Dr. Wahyono Raharjo: KAMI DIPAKSA MUNAFIK
KAMI DIPAKSA MUNAFIK | for everyone |
Dr. Wahyono Raharjo:
Wawancara | 24/07/2006
Setiap negara demokratis berupaya untuk menuntaskan pengakuannya atas hak-hak sipil setiap warga negara, tanpa diskriminasi apa pun. Kebebasan tiap-tiap warga negara untuk beragama dan berkeyakinan menurut apa yang mereka inginkan, dijamin oleh konstitusi sebuah negara demokratis. Bagaimana nasib hak-hak sipil kaum penghayat kepercayaan di Indonesia? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Ketua Umum Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (BPKBB), Dr. Wahyono Raharjo
Setiap negara demokratis berupaya untuk menuntaskan pengakuannya atas hak-hak sipil setiap warga negara, tanpa diskriminasi apa pun. Kebebasan tiap-tiap warga negara untuk beragama dan berkeyakinan menurut apa yang mereka inginkan, dijamin oleh konstitusi sebuah negara demokratis. Bagaimana nasib hak-hak sipil kaum penghayat kepercayaan di Indonesia? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Ketua Umum Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (BPKBB), Dr. Wahyono Raharjo, yang menganut aliran Kapribaden, Kamis (13/7) lalu.
NOVRIANTONI (JIL): Pak Wahyono, Indonesia punya konstitusi yang konon menjamin kebebasan tiap-tiap individu untuk memeluk agama dan kepercayaan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Bagaimana kaum penghayat memaknai jaminan konstitusional itu?
DR. WAHYONO RAHARJO: Pada saat UUD ’45 disusun, kita tahu ada serombongan utusan dari saudara-saudara kita dari Indonesia bagian timur yang keberatan bergabung dengan Indonesia kalau Piagam Jakarta dimasukkan menjadi UUD. Karena itu, Prof. AG Pringgodigdo dan Mr. KRMT Wongsonegoro pernah mengatakan, sebagian rakyat Indonesia memang tidak menggunakan cara dan jalan salah satu agama yang ada di Indonesia dalam berketuhanan, tapi lewat jalur kepercayaan. Itulah yang kemudian melahirkan pasal 29 ayat 2 UUD ‘45. Tapi dalam sejarahnya, kalimat “kepercayaannya” yang tertuang dalam UUD itu sering dipelintir atau dibelokkan, seolah-olah mengacu pada kepercayaan agama tertentu. Jadi, kalimat itu dimaknai bahwa setiap warga negara berhak beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan agamanya itu.
Di situlah letak masalahnya. Sebab naskah-naskah paling awal tentang ayat itu, jelas-jelas menunjukkan bahwa frase “kepercayaan” dan “kepercayaan agamanya” itu dua hal yang berbeda makna. Kesimpulan itu sudah pernah disampaikan oleh penelitian yang dilakukan BP7. Untuk keperluan itu, kami kaum penghayat, sejak 1970 sudah mengadakan simposium di Jogjakarta. Kami mendatangkan para pelaku sejarah pembuatan UUD ’45 untuk bercerita tentang sejarah munculnya pasal 29. Nah, dalam pengamatan kami, sebetulnya pasal yang mengakui eksistensi kami itu sudah sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sebab, semua deklarasi dan konvenan HAM internasional selalu menyebut atau membedakan dua hal, yaitu religion (agama) dan juga believe (kepercayaan).
Nah, kedua hal itu harus dibedakan, bukan dicakup dalam agama tertentu. Sebab nenek moyang kita dulu juga sudah punya konsep ketuhanan sendiri, di luar agama-agama yang ada kemudian. Mereka juga sudah sangat toleran. Sebab, bagi mereka, agama dan keyakinan apapun, pada prinsipnya sama-sama menawarkan hal-hal baik. Karena itu, dalam sejarah Indonesia, tidak pernah ada agama atau kepercayaan yang masuk dengan cara-cara peperangan. Itulah bukti begitu tolerannya bangsa Indonesia di zaman dulu.
JIL: Bagi kaum penghayat, Pasal 29 UUD ’45 itu tentu jaminan konstitusional bagi kesetaraan perlakuan negara dalam soal agama dan keyakinan. Tapi bagaimana kebijakan pemerintah di lapangan terhadap kaum penghayat?
Sejak 1973, kami telah berjuang agar aspek kepercayaan ini masuk di dalam Tap MPR. Kami juga berjuang terus, dimulai sejak 1978, agar aspek ini juga masuk dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN). Karena dulu sudah masuk GBHN, kami menghadap presiden untuk meminta diadakannya instansi khusus yang mengurusi persoalan kami. Di era Presiden Soeharto, ada instansi yang bernama Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan. Tapi setelah reformasi, nama itu diganti menjadi Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Jadi namanya lebih dipertegas. Dan instansi ini sampai sekarang masih ada. Melalui instansi ini, semua bentuk kepercayaan diinventarisir dan didaftar. Masing-masing mengemukakan ajarannya secara bergiliran untuk dinilai oleh utusan agama-agama dan cendekiawan dari berbagai universitas negeri.
Dari situ, yang dinilai baik akan dinyatakan sah dan boleh dikembangkan di Indonesia. Detail ajarannya dibukukan dan diterbitkan oleh pemerintah untuk diketahui khalayak. Lalu, dengan adanya Undang-undang No.8/1985, organisasi-organisasi kepercayaan juga diperlakukan seperti organisasi kemasyarakatan lain. Kita diwajibkan mendaftar ke Depdagri. Lalu lewat pengumuman lembaran negara via televisi, surat kabar, dll., akan diumumkan mana organisasi yang sah menurut undang-undang, dan mana yang tidak sah. Jadi keberadaan kami sudah diakui, namun hak-hak sipil kami masih tetap dipasung.
JIL: Hak-hak sipil seperti apa yang masih dipasung?
Dimulai dari hak menyatakan diri secara jujur di dalam kolom isian KTP. Dulu, kolom isian KTP kita memuat kata ”agama/kepercayaan”. Tapi dalam perkembangannya, kata ”kepercayaan” dihilangkan. Di kolom itu hanya ada kata ”agama”. Dengan begitu, kami sudah tidak bisa lagi menyatakan identitas keyakinan kami. Lalu ada juga persoalan di dalam aspek perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 serta peraturan pemerintah yang menjadi petunjuk pelaksanaannya, jelas sekali didisebutkan adanya agama dan juga kepercayaan. Jadi di situ kami sebenarnya sudah diakui. Waktu itu, kami dari kalangan penghayat tetap dicatatkan pernikahannya oleh jawatan catatan sipil.
Tapi sejak 1984, Direktur Jendral Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah yang dulu bernama Dirjenpuot, mengeluarkan edaran dengan alasan yang sangat politis untuk menunda pencatatan perkawinan kalangan penghayat. Itu merupakan intruksi tertulis bagi petugas catatan sipil agar petugas di lapangan membatasi diri untuk mencatatkan perkawinan mereka yang beragama formal saja. Sampai sekarang, kami masih memperjuangkan kembalinya hak-hak kami yang setara dengan lainnya, tapi belum juga berhasil.
Beberapa waktu lalu, kami membawa kasus ini ke Komnas HAM dan LBH DKI Jakarta. Sebab di beberapa daerah seperti Cilacap, sampai kini ada sekitar 100-an pasang keluarga yang perkawinannya tak tercatat. Dengan begitu, anak-anak mereka tidak berhak mendapat Akte Kelahiran. Konsekuensinya, mereka dipersulit menyekolahkan anaknya karena selalu diminta Akte Kelahiran. Perwakilan dari mereka kami ajak ke Jakarta untuk memberitahu duduk persoalannya. Mereka datang dengan kesaksian, sampai nangis-nangis di Komnas HAM. Di tempat lain seperti Kebumen, ada juga 30-an pasangan yang kami jadikan sampel kasus untuk dibawa ke Jakarta. Itu baru dari dua daerah. Saya perkirakan, kasus seperti itu banyak sekali terjadi di seluruh Indonesia.
Jadi, kami dari kalangan penghayat mengalami diskriminasi sejak proses pengurusan Akte Kelahiran sampai akte kematian. Sebab, dalam kasus kematian juga ada akte dari catatan sipil kan? Tanpa itu, saat proses pemakaman, walau di pemakaman umum milik negara, kami selalu ditolak.
JIL: Banyak sekali hak-hak sipil kaum penghayat yang masih diabaikan. Sejauh ini apa yang sudah dilakukan?
Untuk menuntut pengakuan hak-hak sipil, saya pribadi sudah berjuang selama 40 tahun. Beberapa waktu lalu, dalam rakor antar departemen pemerintah, kami menuntut pemerintah agar meratifikasi beberapa konvenan tentang hak-hak sipil dan politik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kita bersyukur, sekarang kovenan itu sudah diratifikasi. Sebab di situ jelas-jelas sudah dibedakan antara religion dan believe. Jadi dengan diratifikasinya kovenan itu, kami berharap hak-hak sipil, selain hak keberadaan kami, diakui.
Karena itu, BKPBB sekarang juga telah menyiapkan petisi yang akan kami sampaikan kepada DPR dan pemerintah. Petisi itu berisi permintaan agar deklarasi PBB tentang penghapusan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi yang didasarkan pada agama atau kepercayaan, juga diratifikasi pemerintah dan DPR. Kalau itu sudah diratifikasi, maka kita akan otomatis terikat untuk tidak membuat peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan itu.
JIL: Apakah perkembangan sosial-politik Indonesia saat ini memungkinkan pengakuan eksistensi dan hak-hak sipil kaum penghayat atau justru akan mempersulit?
Sebagai penghayat, kami tentu tetap harus optimis. Kami selalu meyakini bahwa Tuhan itu Mahaadil. Jadi suatu saat, apapun jalannya, kami akan mendapatkan hak-hak kami. Tapi kalau dianalisis secara lahiriah, kami juga sangat prihatin dengan perkembangan sosial-politik bangsa kita saat ini. Jangankan pada kami yang sudah lama mengalami diskriminasi, antara kelompok satu dengan lain saja, kini malah saling mematikan dan mendiskriminasi. Itulah mengapa BPKBB tetap berjuang meminta ratifikasi atas deklarasi dan kovenan-kovenan PBB. Namun bagi kami, masih ada persoalan lain. Kadangkala hak kami diakui di atas kertas, tapi tetap ada diskriminasi di lapangan.
JIL: Mengapa kovenan-kovenan internasional itu dianggap begitu pentingnya?
Karena undang-undang kita hanya menjadi dasar yang tidak rinci, sehingga pada tahap pelaksanaannya sering mengalami multitafsir. Ini berbeda dengan kovenan-kovenan internasional itu. Dalam kovenan atau beberapa deklarasi HAM internasional itu, pasal-pasalnya sangat terperinci, sampai ke soal pendidikan anak dan lain sebagainya. Jadi poin-poinnya sudah sangat jelas.
JIL: Tapi dalam pelaksanaannya kan tetap butuh kearifan lokal masyarakat dalam menghadapi perbedaan agama dan keyakinan...
Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa sudah beberapa tahun ini mengadakan pertemuan rutin untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal yang perlu ditumbuhkan di masyarakat. Tapi ini semua makan proses, walaupun perjuangan kami juga butuh proses. Tapi ada fakta lain di mana pemerintahan sebetulnya di dalam banyak hal lebih berposisi sebagai penguasa, bukan pelayan rakyat. Jadi, cara-cara mengandalkan kekuasaan selalu membuat perjuangan kita mental kalau menggunakan satu strategi saja. Karena itu, kearifan lokal dalam bentuk toleransi masyarakat dalam perbedaan, perlu, tapi kovenan-kovenan internasional itu juga perlu, karena kita hidup di era globalisasi.
Sebab itu, kalau kita gembar-gembor ingin sebuah negara demokratis, mestinya kita mencontoh tetangga dekat kita seperti India. Di sana, kaum minoritas secara teoritis diakui keberadaannya, dan bahkan mereka bisa sampai pada jabatan puncak di pemerintah. Namun, yang kita inginkan bukan hanya kesetaraan teoretis yang tercantum dalam perundang-undangan, tapi juga bentuk pelaksanaan yang konsisten atas undang-undang itu di lapangan.
JIL: Nanti butuh pengakuan atas rumah ibadah kaum penghayat juga?
Soal ibadah, tiap agama dan kepercayaan punya cara-caranya sendiri. Pada umumnya, kaum penghayat kepercayaan berkumpul di tempat sesepuhnya untuk beribadah. Jadi tempat ibadahnya di rumah-rumah. Mungkin ini tak berbeda dengan majlis taklim-majlis taklim saudara-saudara muslim yang tidak dilaksanakan di masjid. Di rumah, mereka juga bisa beribadah. Karena itu, kebebasan beribadah sangat kami dambakan untuk semua, bukan hanya buat kaum penghayat.
JIL: Ada hambatan dari masyarakat seperti ormas-ormas tertentu dalam perjuangan Anda?
Kami tetap optimis perjuangan ini akan didukung publik yang luas. Saya yakin, yang menghambat hak asasi kami sebenarnya hanya sebagian kecil komponen bangsa ini. Sebab, sebagian besar warga Indonesia, meski berbeda keyakinan, sangat toleran. Itu tercermin dari berbagai respon yang kami terima dari berbagai kalangan. Saya ingat, semasa kecil di desa, orang tidak pernah menyoal keyakinan orang lain, dan mereka bisa hidup bersama secara rukun. Yang Islam ngebangun masjid, yang Kristen ikut bantu. Nanti giliran gereja dibangun, yang Islam juga ikut bantu. Kenapa kerukunan itu kini hilang? Inilah yang harus kita pikirkan agar bangsa ini tetap kuat.
JIL: Ada peran rezim otoriter Soeharto dalam menghambat pengakuan hak-hak sipil kaum penghayat saat ini?
Antara lain itu, karena kehidupan beragama dan berkepercayaan di negeri ini selalu dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Itu dulunya ditambah pula dengan trauma G30S/PKI, sehingga banyak orang asal mengaku soal agamanya, karena takut dicap PKI. Karena itu, banyak sekali kaum penghayat yang sampai kini ber-KTP Islam atau Kristen. Kalau tidak begitu, bagaimana mereka mau kawin?! Apa boleh buat, untuk kepentingan pragmatis, mereka terpaksa mengaku sebagai penganut salah satu agama. Tapi yang sebenarnya menyedihkan bagi saya, kok kami dipaksa menjadi orang yang munafik?! Kalau bangsa ini terus-menerus dididik untuk munafik, apa jadinya negeri ini kelak?!
Kalau ada yang mengajurkan kaum penghayat agar masuk salah satu agama yang ada saja, gimana?
Soal ini pernah kami dialogkan dengan Bapak Ruhut Sitompul. Komentarnya waktu itu: kalau saya yang Kristen diminta untuk masuk agama lain, karena agama saya tidak diakui, tentu saya tidak mau. Pertanyaan itu bisa juga dibalik untuk yang meminta itu; kenapa tidak masuk agama selain yang dianutnya kini? Jadi, ini soal keyakinan; karena itu penyelesaiannya tidak bisa semudah itu.
Tapi saya pernah mendengar saudara dan teman-teman tokoh muslim mengatakan, bahkan Nabi Muhammad pun pernah ditegur Tuhan agar tidak terlalu terobsesi untuk mengislamkan semua orang. Katanya, Tuhan menegur bahwa itu bukan sesuatu yang Aku (Tuhan) kehendaki. Sebab kalau Saya (Tuhan, Red) menghendaki, semua orang akan Islam, dan seluruh dunia tentu Islam. Mungkin saya salah memahami ungkapan mereka. Tapi yang jelas, itu saya dapatkan dari cerita-cerita tokoh lintasagama juga. Sebab di Badan Perjuangan kami, semua kelompok lintasagama ada. Jadi, Tuhan ternyata juga tidak menghendaki penunggalan agama dan kepercayaan secara paksa.
JIL: Menurut pengalaman Anda, kelompok mana saja yang biasanya menghalangi pengakuan penuh atas hak-hak sipil kaum penghayat Indonesia?
Saya tidak tahu apa yang ada dalam hati setiap orang beragama. Tapi dari pengalaman di setiap sidang MPR dulu, selalu ada demonstrasi yang menetang keras pengakuan hak-hak sipil kami. Dan kebetulan, orang atau kelompok Islam tertentulah yang paling keras menentang. Mereka minta pengakuan atas kami di dalam GBHN dihapus lagi. Ketika mengatakan orang Islam, saya tidak menyebut itu ulah semua orang Islam, karena banyak juga dukungan dari tokoh-tokoh Islam yang demokrat.
Namun di sisi lain, saya juga pernah membaca laporan Kompas bahwa sidang Keuskupan Katolik pernah mengusulkan agar perkawinan campur kaum penghayat dengan Katolik diizinkan lagi. Selain itu, pengalaman saya sebagai penganut kepercayaan Kapribaden membuktikan bahwa ribuan warga kami di Bali tidak pernah mendapat gangguan dari para tokoh Hindu.
JIL: Saya tidak tahu apakah Tuhan saya dengan Tuhan Anda sama, toh sama-sama belum pernah ketemu. Tapi bagaimana pandangan kalangan penghayat tentang konsep ketuhanan?
Sepengetahuan saya, karena manusia itu banyak salahnya, setiap hari kita harus memohon ampun Tuhan. Jadi, apa yang kami lakukan tiap harinya adalah berusaha makin mendekat, dan kalau bisa, bertemu dengan Tuhan. Sepengetahuan saya, agama dan kepercayaan apapun mengajarkan manusia untuk menjadi orang yang baik dan bermoral. Lalu tanggung jawab siapakah urusan internalisasi nilai-nilai kebajikan dan moralitas itu? Kalau di kepercayaan, itu tanggung jawab para sesepuh. Dalam agama-agama, itu tanggung jawab ulama-ulama.
Tapi yang agak aneh belakangan ini, mengapa tanggung jawab itu hendak dilemparkan ke pemerintah dengan anjuran membikin aturan macam-macam? Apakah itu berarti kami-kami ini sudah menyerah total? Bagi saya, kalau soal moral, kembalikan saja kepada masyarakat. Karena itu, marilah para ulama atau pemimpin masyarakat berkumpul. Kita sama-sama introspeksi untuk tahu apa kesalahan kita, sehingga kita gagal membimbing umat.
Dengan introspeksi tentang itu, kita mudah-mudahan berhasil membentuk umat yang bermoral. Sehingga bangsa ini tidak hancur karena moralnya rusak. Saya yakin, tidak ada bangsa yang hancur karena angkatan perang yang lemah. Tapi kalau moralnya rusak, mereka hancur. Sejarah dunia membuktikan demikian, sejak zaman Romawi, Napoleon, dan juga Hitler. Negara seperti Swiss yang angkatan perangnya cukup lemah, tetap bisa berjaya walaupun kecil.
JIL: Apakah perjuangan BPKBB dalam beberapa tahun ke depan akan menemui titik terang?
Kami selalu menginginkan demikian. Hak-hak sipil yang tercantum dalam kovenan internasional, sekarang sudah diratifikasi. Mudah-mudahan tren baik itu seterusnya akan begitu. Tentu saja kami tetap berupaya membangun jaringan, sehingga makin banyak misi dan visi kita yang bisa digerakkan bersama. Sebab, kalau hak manusia yang paling asasi, yaitu hak berkeyakinan, belum dijamin penuh oleh negara, bagaimana dengan hak-hak lainnya?! []
Referensi: http://www.google.co.id/search?hl=id&q=penghayat&btnG
copy from http://mkbi.multiply.com/reviews/item/21
Wawancara | 24/07/2006
Setiap negara demokratis berupaya untuk menuntaskan pengakuannya atas hak-hak sipil setiap warga negara, tanpa diskriminasi apa pun. Kebebasan tiap-tiap warga negara untuk beragama dan berkeyakinan menurut apa yang mereka inginkan, dijamin oleh konstitusi sebuah negara demokratis. Bagaimana nasib hak-hak sipil kaum penghayat kepercayaan di Indonesia? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Ketua Umum Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (BPKBB), Dr. Wahyono Raharjo
Setiap negara demokratis berupaya untuk menuntaskan pengakuannya atas hak-hak sipil setiap warga negara, tanpa diskriminasi apa pun. Kebebasan tiap-tiap warga negara untuk beragama dan berkeyakinan menurut apa yang mereka inginkan, dijamin oleh konstitusi sebuah negara demokratis. Bagaimana nasib hak-hak sipil kaum penghayat kepercayaan di Indonesia? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Ketua Umum Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (BPKBB), Dr. Wahyono Raharjo, yang menganut aliran Kapribaden, Kamis (13/7) lalu.
NOVRIANTONI (JIL): Pak Wahyono, Indonesia punya konstitusi yang konon menjamin kebebasan tiap-tiap individu untuk memeluk agama dan kepercayaan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Bagaimana kaum penghayat memaknai jaminan konstitusional itu?
DR. WAHYONO RAHARJO: Pada saat UUD ’45 disusun, kita tahu ada serombongan utusan dari saudara-saudara kita dari Indonesia bagian timur yang keberatan bergabung dengan Indonesia kalau Piagam Jakarta dimasukkan menjadi UUD. Karena itu, Prof. AG Pringgodigdo dan Mr. KRMT Wongsonegoro pernah mengatakan, sebagian rakyat Indonesia memang tidak menggunakan cara dan jalan salah satu agama yang ada di Indonesia dalam berketuhanan, tapi lewat jalur kepercayaan. Itulah yang kemudian melahirkan pasal 29 ayat 2 UUD ‘45. Tapi dalam sejarahnya, kalimat “kepercayaannya” yang tertuang dalam UUD itu sering dipelintir atau dibelokkan, seolah-olah mengacu pada kepercayaan agama tertentu. Jadi, kalimat itu dimaknai bahwa setiap warga negara berhak beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan agamanya itu.
Di situlah letak masalahnya. Sebab naskah-naskah paling awal tentang ayat itu, jelas-jelas menunjukkan bahwa frase “kepercayaan” dan “kepercayaan agamanya” itu dua hal yang berbeda makna. Kesimpulan itu sudah pernah disampaikan oleh penelitian yang dilakukan BP7. Untuk keperluan itu, kami kaum penghayat, sejak 1970 sudah mengadakan simposium di Jogjakarta. Kami mendatangkan para pelaku sejarah pembuatan UUD ’45 untuk bercerita tentang sejarah munculnya pasal 29. Nah, dalam pengamatan kami, sebetulnya pasal yang mengakui eksistensi kami itu sudah sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sebab, semua deklarasi dan konvenan HAM internasional selalu menyebut atau membedakan dua hal, yaitu religion (agama) dan juga believe (kepercayaan).
Nah, kedua hal itu harus dibedakan, bukan dicakup dalam agama tertentu. Sebab nenek moyang kita dulu juga sudah punya konsep ketuhanan sendiri, di luar agama-agama yang ada kemudian. Mereka juga sudah sangat toleran. Sebab, bagi mereka, agama dan keyakinan apapun, pada prinsipnya sama-sama menawarkan hal-hal baik. Karena itu, dalam sejarah Indonesia, tidak pernah ada agama atau kepercayaan yang masuk dengan cara-cara peperangan. Itulah bukti begitu tolerannya bangsa Indonesia di zaman dulu.
JIL: Bagi kaum penghayat, Pasal 29 UUD ’45 itu tentu jaminan konstitusional bagi kesetaraan perlakuan negara dalam soal agama dan keyakinan. Tapi bagaimana kebijakan pemerintah di lapangan terhadap kaum penghayat?
Sejak 1973, kami telah berjuang agar aspek kepercayaan ini masuk di dalam Tap MPR. Kami juga berjuang terus, dimulai sejak 1978, agar aspek ini juga masuk dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN). Karena dulu sudah masuk GBHN, kami menghadap presiden untuk meminta diadakannya instansi khusus yang mengurusi persoalan kami. Di era Presiden Soeharto, ada instansi yang bernama Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan. Tapi setelah reformasi, nama itu diganti menjadi Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Jadi namanya lebih dipertegas. Dan instansi ini sampai sekarang masih ada. Melalui instansi ini, semua bentuk kepercayaan diinventarisir dan didaftar. Masing-masing mengemukakan ajarannya secara bergiliran untuk dinilai oleh utusan agama-agama dan cendekiawan dari berbagai universitas negeri.
Dari situ, yang dinilai baik akan dinyatakan sah dan boleh dikembangkan di Indonesia. Detail ajarannya dibukukan dan diterbitkan oleh pemerintah untuk diketahui khalayak. Lalu, dengan adanya Undang-undang No.8/1985, organisasi-organisasi kepercayaan juga diperlakukan seperti organisasi kemasyarakatan lain. Kita diwajibkan mendaftar ke Depdagri. Lalu lewat pengumuman lembaran negara via televisi, surat kabar, dll., akan diumumkan mana organisasi yang sah menurut undang-undang, dan mana yang tidak sah. Jadi keberadaan kami sudah diakui, namun hak-hak sipil kami masih tetap dipasung.
JIL: Hak-hak sipil seperti apa yang masih dipasung?
Dimulai dari hak menyatakan diri secara jujur di dalam kolom isian KTP. Dulu, kolom isian KTP kita memuat kata ”agama/kepercayaan”. Tapi dalam perkembangannya, kata ”kepercayaan” dihilangkan. Di kolom itu hanya ada kata ”agama”. Dengan begitu, kami sudah tidak bisa lagi menyatakan identitas keyakinan kami. Lalu ada juga persoalan di dalam aspek perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 serta peraturan pemerintah yang menjadi petunjuk pelaksanaannya, jelas sekali didisebutkan adanya agama dan juga kepercayaan. Jadi di situ kami sebenarnya sudah diakui. Waktu itu, kami dari kalangan penghayat tetap dicatatkan pernikahannya oleh jawatan catatan sipil.
Tapi sejak 1984, Direktur Jendral Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah yang dulu bernama Dirjenpuot, mengeluarkan edaran dengan alasan yang sangat politis untuk menunda pencatatan perkawinan kalangan penghayat. Itu merupakan intruksi tertulis bagi petugas catatan sipil agar petugas di lapangan membatasi diri untuk mencatatkan perkawinan mereka yang beragama formal saja. Sampai sekarang, kami masih memperjuangkan kembalinya hak-hak kami yang setara dengan lainnya, tapi belum juga berhasil.
Beberapa waktu lalu, kami membawa kasus ini ke Komnas HAM dan LBH DKI Jakarta. Sebab di beberapa daerah seperti Cilacap, sampai kini ada sekitar 100-an pasang keluarga yang perkawinannya tak tercatat. Dengan begitu, anak-anak mereka tidak berhak mendapat Akte Kelahiran. Konsekuensinya, mereka dipersulit menyekolahkan anaknya karena selalu diminta Akte Kelahiran. Perwakilan dari mereka kami ajak ke Jakarta untuk memberitahu duduk persoalannya. Mereka datang dengan kesaksian, sampai nangis-nangis di Komnas HAM. Di tempat lain seperti Kebumen, ada juga 30-an pasangan yang kami jadikan sampel kasus untuk dibawa ke Jakarta. Itu baru dari dua daerah. Saya perkirakan, kasus seperti itu banyak sekali terjadi di seluruh Indonesia.
Jadi, kami dari kalangan penghayat mengalami diskriminasi sejak proses pengurusan Akte Kelahiran sampai akte kematian. Sebab, dalam kasus kematian juga ada akte dari catatan sipil kan? Tanpa itu, saat proses pemakaman, walau di pemakaman umum milik negara, kami selalu ditolak.
JIL: Banyak sekali hak-hak sipil kaum penghayat yang masih diabaikan. Sejauh ini apa yang sudah dilakukan?
Untuk menuntut pengakuan hak-hak sipil, saya pribadi sudah berjuang selama 40 tahun. Beberapa waktu lalu, dalam rakor antar departemen pemerintah, kami menuntut pemerintah agar meratifikasi beberapa konvenan tentang hak-hak sipil dan politik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kita bersyukur, sekarang kovenan itu sudah diratifikasi. Sebab di situ jelas-jelas sudah dibedakan antara religion dan believe. Jadi dengan diratifikasinya kovenan itu, kami berharap hak-hak sipil, selain hak keberadaan kami, diakui.
Karena itu, BKPBB sekarang juga telah menyiapkan petisi yang akan kami sampaikan kepada DPR dan pemerintah. Petisi itu berisi permintaan agar deklarasi PBB tentang penghapusan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi yang didasarkan pada agama atau kepercayaan, juga diratifikasi pemerintah dan DPR. Kalau itu sudah diratifikasi, maka kita akan otomatis terikat untuk tidak membuat peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan itu.
JIL: Apakah perkembangan sosial-politik Indonesia saat ini memungkinkan pengakuan eksistensi dan hak-hak sipil kaum penghayat atau justru akan mempersulit?
Sebagai penghayat, kami tentu tetap harus optimis. Kami selalu meyakini bahwa Tuhan itu Mahaadil. Jadi suatu saat, apapun jalannya, kami akan mendapatkan hak-hak kami. Tapi kalau dianalisis secara lahiriah, kami juga sangat prihatin dengan perkembangan sosial-politik bangsa kita saat ini. Jangankan pada kami yang sudah lama mengalami diskriminasi, antara kelompok satu dengan lain saja, kini malah saling mematikan dan mendiskriminasi. Itulah mengapa BPKBB tetap berjuang meminta ratifikasi atas deklarasi dan kovenan-kovenan PBB. Namun bagi kami, masih ada persoalan lain. Kadangkala hak kami diakui di atas kertas, tapi tetap ada diskriminasi di lapangan.
JIL: Mengapa kovenan-kovenan internasional itu dianggap begitu pentingnya?
Karena undang-undang kita hanya menjadi dasar yang tidak rinci, sehingga pada tahap pelaksanaannya sering mengalami multitafsir. Ini berbeda dengan kovenan-kovenan internasional itu. Dalam kovenan atau beberapa deklarasi HAM internasional itu, pasal-pasalnya sangat terperinci, sampai ke soal pendidikan anak dan lain sebagainya. Jadi poin-poinnya sudah sangat jelas.
JIL: Tapi dalam pelaksanaannya kan tetap butuh kearifan lokal masyarakat dalam menghadapi perbedaan agama dan keyakinan...
Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa sudah beberapa tahun ini mengadakan pertemuan rutin untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal yang perlu ditumbuhkan di masyarakat. Tapi ini semua makan proses, walaupun perjuangan kami juga butuh proses. Tapi ada fakta lain di mana pemerintahan sebetulnya di dalam banyak hal lebih berposisi sebagai penguasa, bukan pelayan rakyat. Jadi, cara-cara mengandalkan kekuasaan selalu membuat perjuangan kita mental kalau menggunakan satu strategi saja. Karena itu, kearifan lokal dalam bentuk toleransi masyarakat dalam perbedaan, perlu, tapi kovenan-kovenan internasional itu juga perlu, karena kita hidup di era globalisasi.
Sebab itu, kalau kita gembar-gembor ingin sebuah negara demokratis, mestinya kita mencontoh tetangga dekat kita seperti India. Di sana, kaum minoritas secara teoritis diakui keberadaannya, dan bahkan mereka bisa sampai pada jabatan puncak di pemerintah. Namun, yang kita inginkan bukan hanya kesetaraan teoretis yang tercantum dalam perundang-undangan, tapi juga bentuk pelaksanaan yang konsisten atas undang-undang itu di lapangan.
JIL: Nanti butuh pengakuan atas rumah ibadah kaum penghayat juga?
Soal ibadah, tiap agama dan kepercayaan punya cara-caranya sendiri. Pada umumnya, kaum penghayat kepercayaan berkumpul di tempat sesepuhnya untuk beribadah. Jadi tempat ibadahnya di rumah-rumah. Mungkin ini tak berbeda dengan majlis taklim-majlis taklim saudara-saudara muslim yang tidak dilaksanakan di masjid. Di rumah, mereka juga bisa beribadah. Karena itu, kebebasan beribadah sangat kami dambakan untuk semua, bukan hanya buat kaum penghayat.
JIL: Ada hambatan dari masyarakat seperti ormas-ormas tertentu dalam perjuangan Anda?
Kami tetap optimis perjuangan ini akan didukung publik yang luas. Saya yakin, yang menghambat hak asasi kami sebenarnya hanya sebagian kecil komponen bangsa ini. Sebab, sebagian besar warga Indonesia, meski berbeda keyakinan, sangat toleran. Itu tercermin dari berbagai respon yang kami terima dari berbagai kalangan. Saya ingat, semasa kecil di desa, orang tidak pernah menyoal keyakinan orang lain, dan mereka bisa hidup bersama secara rukun. Yang Islam ngebangun masjid, yang Kristen ikut bantu. Nanti giliran gereja dibangun, yang Islam juga ikut bantu. Kenapa kerukunan itu kini hilang? Inilah yang harus kita pikirkan agar bangsa ini tetap kuat.
JIL: Ada peran rezim otoriter Soeharto dalam menghambat pengakuan hak-hak sipil kaum penghayat saat ini?
Antara lain itu, karena kehidupan beragama dan berkepercayaan di negeri ini selalu dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Itu dulunya ditambah pula dengan trauma G30S/PKI, sehingga banyak orang asal mengaku soal agamanya, karena takut dicap PKI. Karena itu, banyak sekali kaum penghayat yang sampai kini ber-KTP Islam atau Kristen. Kalau tidak begitu, bagaimana mereka mau kawin?! Apa boleh buat, untuk kepentingan pragmatis, mereka terpaksa mengaku sebagai penganut salah satu agama. Tapi yang sebenarnya menyedihkan bagi saya, kok kami dipaksa menjadi orang yang munafik?! Kalau bangsa ini terus-menerus dididik untuk munafik, apa jadinya negeri ini kelak?!
Kalau ada yang mengajurkan kaum penghayat agar masuk salah satu agama yang ada saja, gimana?
Soal ini pernah kami dialogkan dengan Bapak Ruhut Sitompul. Komentarnya waktu itu: kalau saya yang Kristen diminta untuk masuk agama lain, karena agama saya tidak diakui, tentu saya tidak mau. Pertanyaan itu bisa juga dibalik untuk yang meminta itu; kenapa tidak masuk agama selain yang dianutnya kini? Jadi, ini soal keyakinan; karena itu penyelesaiannya tidak bisa semudah itu.
Tapi saya pernah mendengar saudara dan teman-teman tokoh muslim mengatakan, bahkan Nabi Muhammad pun pernah ditegur Tuhan agar tidak terlalu terobsesi untuk mengislamkan semua orang. Katanya, Tuhan menegur bahwa itu bukan sesuatu yang Aku (Tuhan) kehendaki. Sebab kalau Saya (Tuhan, Red) menghendaki, semua orang akan Islam, dan seluruh dunia tentu Islam. Mungkin saya salah memahami ungkapan mereka. Tapi yang jelas, itu saya dapatkan dari cerita-cerita tokoh lintasagama juga. Sebab di Badan Perjuangan kami, semua kelompok lintasagama ada. Jadi, Tuhan ternyata juga tidak menghendaki penunggalan agama dan kepercayaan secara paksa.
JIL: Menurut pengalaman Anda, kelompok mana saja yang biasanya menghalangi pengakuan penuh atas hak-hak sipil kaum penghayat Indonesia?
Saya tidak tahu apa yang ada dalam hati setiap orang beragama. Tapi dari pengalaman di setiap sidang MPR dulu, selalu ada demonstrasi yang menetang keras pengakuan hak-hak sipil kami. Dan kebetulan, orang atau kelompok Islam tertentulah yang paling keras menentang. Mereka minta pengakuan atas kami di dalam GBHN dihapus lagi. Ketika mengatakan orang Islam, saya tidak menyebut itu ulah semua orang Islam, karena banyak juga dukungan dari tokoh-tokoh Islam yang demokrat.
Namun di sisi lain, saya juga pernah membaca laporan Kompas bahwa sidang Keuskupan Katolik pernah mengusulkan agar perkawinan campur kaum penghayat dengan Katolik diizinkan lagi. Selain itu, pengalaman saya sebagai penganut kepercayaan Kapribaden membuktikan bahwa ribuan warga kami di Bali tidak pernah mendapat gangguan dari para tokoh Hindu.
JIL: Saya tidak tahu apakah Tuhan saya dengan Tuhan Anda sama, toh sama-sama belum pernah ketemu. Tapi bagaimana pandangan kalangan penghayat tentang konsep ketuhanan?
Sepengetahuan saya, karena manusia itu banyak salahnya, setiap hari kita harus memohon ampun Tuhan. Jadi, apa yang kami lakukan tiap harinya adalah berusaha makin mendekat, dan kalau bisa, bertemu dengan Tuhan. Sepengetahuan saya, agama dan kepercayaan apapun mengajarkan manusia untuk menjadi orang yang baik dan bermoral. Lalu tanggung jawab siapakah urusan internalisasi nilai-nilai kebajikan dan moralitas itu? Kalau di kepercayaan, itu tanggung jawab para sesepuh. Dalam agama-agama, itu tanggung jawab ulama-ulama.
Tapi yang agak aneh belakangan ini, mengapa tanggung jawab itu hendak dilemparkan ke pemerintah dengan anjuran membikin aturan macam-macam? Apakah itu berarti kami-kami ini sudah menyerah total? Bagi saya, kalau soal moral, kembalikan saja kepada masyarakat. Karena itu, marilah para ulama atau pemimpin masyarakat berkumpul. Kita sama-sama introspeksi untuk tahu apa kesalahan kita, sehingga kita gagal membimbing umat.
Dengan introspeksi tentang itu, kita mudah-mudahan berhasil membentuk umat yang bermoral. Sehingga bangsa ini tidak hancur karena moralnya rusak. Saya yakin, tidak ada bangsa yang hancur karena angkatan perang yang lemah. Tapi kalau moralnya rusak, mereka hancur. Sejarah dunia membuktikan demikian, sejak zaman Romawi, Napoleon, dan juga Hitler. Negara seperti Swiss yang angkatan perangnya cukup lemah, tetap bisa berjaya walaupun kecil.
JIL: Apakah perjuangan BPKBB dalam beberapa tahun ke depan akan menemui titik terang?
Kami selalu menginginkan demikian. Hak-hak sipil yang tercantum dalam kovenan internasional, sekarang sudah diratifikasi. Mudah-mudahan tren baik itu seterusnya akan begitu. Tentu saja kami tetap berupaya membangun jaringan, sehingga makin banyak misi dan visi kita yang bisa digerakkan bersama. Sebab, kalau hak manusia yang paling asasi, yaitu hak berkeyakinan, belum dijamin penuh oleh negara, bagaimana dengan hak-hak lainnya?! []
Referensi: http://www.google.co.id/search?hl=id&q=penghayat&btnG
copy from http://mkbi.multiply.com/reviews/item/21
Comments
Post a Comment