" dibandingkan cara dan gaya hidup sehari-hari massa kini?
Sejumlah naskah berbahasa Sunda Buhun mengandung rucita (konsep) kepemimpinan yang dapat dijadikan rujukan dalam upaya memahami citra kepemimpinan tradisional Sunda berdasarkan naskah dan prasasti. Di antara naskah itu, yang terpenting adalah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) dari tahun 1518 (Aca, 1972) dan oleh Suhamir (1961) disebut sebagai 'ensikpoledi Sunda'. naskah lainnya adalah Carita Parahyangan (CP) dari tahun 1580 (Aca 1967), berupa sebuah "ikhtisar sejarah" Tatar Sunda sejak masa kerajaan Galuh dan Sunda hingga keruntuhan kerajaan Pajajaran (669-1579), dan Sewakadarma (SD) yang tanpa tahun (Saleh Danasasmita dkk. 1987) namun diperkirakan berasal dari masa yang hampir sama atau bahkan lebih tua (Ayatrohaedi 2001).Ini beberapa kutipan dari naskah SSKK:1.nihan sinangguh dasaprebakti ngaranya, anak bakti di bapa, ewe bakti di salaki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wang tani bakti di wado, waso bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu di dewata, dewata bakti di hyang, ya ta sinangguh dasaprebakti ngaranna.
(Inilah yang disebut Dasarprebakti 'sepuluh kebaktian': Anak berbakti kepada ayah, istri berbakti kepada suami, hamba berbakti kepada majikan, siswa berbakti kepada guru, petani berbakti kepada wado, wado berbakti kepada nu nangganan, nunangganan berbakti kepada mantri, mantri berbakti kepada mangkabumi, mangkabumi berbakti kepada raja, raja berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang. Ya itulah yang disebut Dasaprebakti namanya).
2. ini twah ing jnma, pigunaon na urang reya. ulah mo turut sanghyang siksa kandang karesian, jaga rang dek luput ing pancagati, sangsara, mulah carut mulah sarereh, mulah nyangcarutkon maneh, kalinganya nyangcarutkon maneh ma ngaranya: nu aya dipajar hanto, nu hanto dipajar waya, nu inya dipajar lain, nu lain dipajar inya, nya karah edapna ma kira-kira, budi-budi ngajerum mijahotan, eta byaktana nyangcarutkon maneh ngaranna. nyangcarutkon sakalih ma ngaranna, mipit mi amit, ngala mo menta, ngajuput mo sadu; makanguni tu tunumpu, maling, ngetal, ngabegal, sing sawatek cekap carut, ya nyangcarutkon sakalih ngaranna.
(Inilah perilaku manusia yang akan berguna bagi orang banyak. Ikutilah Sanghyang Siksa Kandang karesian. Waspadalah, agar kita terluput dari pancagati ('lima penyakit: keserakahan, kebododohan, kejahatan, ketekeburan, keangkuhan) sehingga tidak sengsara. Janganah berkhianat, jangan culas, jangan mengkhisnati diri sendiri. Yang dikatakan mengkhianati diri sendiri ialah jika yang ada dikatakan tiada, yang tiada dikatakan ada, yang benar dikatakan salah, yang salah dikatakan benar. Begitulah, tekadnya penuh dengan muslihat. Perbuatan memitnah, menyakiti hati (orang lain), itulah kenyataannya yang disebut mengkhianati diri sendiri. Yang disebut mengkhianati orang lain ialah memetik (milik orang lain) tanpa perkenan, mengambil tanpa meminta, memungut tanpa memberi tahu. Demikian pula halnya dengan merampas, mencari, merampok, menodong; segala macam perbuatan khianat, ya mengkhianati orang lain namanya).
3. ini ujar sang sadu, basana drebyana. ini tritangtu di bumi. bayu kita pinaka prebu, sabda kita pinaka rama, hedap kita pinaka resi. ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaranna. (Inilah nasihat Sang Budman ketika menyentosakan pribadinya. Inilah tiga ketentuan di dunia: kesentosaan kita bagaikan raja, ucap kita ibarat tetua, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu dibumi, yang disebut (sebagai) peneguh dunia).
4. ini triwarga di lamba. wisnu kangken prabu, brahma kangken rama, isora kangkeng resi. nya mana tritangtu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat. ya sinangguh tritangtu di nu reya ngaranya. (Inilah triwarga di lamba 'tiga golongan dalam kehidupan'. Wisnu ibarat raja, Brahma ibarat tetua (=rama), Isora (Iswara) ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut sebagai tritangtu pada orang banyak namanya).
. teguhkon pagohkon sahingga ning tuhu, pepet, byakta warta manah. mana kreta na bwana, mana hayu ikang jagat, kena twah ning janma kapahayu. (Teguhkan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuh kenyataan sikap baik dalam jiwa sehigga dunia menjadi baik sebagai akibat dari perbuatan manusia yang baik).
6. kitu keh, sang pandita pogoh dipakanditaanana, kreta; sang wiku pogoh di kawikianana, kreta; sang manguyu pagoh di kamanguanana, kreta; sang paliken pagoh di kapaliikennana, kreta; sang tetega pagoh di kategaanana, kreta; sang ameng pagoh di kaamenganana, kreta; sang wasi pagoh di kawasianana, kreta; sang ebon pogoh di kaebonana, kreta; makanguni sang walka pagoh di kawalkaanana, kreta; sang wong tani pagoh di katanianana, kreta; sang owah pagoh di kaowahanana, kreta; sang gusit pagoh di kagusitanana, kreta; sang mantri pagoh di kamantrianana, kreta; sang masang pagoh di kamangsaanana, kreta; sang bujangga pagoh di kabujanganana, kreta; sang tarahan pogoh di katarahanana, kreta; sang disi pagoh di kadisianana, kreta; sang rama pagoh di karamaanana, kreta; sang resi pagoh di keresianana, kreta; prebu pagoh di kapreuanana, kreta. (Demikianlah, sang pendeta kukuh dalam kependetaannya, sejahtera; sang wiku (ahli agama) teguh dalam kewikuannya, sejahtera; manguyu (ahli gamelan) kukuh dengan kemanguyuannya, sejahtera; paliken (senirupawan) kukuh dalam kepalikenannya, sejahtera; ameng (pelayan biara) kukuh dalam keamengannya, sejahtera; wasi (cantik, pengikut agama) teguh dalam kewasiannya, sejahtera; ebon (biarawati) kukuh dalam keebonannya, sejahtera; tetega (biarawan) kukuh dalam ketegaannya, sejahtera; demikian juga jika sang walka (petapa berpakaian kulit kayu) teguh dalam kewalkaannya, sejahtera; petani teguh dalam kepetaniannya, sejahtera; owah (penjaga ladang) teguh dalam keowahannya, sejahtera; gusti (tuan tanah) kukuh dalam kegustiannya, sejahtera; mantri (menteri) kukuh dalam kemantriannya, sejahtera; sang masang (penjerat binatang) kukuh dalam kemasangannya, sejahtera; bujangga (ahli agama) kukuh dalam kebujanggaannya, sejahtera; sang tarahan (penambang perahu) kukuh dalam ketarahannyal sejahtera; sang disi (ahli obat) teguh dalam kedisiannya, sejahtera; rama (tetua desa) kukuh dalam keramaannya, sejahtera; resi (utuma) kukuh dalam keresiannya, sejahtera; dan prebu (raja) kukuh dalam keprebuannya, sejahtera).
7. nguni sang pandita kalawan sang dewaratu pagoh ngretakon ing bwana, nya mana lreta lor kidul kuln wetan, saka kasangga dening pretiwi, saka kakurung dening akasa; pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh. (Demikianlah, jika penderita dan raja sungguh-sungguh berupaya menyejahterakan dunia, maka sejahteralah di utara, selatan, barat, dan timur; semua yang tersangga (terpikul) oleh bumi, semua yang ternaungi langit, sejahteralah hidup sekalian makhluk (manusia).Dalam pada itu, paparan naskah SD umumnya berkenan dengan kehidupan keagamaan. SD merupakan salah satu bukti tentang pernah berkembangnya aliran Tantrayana di Tatar Sunda.
Ajaran itu menampilkan campuran aliran Siwasidanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Dewa Siwa, dengan agama Buda Mahayana. Di antara kerajaan atau negara di Tatar Sunda yang meninggalkan bekasnya dalam hal ajaran itu adalah kerajaan Talagamanggung yang berdiri sekitar abad ke-14 dan merupakan kerajaan beragama Buda aliran Stwawirawada; di daerah pusat kerajaan Sunda terdapat batu mandala yang membuktikan pernah berkembangnya agama Buda Wijrayana di daerah itu (Saleh Danasasmita dkk.). Campuran agama Siwa dan Buda itu masih berbaur dengan "agama pribumi" karena ternyata unsur hyang tetap dibedakan dengan dewata, walaupun tempat tinggal para dewata juga disebut kahyangan.
Jika dikaji lebih mendalam, akan dapat diketahui bahwa kedudukan hyang dan dewata pada naskah SD (Kropak 408) masih seimbang, sedangkan dalam SSKK (Kropak 630) sudah ditemukan dewa bakti di hyang. Hal itu menunjukkan bahwa pada saat SSKK ditulis, anasir Hindu sudah kian terdesak oleh anasir "pribumi" atau Nusantara, sekaligus menjadi petunjuk bahwa SD, walaupun tanpa angka tahun, lebih tua dari SSKK (Ayatrohaedi).Kehidupan masyarakat dan kepemimpinanNaskah SSKK merupakan salah satu sumber penting dalam upaya memahami kehidupan masyarakat Sunda masa silam, terutama pada masa sebelum masuknya pengaruh Islam.
Dilengkapi berbagai embaran yang terdapat dalam naskah lain (CP, SD, Carita Ratu Pakuan, Galungung, Bujangga Manik, Waruga Jagat), dapat diperoleh gambaran hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat Sunda Islam itu. Hal-hal yang agak jelas terdapat dalam naskah-naskah itu antara lain yang berkenaan dengan "birokrasi" dan pembagian kekuasaan, pelapisan masyarakat, kesehatan dan lingkungan, dan hubungan yang terjadi dalam tata masyarakat pada masa itu
(kys.).
Menurut sumber Portugis, perjanjian antara Suanda dan Portugis berlangsung pada tanggal 22 Agustus 1522. Dari pihak Sunda, penandatangan adalah Ratu Samiam yang sebelumnya penguasa daerah Sangiang dengan bandar Kalapanya. Dihubungkan dengan berita CP, berarti bahwa Ratu Samiam adalah Prabu Surawisesa yang berkuasa selama 14 tahun (1521-35) di kerajaan Sunda.Dari berbagai sumber, antara lain CP, dapat diketahui bahwa kerajaan Sunda berkembang sekira 900 tahun (669-1579).
Negara itu terdiri atas sejumlah wilayah lebih kecil, namun pada umumnya tetap mengakui kekuasaan kerajaan Sunda. Pada dasarnya kerajaan Sunda merupakan "negara kembar", terdiri atas dua negara dengan wilayah yang luasnya berimbang, yaitu Sunda di barat dan Galur di timur. Di wilayah kedua negara itu terdapat sejumlah negara bawahan dengan para penguasa yang umumnya masih kerabat raja "pusat". Bahkan, dalam beberapa hal tertentu, sering calon raja "dilatih" dengan memberinya kekuasaan di negara bawahan.
Rucita Dasaprebakti dalam SSKK menggambarkan bahwa pejabat yang paling dekat hubungannya di bawah raja adalah mangkubumi 'perdana menteri'. Ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan oleh bawahannya, nu nangganan, lalu berturut-turut ke bawah ada mantri dan wado. Jabatan nu nangganan juga tercatat dalam naskah Carita Ratu Pakuan: /10b/ (....) tan liyan girang nangganan nu / I Ia/ nangganan para putri nu golis (....) 'tidak lain (daripada) girang nangganan yang menangani (mengasuh?) para putri yang jelita' (Aca 1970). Jadi, nu nangganan adalah pejabat yang cukup memperoleh kepercayaan dari raja.Dengan demikian, barangkali struktur kerajaan Suanda dapat dibinaulang sebagai berikut: Di tingkat pemerintahan pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Dalam pelaksanaan tugasnya sehar-hari, raja dibantu oleh mangkubumi yang membawahi beberapa orang nu nangganan. Di samping itu, ada putra makuta yang akan menggantikan kedudukan raja jika raja meninggal atau mengundurkan diri. Untuk mengelola wilayah yang sangat luas itu, raja dibantu oleh beberapa orang raja bawahan atau raja daerah. Raja-raja itu melaksanakan tugas mereka sehari-hari bertindak sebagai raja yang merdeka, namun mereka tetap mengakui raja Sunda sebagai jungjunan mereka.
Dalam hal raja tidak mempunyai anak laki-laki yang berhak menggantikannya sebagai raja, tahta dapat beralih kepada menantunya. Jika putra makuta masih terlalu muda untuk memegang tampuk pemerintahan, mangkubumi dapat bertindak sebagai pejabat sementara raja. Dalam pada itu, untuk masalah perniagaan, di bandar-bandar kerajaan raja diwakili oleh syahbandar yang bertindak untuk dan atas nama raja Sunda di bandar yang dikuasakan kepada mereka. Struktur kerajaan itulah yang dianggap paling sesuai dengan kerajaan Sunda. Berbagai carita pantun juga pada umumnya mengisahkan seorang anak raja Pajajaran yang mengembara, dan dalam pengembaraannya ia menaklukkan berbagai raja kecil. Setelah raja-raja itu takluk, diangkat kembali sebagai penguasa di daerahnya, dengan syarat harus mengakui kekuasaan tertinggi yang berada di Pakuan Pajajaran.
Dalam CP dikisahkan bahwa selama rentang waktu yang sangat panjang itu, ada beberapa orang raja Sunda yang berhasil membawa negaranya ke dalam masa keemasan kena rampes na agama, kretayuga 'karena sempurna mengamalkan agama, maka tercapailah keadaan yang serba sejahtera' (Saleh Danasasmita 1984). Secara khusus, berkenaan dengan masa pemerintahan Niskala Wastukancana (1371-1475) CP mengembarkan, .... nya mana sang rama enak amangan, sang resi enak ngaresianana, ngawakan na purbatisti-purbajati. sang distri enak masini ngawakan na manusasana, ngaduman alas pari alas. ku beet hamo diukih, ku gede diukih. nya mana sang tarahan enak lalayaran ngawakan manurajasasana. sanghyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu enak-enak ngalungguh di sanghiyang jagatpalaka, ngawakan sanghiyang rajasasana, angadeg disanghiyang linggawesi, brata siya puja tan palum. sang wiku enak ngadewasanana, ngawakan sanghiyang watang agong, enak mangadeg manurajasunyi.... 'Dengan demikian, sang rama (sesepuh desa) dapat leluasa mengemong (membimbing) rakyat, sang resi dapat leluasa melaksanakan tugas sebagai pendeta mengamalkan adat-istiadat warisan leluhur. Sang disri dapat leluasa mengatur pembagian wilayah, mengamalkan hukum Manu, membagikan hutan dan daerah sekitarnya. Yang kecil maupun yang besar tidak ada yang menggugat. Karena itulah sang tarahan dapat leluasan mengurangi perairan mengamalkan peraturan raja. Air, cahaya, angin, angkara, "eter" merasa betah berada dalam naungan sang pelindung dunia. Wastu Kancana) menerapkan undang-undang kerajaan, menetap (?) di sanghyang linggawesi (nama ajaran atau Astana Gede?). Ia melakukan tapa dan puja tiada henti-hentinya. Sang Wiku (Wastu Kancana) dengan leluasa melaksanakan undang-undang dewa, mengamalkan sanghyang watang ageung (ajaran yang disusun oleh Sang Kandiawan, ayahanda Wretikandayun). Dengan tenang ia melaksanakan manurajasuniya ('bertapa setelah turun tahta').
Seperti ditegaskan dalam SSKK, terdapat "trias politika" Sunda di masa lampau. Pedoman itu disebut tritangtu(di bumi) yang pelaksanaannya muncul dalam wujud triwarga di lamba. Pedoman itu mengatur dan menata fungsi, kedudukan, dan peran yang melekat pada unsur-unsur tritangtu itu. Tujuannya adalah untuk menyentosakan pribadi (seseorang). Ia harus sentosa bagaikan raja, ucapannya harus dapat dipegang bagaikan petuah para tetua, sedangkan budinya haruslah bagaikan budi seorang resi. Tritangtu itulah yang disebut sebagai peneguh dunia.Dalam pada itu, dalam kehidupan sehari-hari pun ada tiga hal yang nyatanya merupakan perwujudan rucita tritangtu itu. Ketiganya dikembalikan perumpamaannya kepada Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa). Sesuai dengan fungsinya, raja diibaratkan Wisnu, para tetua diibaratkan Brahma, sementara resi diibaratkan Siwa atau Iswara. Tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia.Agar semuanya itu berlangsung dengan bai, maka setiap orang, sesuai dengan kedudukannya, harus kukuh berpegang dan menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawab dan kudratnya.
Pendeta, misalnya, harus kukuh sebagai pendeta, raja harus kukuh sebagai raja, dan resi pun harus kukuh sebagai resi.Ternyata, rucita tritangtu itu tetap bertahan atau dipertahankan pada masa yang jauh lebih kemudian. Namun, karena ungkapannya disampaikan dalam bahasa Jawa, pada umumnya rucita itu dianggap berasal dari kebudayaan Jawa sehingga "umurnya" baru sekira 400 tahun (Mataram pertengahan abad ke-178). Ungkapan yang berbunyi guru ratu wong atua karo wajib sinembah 'guru, raja, dan kedua orang tua wajib dijunjung tinggi' itu, apa bedanya dengan prebu 'raja, pemimpin', rama 'orang tua, tetua', dan resi 'guru' menurut SSKK?Maka, sejauh manakah kita masih dapat berpegang pada pedoman lama yang ternyata tetap baru itu? Jika upaya penyadaran akan warisan budaya (baik jasadi maupun ruhani) tetap dilakukan seperti sekarang, pada masanya yang mungkin tidak terlalu lama lagi, kita pun tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap dan bertindak menghadapi segala kemelut yang kian memuncak ini.***
Prof. Dr. H. Ayatrohaedi adalah pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, Depok.
SUPLEMEN
IKLAN
Comments
Post a Comment