Saminisme
inti saminisme adalah gerakan perlawanan terhadap perluasan lahan kebun
jati di jaman Belanda (kapitalisme). apakah kontekstual dengan kondisi
sekarang, semisal ada gerakan semacam ini?
coba info dari wikipedia ini, di simak. siapa tau ada gagasan baru.........
tJong
Asal ajaran Saminisme
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah
kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara
fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban
yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak
membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka
membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
[sunting]
Tokoh perintis ajaran Samin
Perintis ajaran ini adalah Samin Surosentiko /Surosentika atau disebut
singkat Samin. Lahir di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung pada tahun 1859
dan meninggal tahun 1914 (saat diasingkan ke kota Padang, Sumatra Barat).
Ia adalah seorang buta aksara.
[sunting]
Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
Tersebar pertamakali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890
pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung,
Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar
ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan
di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar
perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora
dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah
terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles
(1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan, orang Samin
seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah
[[Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang
Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di
Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan
yang terbanyak di Tapelan.
[sunting]
Wong Sikep
Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan “Wong Samin” sebab
sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok
orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal
aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering mencuri
kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para
pengikut Saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep”, artinya orang yang
bertanggung jawab sebutan untuk orang yang berkonotasi baik dan jujur.
[sunting]
Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
* tidak bersekolah,
* tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang
diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu,
* tidak berpoligami,
* tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
* tidak berdagang.
* penolakan terhadap kapitalisme.
[sunting]
Pokok-pokok ajaran Saminisme
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
* Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak
membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah
mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dlam
hidupnya.
* Jangan menggangu orang, jangan bertengkar, jangan suka irihati dan
jangan suka mengambil milik orang.
* Bersikap sabar dan jangan sombong.
* Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama
dengan roh dan hanya satu dibawa abadi selamanya.Menurut orang Samin,
roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan
pakaiannya.
* Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling
menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam
perdagangan ada unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima
sumbangan dalam bentuk uang.
[sunting]
Kitab Suci Orang Samin
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama,
orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat
Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer
Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit,
Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan
dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati)
ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional
kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah
negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen
kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar
trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."
[sunting]
Riwayat hidup Samin
Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso
Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya
atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab
Samin adalah sebuah nama yang bernafas wong cilik. Samin Surosentiko masih
mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan
Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi
daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826.
Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah
Klopoduwur, Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah
banyak orang menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah Kolonial Belanda
menganggap sepi ajaran tersebut. Cuma dianggap sebagai ajaran kebatinan
atau agama baru yang remeh temeh belaka.
Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin
yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka
giat mengembangkan ajaran Samin. Pada 1907, pengikut Samin sudah berjumlah
sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak
pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai
Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari
sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh asisten
Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya, Samin
lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatra Barat), dan meninggal
di Padang pada 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin.
Pada 1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di
Madiun, mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar pajak kepada
pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang
keluar Jawa.
Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu
pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan
ajaran Samin di kawasan Kajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah
Jatirogo, Kabupaten Tuban, namun gagal.
Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda
menaikkan pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan
dan penolakan dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan
uang pada petugas pajak, "Iki duwite sopo?" (bahasa Jawa: Ini uangnya
siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, "Yo duwitmu" (bahasa Jawa: Ya
uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan uang itu ke sakunya
sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin misalnya di daerah Purwodadi dan
di Balerejo, Madiun, sudah tidak lagi menghormati pamong Desa, polisi, dan
aparat pemerintah yang lain.
Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang
Janur, mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa
Larangan, Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat
desa dan polisi sebagai badut-badut belaka.
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah,
dengan tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin
gencar dilakukan pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin.
Pada tahun 1914 ini akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di
Sumatra Barat. Namun teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda
terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini, sekitar tahun 1930-an,
perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan
terhenti.
[sunting]
Sikap Orang Samin
Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin
tetap menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. oleh karenanya,
ketika menikah, mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan
Agama/(KUA) atau di catatan sipil.
Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi
kritis.
[sunting]
Bahasa Orang Samin
Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai
adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari
bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
[sunting]
Pakaian Orang Samin
Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai
krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita
bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut
atau di atas mata kaki.
[sunting]
Sistem kekerabatan
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan dengan
kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya
sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau
generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin
terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan
masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada
saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.
[sunting]
Pernikahan bagi orang Samin
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan
itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk
menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki
diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “
Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang
perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah
kami jalani berdua.”
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada
pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan
hanya orang tua pengantin.
Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai
berikut (dalam Bahasa Jawa):
Basa Jawa Terjemahan
“Saha malih dadya garan, "Maka yang dijadikan pedoman,
anggegulang gelunganing pembudi, untuk melatih budi yang ditata,
palakrama nguwoh mangun, pernikahan yang berhasilkan bentuk,
memangun traping widya, membangun penerapan ilmu,
kasampar kasandhung dugi prayogântuk, terserempet, tersandung sampai
kebajikan yang dicapai,
ambudya atmaja 'tama, bercita-cita menjadi anak yang mulia,
mugi-mugi dadi kanthi.” mudah-mudahan menjadi tuntunan."
[sunting]
Sikap terhadap lingkungan
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka
memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak
pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin
yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka
ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka.
Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan
sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam)
mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau.
Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak
tergantung pada pemakainya.
[sunting]
Pemukiman
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan
rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat
dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah
berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan,
kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih
tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur.
Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa
keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.
[sunting]
Upacara dan tradisi
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran
(bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang
banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan
dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan
kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.
[sunting]
Masyarakat Samin saat ini
Sekalipun masyarakat Samin berusaha mempertahankan tradisi namun tidak
urung pengaruh kemajuan jaman juga mempengaruhi mereka. Misalnya pemakaian
traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, alat-alat rumah tangga dari
plastik, aluminium dan lain nya. Yang diharapkan tidak hilang terpupus
zaman adalah nilai-nilai positif atau kearifan lokal yang telah ada pada
masyarakat Samin tersebut, misal kejujuran dan kearifannya dalam memakai
alam, semangat gotong royong dan saling menolong yang masih tinggi.
[sunting]
Referensi
* Judul Buku : Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten
Blora Jawa Tengah
* Penulis : Dra. Titi Mumfangati, dkk
* Penerbit : Jarahnitra, 2004, Yogyakarta
* Halaman : xiii + 164
http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/26443
jati di jaman Belanda (kapitalisme). apakah kontekstual dengan kondisi
sekarang, semisal ada gerakan semacam ini?
coba info dari wikipedia ini, di simak. siapa tau ada gagasan baru.........
tJong
Asal ajaran Saminisme
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah
kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara
fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban
yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak
membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka
membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
[sunting]
Tokoh perintis ajaran Samin
Perintis ajaran ini adalah Samin Surosentiko /Surosentika atau disebut
singkat Samin. Lahir di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung pada tahun 1859
dan meninggal tahun 1914 (saat diasingkan ke kota Padang, Sumatra Barat).
Ia adalah seorang buta aksara.
[sunting]
Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
Tersebar pertamakali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890
pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung,
Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar
ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan
di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar
perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora
dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah
terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles
(1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan, orang Samin
seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah
[[Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang
Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di
Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan
yang terbanyak di Tapelan.
[sunting]
Wong Sikep
Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan “Wong Samin” sebab
sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok
orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal
aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering mencuri
kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para
pengikut Saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep”, artinya orang yang
bertanggung jawab sebutan untuk orang yang berkonotasi baik dan jujur.
[sunting]
Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
* tidak bersekolah,
* tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang
diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu,
* tidak berpoligami,
* tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
* tidak berdagang.
* penolakan terhadap kapitalisme.
[sunting]
Pokok-pokok ajaran Saminisme
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
* Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak
membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah
mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dlam
hidupnya.
* Jangan menggangu orang, jangan bertengkar, jangan suka irihati dan
jangan suka mengambil milik orang.
* Bersikap sabar dan jangan sombong.
* Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama
dengan roh dan hanya satu dibawa abadi selamanya.Menurut orang Samin,
roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan
pakaiannya.
* Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling
menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam
perdagangan ada unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima
sumbangan dalam bentuk uang.
[sunting]
Kitab Suci Orang Samin
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama,
orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat
Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer
Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit,
Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan
dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati)
ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional
kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah
negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen
kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar
trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."
[sunting]
Riwayat hidup Samin
Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso
Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya
atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab
Samin adalah sebuah nama yang bernafas wong cilik. Samin Surosentiko masih
mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan
Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi
daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826.
Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah
Klopoduwur, Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah
banyak orang menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah Kolonial Belanda
menganggap sepi ajaran tersebut. Cuma dianggap sebagai ajaran kebatinan
atau agama baru yang remeh temeh belaka.
Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin
yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka
giat mengembangkan ajaran Samin. Pada 1907, pengikut Samin sudah berjumlah
sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak
pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai
Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari
sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh asisten
Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya, Samin
lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatra Barat), dan meninggal
di Padang pada 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin.
Pada 1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di
Madiun, mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar pajak kepada
pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang
keluar Jawa.
Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu
pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan
ajaran Samin di kawasan Kajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah
Jatirogo, Kabupaten Tuban, namun gagal.
Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda
menaikkan pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan
dan penolakan dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan
uang pada petugas pajak, "Iki duwite sopo?" (bahasa Jawa: Ini uangnya
siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, "Yo duwitmu" (bahasa Jawa: Ya
uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan uang itu ke sakunya
sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin misalnya di daerah Purwodadi dan
di Balerejo, Madiun, sudah tidak lagi menghormati pamong Desa, polisi, dan
aparat pemerintah yang lain.
Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang
Janur, mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa
Larangan, Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat
desa dan polisi sebagai badut-badut belaka.
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah,
dengan tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin
gencar dilakukan pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin.
Pada tahun 1914 ini akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di
Sumatra Barat. Namun teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda
terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini, sekitar tahun 1930-an,
perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan
terhenti.
[sunting]
Sikap Orang Samin
Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin
tetap menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. oleh karenanya,
ketika menikah, mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan
Agama/(KUA) atau di catatan sipil.
Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi
kritis.
[sunting]
Bahasa Orang Samin
Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai
adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari
bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
[sunting]
Pakaian Orang Samin
Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai
krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita
bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut
atau di atas mata kaki.
[sunting]
Sistem kekerabatan
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan dengan
kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya
sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau
generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin
terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan
masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada
saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.
[sunting]
Pernikahan bagi orang Samin
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan
itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk
menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki
diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “
Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang
perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah
kami jalani berdua.”
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada
pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan
hanya orang tua pengantin.
Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai
berikut (dalam Bahasa Jawa):
Basa Jawa Terjemahan
“Saha malih dadya garan, "Maka yang dijadikan pedoman,
anggegulang gelunganing pembudi, untuk melatih budi yang ditata,
palakrama nguwoh mangun, pernikahan yang berhasilkan bentuk,
memangun traping widya, membangun penerapan ilmu,
kasampar kasandhung dugi prayogântuk, terserempet, tersandung sampai
kebajikan yang dicapai,
ambudya atmaja 'tama, bercita-cita menjadi anak yang mulia,
mugi-mugi dadi kanthi.” mudah-mudahan menjadi tuntunan."
[sunting]
Sikap terhadap lingkungan
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka
memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak
pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin
yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka
ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka.
Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan
sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam)
mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau.
Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak
tergantung pada pemakainya.
[sunting]
Pemukiman
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan
rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat
dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah
berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan,
kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih
tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur.
Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa
keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.
[sunting]
Upacara dan tradisi
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran
(bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang
banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan
dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan
kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.
[sunting]
Masyarakat Samin saat ini
Sekalipun masyarakat Samin berusaha mempertahankan tradisi namun tidak
urung pengaruh kemajuan jaman juga mempengaruhi mereka. Misalnya pemakaian
traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, alat-alat rumah tangga dari
plastik, aluminium dan lain nya. Yang diharapkan tidak hilang terpupus
zaman adalah nilai-nilai positif atau kearifan lokal yang telah ada pada
masyarakat Samin tersebut, misal kejujuran dan kearifannya dalam memakai
alam, semangat gotong royong dan saling menolong yang masih tinggi.
[sunting]
Referensi
* Judul Buku : Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten
Blora Jawa Tengah
* Penulis : Dra. Titi Mumfangati, dkk
* Penerbit : Jarahnitra, 2004, Yogyakarta
* Halaman : xiii + 164
http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/26443
Comments
Post a Comment