Pertemuan Budaya & Konsekuensinya
Dr. Budya Pradipta)
Indonesia, yang terletak dipersimpangan jalan diagonal barat dan timur, lautan teduh dan lautan Hindia tidak terbebas dari kedatangan bangsa-bangsa asing, dari dahulu hingga sekarang. Yang datang bercokol lama di Indonesia adalah Belanda selama tiga setengah abad, bahkan menjadi penjajah bangsa Indonesia. Bangsa asing lainnya pengaruhnya tidak besar.
Secara kultural yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan keidupan bangsa Indonesia adalah kebudayaan Hindu, Islam, Barat (khususnya Belanda), dan Cina. Jepang pernah berpengaruh walaupun sedikit, terutama karena pernah menduduki Indonesia selama kurang lebih tiga segengah tahun. Oleh sebab itu, kebudayaan Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan-kebudayaan asing tersebut.
Seperti halnya seseorang jika bertemu dengan seseorang lainnya maka terjadilah perkenalan. Dalam perkenalan terjadi proses komunikasi dan interaksi, dimana satu sama lain saling mengamati baik dari segi fisik maupun dari cipta-rasa-karsanya. Apabila hubungan perkenalan berjalan saling membutuhkan dan menarik, maka perkenalan tersebut meningkat menjadi perkawanan dan dari hubungan perkawanan meningkat lagi menjadi persahabatan. Dari persahabatan secara alamiah akan terjadi saling menyerap, dimana yang baik ditiru sedangkan yang tidak baik ditinggalkan.
Tidak jarang terjadi hal-hal yang baik lama-kelamaan ditiru dan dipakai sebagai perilakunya sehari-hari, seolah-olah sudah menjadi bagian dari jatidiri dan kepribadiannya sendiri, sudah barang tentu melewati proses penyesuaian ataupun modifikasi. Biasanya yang ditiru dan disesuaikan adalah perilaku yang baik dari individu yang kuat, berkuasa, dan berpengaruh, karena perilaku dari mereka itu menentukan jalannya kehidupan mereka yang menerima.
Pertemuan kebudayaan kita (Nusantara) dengan kebudayaan asing tidak jauh berbeda dengan proses terjadinya pertemuan antara individu dalam negeri dengan individu luar negeri. Kita wajib bersyukur karena ternyata kebudayaan Nusantara khususnya Jawa, ternyata mempunyai jatidiri dan kepribadian yang kuat, sehingga ketika bertemu dengan kebudayaan asing, kebudyaan Jawa tidak terkikis tenggelam ditelan (dicaplok) oleh kebudayaan asing.
Hal ini berbeda jauh jika dibandingkan misalnya dengan Philipina : datang bangsa Spayol Philipina boleh dikata ditelan masuk jatidiri dan kepribadiannya ke dalam kebudayaan Spayol, datang Amerika Serikat bangsa Philipina menjadi ke-Amerika-amerikaan. Bangsa kita dulu ketika jaman Belanda sebagian lapisan intelektual hampir saja ditelan oleh kebudayaan Belanda, terbukti misalnya dalam
pergaulan, mereka baru merasa terpelajar dan berstatus tinggi apabila mampu menggunakan bahasa Belanda dengan baik. Untungnya situasi seperti itu dapat dihentikan oleh keperkasaan Presiden Soekarno, sehingga mereka dapat mengoreksi diri kembali ke jiwa nasional.
Bagaimana halnya dengan masyarakat Penghayat ?
Di kalangan masyarakat Penghayat kalau ditanggapi secara cermat sebenarnya terjadi pergokakan batin, namun belum muncul kepermukaan. Fenomenanya sudah nampak, terutama dalam mengklasifikasi jenis Penghayat seperti terurai di bawah ini.
Secara umum Penghayat dapat didefinisi secara ilmiah sebagai berikut : Penghayat adalah seseorang yang menjalankan laku hidup Berketuhanan Yang Maha Esa dengan metode induktif. Sedangkan Agamawan adalah seseorang yang menjalankan laku hidup Berketuhanan Yang Maha Esa dengan metode deduktif. Pada diri Penghayat seseorang tidak mau terikat atau diikat oleh dalil-dalil yang bersumber dari kitab-kitab suci. Betul-betul ia berangkat dari nol, Tujuannya satu, melaksanakan laku hidup yang diyakini sebagai berasal dari dunia batin atau lebih tinggi lagi dunia Ketuhanan. Misalnya soal puasa.
Ia menjalankan dengan sepenuh keyakinan ingin mengetahui susana jiwa dan raga, lahir dan batin, jasmani dan rohani seseorang yang menjalankan puasa. Hari pertama seperti apa, hari kedua seperti apa, dan seterusnya, sampai batas tertentu. Yang menentukan batas awal dan batas akhir puasa bukanlah harus dari kitab suci ataupun aturan agama tertentu, tetapi biasanya atas tuntunan dari seseorang guru laku. Apabila dia sendiri sudah mampu memproleh tuntunan dari Tuhan, maka batas puasa otomatis ditentukan oleh tuntunan yang ia terima sendiri. Di sini sama sekali tidak ada paksaan, semuanya berjalan dengan kesadaran yang dilambari oleh keihlasan. Kalau dikatakan atas dasar kedewasaan, hal ini kurang tepat, sebab dalam kenyataan banyak anak-anak atau remaja yang tiba-tiba mempunyai panggilan batin untuk berpuasa. Terhadap hal ini anak-anak atau remaja tadi dibiarkan saja berjalan tanpa guru laku, kecuali datang pertanyaan kepada orang yang secara kebetulan lebih tua atau pun lebih mengerti.
Secara kualitatif laku hidup Berketuhanan Yang Maha Esa itu bermacam-macam dan jumlahnya tak terhitung. Mungkin pada kesempatan tertentu perlu diinventarisasi jumlah dan jenis laku yang pernah dijalankan oleh masyarakt Penghayat sepanjang sejarah.
Laku hidup beragama sudah barang tentu memiliki disiplin yang ketat, artinya harus tunduk takluk mengikuti acuan yang ditetapkan oleh agamanya. Kalau berbeda dari acuan tersebut, harus siap-siap distempel penyimpangan. Dan kalau sudah menyimpang harus pula siap-siap divonis “Sudah berada di luar agama” atau “Dikeluarkan dari institusi agama”.
Kembali kepada masyarakat Penghayat. Kalau dilihat dari panembah (bersembah) manusia sebenarnya terbagi ke dalam dua jenis, yaitu jenis manusia yang menyembah kepada Tuhan sebagai satu-satunya sesembahan yang wajib disembah dan jenis manusia yang menyembah bukan kepada Tuhan tetapi kepada di luar Tuhan, misalnya mahluk-mahluk halus yang dianggap mempunyai kekuatan dahsyat, sehingga dianggap pula memberi daya lebih atau tuntunan nyata kepada manusia. Dalam hal Penghayat, kita bicara hanya tentang jenis manusia yang betul-betul yakin akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan memberi kekuasaan segala-galanya.
Diantara masyarakat tersebut terjadi tiga jalur pemikiran, hal mana disebabkan karena adanya pengaruh budaya asing yang masuk ke dalam budaya Nusantara :
1. Jalur panembah murni atau sering disebut pula sebagai jalur panembah asli, yaitu jenis panembah yang diturunkan dari leluhurnya sendiri, ditandai dengan kosakata yang relatif kesemuanya berasal dari kosakata bahasa daerahnya sendiri (dalam negeri). Segala aktifitas ritual yang berkaitan dengan bahasa, menggunakan bahasa daerah yang dianggap sebagai bahasa peninggalan leluhurnya. Mereka mempunyai syariat sendiri yang berbeda dengan syariat agama. Jadi salah, kalau ada orang yang mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai syariat. Biasanya kaum agama menyebutnya sebagai masyarakat abangan, karena tidak menjalankan syariat agama. Padahal sebutan ini tidak tepat. Contoh antara lain : Paguyuban Perjalanan. Secara kultural jalur ini disebut sebagai jalur akulturasi.
2. Jalur panembah luluh atau sering disebut pula sebagai jalur pengawinan, yaitu jalur panembah yang menggunakan dasar-dasar asli kebudayaan Nusantara dengan dipengaruhi (dicampur, diperkuat) oleh kosakata agama (bahasa Arab, bahasa Sansekerta, bahasa Ibrani ataupun bahasa gama lainnya). Contoh antara lain : Paguyuban Manunggal pimpinan Romo Herucokro (Romo Semana). Secara kultural jalur ini disebut sebagai asimilasi.
3. Jalur panembah rangkap atau sering disebut pula sebagai jalur ganda, yaitu jalur panembah disampng menggunakan syariat agama, juga dirangkapi perilakunya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Es atau jalur agama yang dilaksanakan secara adat budaya setempat, misalnya kejawen. Jalur ini tidak akan meimbulkan fanatisme, karena memandang bahwa agama adalah sistem nilai tertentu, yang bersifat sangat individual. Sedangkan nilai universalnya terletak pada kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pelaksanaannya seseorang tetap menjalankan agamanya secara tertib, akan tetapi secara kebatinan dia menjalankan kepenghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Contoh antara lain : masyarakat kejawen. Mengapa disebut kejawen karena dalam tata-laksananya diusahakan halus, lembut, dan selaras sesuai dengan sifat-sifat budaya Jawa. Ini artinya dalam berkomunikasi dijaga jangan sampai terjadi friksi, sehingga yang tampil adalah harmoni. Di kalangan Penghayat jalur ini paling banyak mendapatkan “pasaran”.
Berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi tidak bergama.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari bangsa Indonesia yang dikesankan religus, seperti sering dikatakan sebagian besar penduduk bangsa Indonesia adalah beragama Isalam, namun dalam kenyataan laku perbuatannya tidak mencerminkan orang-orang yang beragama. Banyak korupsi, penipuan, perampokan, pemerkosaan, narkoba, narkotik, ganja, dan laku perbuatan yang tercela.
Di kalangan Penghayat hal ini dipersoalkan sebagai fenomena yang sangat menarik. Kesimpulannya mereka beragama tetapi tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya secara lahiriyah mereka menjalankan syariat agama sepenuhnya tetapi batinnya kosong. Kalau begitu tidak semua orang yang beragama Berketuhanan Yang Maha Esa. Predikat beragama mengandung pengertian menjalankan syariat, sedangkan predikat Berketuhanan Yang Maha Esa bermakna menjalankan hidup berbudi pekerti luhur yang ditunjukkan dengan tidak mau berbohong walaupun kepada diri sendiri apalagi merugikan orang lain atau merusak lingkungan alam sekitarnya. Dalam bahasa teknisnya seorang yang Berketuhanan Yang Maha Esa mempunyai komitmen selalu untuk Memayu Hayuning Bawana (Mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia).
Alam beserta segala isinya termasuk manusia tidak boleh dirusak, tetapi justru harus dijaga, dipelihara, dan kelestarikan sehingga tidak terjadi gejolak alam, seperti bermacam-macam bencana alam yang terjadi disekitar kita. Menurut pemahaman ini terjadinya bencana alam gempa dan/atau tsunami misalnya, disebabkan karena terlampu banyaknya manusia yang berbuat tidak baik, berbohgong, tercela, culas, atau dengan kata lain tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Bumi diduduki ribuan gedung pencakar langit tidak akan ambles, akan tetapi begitu ditempati oleh manusia-manusia yang tidak terpuji (berkelakukan tidak baik) seperti itu menjadi tidak kuat, tatakan dibawahnya bergeser ke bawah dan ketika menutup kembali terjadilah gempa. Peristiwa ini perumpamaannya seperti sebuah mobil angkutan penumpang kijang misalnya, yang seharusnya diisi hanya oleh maksimal dua belas orang, ini diisi lebih dari maksimal, sehingga per-nya melengkung dan patah, tidak kuat menambah beban.
Sampai di situ banyak manusia yang tidak percaya bahwa sesungguhnya ada hubungan antara perilaku alam dengan perilaku manusia. Sebagai sekedar contoh kecil misalnya, sebatang tanaman yang tumbuh di halaman rumah kita apabila tidak mendapatkan rawatan, maka tanaman itu akan mrana dan lama-kelamaan mati. Peristiwa perawatan menunjukkan bahwa manusia harus mempunyai, memberi, dan melayani kasih kepada tanaman tersebut seperti halnya juga Tuhan memberi kasih setiap saat kepada alam semesta. Tanpa kasih Tuhan jagat raya berserta isinya tidak terwujud dan hidup.
Dalam kenyataan di dunia sekarang banyak orang beragama tapi sayangnya banyak terjadi terorisme, bom-boman, perang, perlombaan senjata, pertentangan ideologi, dan sebagainya, ini semua menunjukkan bahwa sekalipun mereka
beragama, namun tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Mereka masih mengumbar bawa nafsu.
Hidup Berketuhanan Yang Maha Esa baru terselenggara secara baik kalau sudah terjadi perilaku saling menolong, tidak ada permusuhan, tidak ada pertentangan, kelas, tidak ada kerusuhan, apalagi peperangan yang ada hanyalah perdamaian, persaudaraan, keamanan, kesejahteraan, kebahagiaan, keselamatan, dan kenyamanan sejati.
Oleh sebab itu, dalam hidup ini yang amat penting adalah Berketuhanan Yang Maha Esa, tidak lainnya.
Indonesia, yang terletak dipersimpangan jalan diagonal barat dan timur, lautan teduh dan lautan Hindia tidak terbebas dari kedatangan bangsa-bangsa asing, dari dahulu hingga sekarang. Yang datang bercokol lama di Indonesia adalah Belanda selama tiga setengah abad, bahkan menjadi penjajah bangsa Indonesia. Bangsa asing lainnya pengaruhnya tidak besar.
Secara kultural yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan keidupan bangsa Indonesia adalah kebudayaan Hindu, Islam, Barat (khususnya Belanda), dan Cina. Jepang pernah berpengaruh walaupun sedikit, terutama karena pernah menduduki Indonesia selama kurang lebih tiga segengah tahun. Oleh sebab itu, kebudayaan Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan-kebudayaan asing tersebut.
Seperti halnya seseorang jika bertemu dengan seseorang lainnya maka terjadilah perkenalan. Dalam perkenalan terjadi proses komunikasi dan interaksi, dimana satu sama lain saling mengamati baik dari segi fisik maupun dari cipta-rasa-karsanya. Apabila hubungan perkenalan berjalan saling membutuhkan dan menarik, maka perkenalan tersebut meningkat menjadi perkawanan dan dari hubungan perkawanan meningkat lagi menjadi persahabatan. Dari persahabatan secara alamiah akan terjadi saling menyerap, dimana yang baik ditiru sedangkan yang tidak baik ditinggalkan.
Tidak jarang terjadi hal-hal yang baik lama-kelamaan ditiru dan dipakai sebagai perilakunya sehari-hari, seolah-olah sudah menjadi bagian dari jatidiri dan kepribadiannya sendiri, sudah barang tentu melewati proses penyesuaian ataupun modifikasi. Biasanya yang ditiru dan disesuaikan adalah perilaku yang baik dari individu yang kuat, berkuasa, dan berpengaruh, karena perilaku dari mereka itu menentukan jalannya kehidupan mereka yang menerima.
Pertemuan kebudayaan kita (Nusantara) dengan kebudayaan asing tidak jauh berbeda dengan proses terjadinya pertemuan antara individu dalam negeri dengan individu luar negeri. Kita wajib bersyukur karena ternyata kebudayaan Nusantara khususnya Jawa, ternyata mempunyai jatidiri dan kepribadian yang kuat, sehingga ketika bertemu dengan kebudayaan asing, kebudyaan Jawa tidak terkikis tenggelam ditelan (dicaplok) oleh kebudayaan asing.
Hal ini berbeda jauh jika dibandingkan misalnya dengan Philipina : datang bangsa Spayol Philipina boleh dikata ditelan masuk jatidiri dan kepribadiannya ke dalam kebudayaan Spayol, datang Amerika Serikat bangsa Philipina menjadi ke-Amerika-amerikaan. Bangsa kita dulu ketika jaman Belanda sebagian lapisan intelektual hampir saja ditelan oleh kebudayaan Belanda, terbukti misalnya dalam
pergaulan, mereka baru merasa terpelajar dan berstatus tinggi apabila mampu menggunakan bahasa Belanda dengan baik. Untungnya situasi seperti itu dapat dihentikan oleh keperkasaan Presiden Soekarno, sehingga mereka dapat mengoreksi diri kembali ke jiwa nasional.
Bagaimana halnya dengan masyarakat Penghayat ?
Di kalangan masyarakat Penghayat kalau ditanggapi secara cermat sebenarnya terjadi pergokakan batin, namun belum muncul kepermukaan. Fenomenanya sudah nampak, terutama dalam mengklasifikasi jenis Penghayat seperti terurai di bawah ini.
Secara umum Penghayat dapat didefinisi secara ilmiah sebagai berikut : Penghayat adalah seseorang yang menjalankan laku hidup Berketuhanan Yang Maha Esa dengan metode induktif. Sedangkan Agamawan adalah seseorang yang menjalankan laku hidup Berketuhanan Yang Maha Esa dengan metode deduktif. Pada diri Penghayat seseorang tidak mau terikat atau diikat oleh dalil-dalil yang bersumber dari kitab-kitab suci. Betul-betul ia berangkat dari nol, Tujuannya satu, melaksanakan laku hidup yang diyakini sebagai berasal dari dunia batin atau lebih tinggi lagi dunia Ketuhanan. Misalnya soal puasa.
Ia menjalankan dengan sepenuh keyakinan ingin mengetahui susana jiwa dan raga, lahir dan batin, jasmani dan rohani seseorang yang menjalankan puasa. Hari pertama seperti apa, hari kedua seperti apa, dan seterusnya, sampai batas tertentu. Yang menentukan batas awal dan batas akhir puasa bukanlah harus dari kitab suci ataupun aturan agama tertentu, tetapi biasanya atas tuntunan dari seseorang guru laku. Apabila dia sendiri sudah mampu memproleh tuntunan dari Tuhan, maka batas puasa otomatis ditentukan oleh tuntunan yang ia terima sendiri. Di sini sama sekali tidak ada paksaan, semuanya berjalan dengan kesadaran yang dilambari oleh keihlasan. Kalau dikatakan atas dasar kedewasaan, hal ini kurang tepat, sebab dalam kenyataan banyak anak-anak atau remaja yang tiba-tiba mempunyai panggilan batin untuk berpuasa. Terhadap hal ini anak-anak atau remaja tadi dibiarkan saja berjalan tanpa guru laku, kecuali datang pertanyaan kepada orang yang secara kebetulan lebih tua atau pun lebih mengerti.
Secara kualitatif laku hidup Berketuhanan Yang Maha Esa itu bermacam-macam dan jumlahnya tak terhitung. Mungkin pada kesempatan tertentu perlu diinventarisasi jumlah dan jenis laku yang pernah dijalankan oleh masyarakt Penghayat sepanjang sejarah.
Laku hidup beragama sudah barang tentu memiliki disiplin yang ketat, artinya harus tunduk takluk mengikuti acuan yang ditetapkan oleh agamanya. Kalau berbeda dari acuan tersebut, harus siap-siap distempel penyimpangan. Dan kalau sudah menyimpang harus pula siap-siap divonis “Sudah berada di luar agama” atau “Dikeluarkan dari institusi agama”.
Kembali kepada masyarakat Penghayat. Kalau dilihat dari panembah (bersembah) manusia sebenarnya terbagi ke dalam dua jenis, yaitu jenis manusia yang menyembah kepada Tuhan sebagai satu-satunya sesembahan yang wajib disembah dan jenis manusia yang menyembah bukan kepada Tuhan tetapi kepada di luar Tuhan, misalnya mahluk-mahluk halus yang dianggap mempunyai kekuatan dahsyat, sehingga dianggap pula memberi daya lebih atau tuntunan nyata kepada manusia. Dalam hal Penghayat, kita bicara hanya tentang jenis manusia yang betul-betul yakin akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan memberi kekuasaan segala-galanya.
Diantara masyarakat tersebut terjadi tiga jalur pemikiran, hal mana disebabkan karena adanya pengaruh budaya asing yang masuk ke dalam budaya Nusantara :
1. Jalur panembah murni atau sering disebut pula sebagai jalur panembah asli, yaitu jenis panembah yang diturunkan dari leluhurnya sendiri, ditandai dengan kosakata yang relatif kesemuanya berasal dari kosakata bahasa daerahnya sendiri (dalam negeri). Segala aktifitas ritual yang berkaitan dengan bahasa, menggunakan bahasa daerah yang dianggap sebagai bahasa peninggalan leluhurnya. Mereka mempunyai syariat sendiri yang berbeda dengan syariat agama. Jadi salah, kalau ada orang yang mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai syariat. Biasanya kaum agama menyebutnya sebagai masyarakat abangan, karena tidak menjalankan syariat agama. Padahal sebutan ini tidak tepat. Contoh antara lain : Paguyuban Perjalanan. Secara kultural jalur ini disebut sebagai jalur akulturasi.
2. Jalur panembah luluh atau sering disebut pula sebagai jalur pengawinan, yaitu jalur panembah yang menggunakan dasar-dasar asli kebudayaan Nusantara dengan dipengaruhi (dicampur, diperkuat) oleh kosakata agama (bahasa Arab, bahasa Sansekerta, bahasa Ibrani ataupun bahasa gama lainnya). Contoh antara lain : Paguyuban Manunggal pimpinan Romo Herucokro (Romo Semana). Secara kultural jalur ini disebut sebagai asimilasi.
3. Jalur panembah rangkap atau sering disebut pula sebagai jalur ganda, yaitu jalur panembah disampng menggunakan syariat agama, juga dirangkapi perilakunya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Es atau jalur agama yang dilaksanakan secara adat budaya setempat, misalnya kejawen. Jalur ini tidak akan meimbulkan fanatisme, karena memandang bahwa agama adalah sistem nilai tertentu, yang bersifat sangat individual. Sedangkan nilai universalnya terletak pada kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pelaksanaannya seseorang tetap menjalankan agamanya secara tertib, akan tetapi secara kebatinan dia menjalankan kepenghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Contoh antara lain : masyarakat kejawen. Mengapa disebut kejawen karena dalam tata-laksananya diusahakan halus, lembut, dan selaras sesuai dengan sifat-sifat budaya Jawa. Ini artinya dalam berkomunikasi dijaga jangan sampai terjadi friksi, sehingga yang tampil adalah harmoni. Di kalangan Penghayat jalur ini paling banyak mendapatkan “pasaran”.
Berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi tidak bergama.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari bangsa Indonesia yang dikesankan religus, seperti sering dikatakan sebagian besar penduduk bangsa Indonesia adalah beragama Isalam, namun dalam kenyataan laku perbuatannya tidak mencerminkan orang-orang yang beragama. Banyak korupsi, penipuan, perampokan, pemerkosaan, narkoba, narkotik, ganja, dan laku perbuatan yang tercela.
Di kalangan Penghayat hal ini dipersoalkan sebagai fenomena yang sangat menarik. Kesimpulannya mereka beragama tetapi tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya secara lahiriyah mereka menjalankan syariat agama sepenuhnya tetapi batinnya kosong. Kalau begitu tidak semua orang yang beragama Berketuhanan Yang Maha Esa. Predikat beragama mengandung pengertian menjalankan syariat, sedangkan predikat Berketuhanan Yang Maha Esa bermakna menjalankan hidup berbudi pekerti luhur yang ditunjukkan dengan tidak mau berbohong walaupun kepada diri sendiri apalagi merugikan orang lain atau merusak lingkungan alam sekitarnya. Dalam bahasa teknisnya seorang yang Berketuhanan Yang Maha Esa mempunyai komitmen selalu untuk Memayu Hayuning Bawana (Mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia).
Alam beserta segala isinya termasuk manusia tidak boleh dirusak, tetapi justru harus dijaga, dipelihara, dan kelestarikan sehingga tidak terjadi gejolak alam, seperti bermacam-macam bencana alam yang terjadi disekitar kita. Menurut pemahaman ini terjadinya bencana alam gempa dan/atau tsunami misalnya, disebabkan karena terlampu banyaknya manusia yang berbuat tidak baik, berbohgong, tercela, culas, atau dengan kata lain tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Bumi diduduki ribuan gedung pencakar langit tidak akan ambles, akan tetapi begitu ditempati oleh manusia-manusia yang tidak terpuji (berkelakukan tidak baik) seperti itu menjadi tidak kuat, tatakan dibawahnya bergeser ke bawah dan ketika menutup kembali terjadilah gempa. Peristiwa ini perumpamaannya seperti sebuah mobil angkutan penumpang kijang misalnya, yang seharusnya diisi hanya oleh maksimal dua belas orang, ini diisi lebih dari maksimal, sehingga per-nya melengkung dan patah, tidak kuat menambah beban.
Sampai di situ banyak manusia yang tidak percaya bahwa sesungguhnya ada hubungan antara perilaku alam dengan perilaku manusia. Sebagai sekedar contoh kecil misalnya, sebatang tanaman yang tumbuh di halaman rumah kita apabila tidak mendapatkan rawatan, maka tanaman itu akan mrana dan lama-kelamaan mati. Peristiwa perawatan menunjukkan bahwa manusia harus mempunyai, memberi, dan melayani kasih kepada tanaman tersebut seperti halnya juga Tuhan memberi kasih setiap saat kepada alam semesta. Tanpa kasih Tuhan jagat raya berserta isinya tidak terwujud dan hidup.
Dalam kenyataan di dunia sekarang banyak orang beragama tapi sayangnya banyak terjadi terorisme, bom-boman, perang, perlombaan senjata, pertentangan ideologi, dan sebagainya, ini semua menunjukkan bahwa sekalipun mereka
beragama, namun tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Mereka masih mengumbar bawa nafsu.
Hidup Berketuhanan Yang Maha Esa baru terselenggara secara baik kalau sudah terjadi perilaku saling menolong, tidak ada permusuhan, tidak ada pertentangan, kelas, tidak ada kerusuhan, apalagi peperangan yang ada hanyalah perdamaian, persaudaraan, keamanan, kesejahteraan, kebahagiaan, keselamatan, dan kenyamanan sejati.
Oleh sebab itu, dalam hidup ini yang amat penting adalah Berketuhanan Yang Maha Esa, tidak lainnya.
Comments
Post a Comment