KOSMOLOGI PENDIDIKAN BERKEBANGSAAN
Melihat kisah murwokolo (red-purbakala), sebagai kosmologi nusantara. Diawali kisah Sang Hyang Wisesa memerintah Sang Hyang Wenang dengan janturan bunyi gema kendi gentanya (gema sangkakala), hingga Sang Hyang Wenang memperanakan Sang Hyang Tunggal yang disebut putra ontang-anting. Sang Hyang Tunggal melahirkan telur jagat yang disebut tigan anom (3 calon generasi terjadinya jaman dan jagat), yaitu Togog, Semar dan Bethara Guru. Kisah telur jagat yang akhirnya meneruskan generasinya, yaitu purusa (budi), atma (rasa) dan prana (pikiran dunia) dalam sebuah terjadinya pengetahuan (pendidikan) dalam rangkaian sebab-akibat.
Dari sisi kisah tersebut, ditemukan sebuah matrix kosmologi yang membidani kepribadian kebangsaan Indonesia yang dilatarbelakangi sebuah perbedaan sistem karakter dan sifat, tetapi dipertemukan dalam satu dharma (bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangwra) yaitu berdirinya jaman dan jagat beserta isi dan fenomenanya. Kosmologi yang didapat dalam peristiwa itu adalah, adanya perhitungan gema hari kendi genta yang bulat dalam slendro dan pelog mewarnai kosmologi nusantara. Slendro menghasilkan hitungan nada 1 yang mewakili arah kejadian awal timur, lahirnya api dan pasaran legi. Nada 2, lahirnya angin/bayu dari arah selatan yang disebut pahing. Nada 3, lahirnya air dari barat dengan pasaran pon. Nada 5, lahirnya tanah/wujud material dari utara atau yang disebut peristiwa wage dan nada 6, lahirnya langit diapit empat penjuru yang disebut Kliwon. Sedangkan nada Pelog, diawali 1 lahirnya tejo dan cahya atau badranaya jatuh hari senin atau candra soma. Nada 2, lahirnya roh hidup ismaya hari selasa/brahma angkara/anggara. Nada 3, bumi/budha atau rabu atau manikmaya. Nada 4, lahirnya wrahaspati/peteng atau kamis. Nada 5, lahirnya lintang atau langit sukra yang disebut jumat. Nada 6, banyu tumpah, tumpak atau saniscara atau sabtu. Nada 7, surya nyawa radete atau minggu.
Formasi gema alam semesta dalam slendro dan pelog melahirkan formasi alam semesta, seperti tata surya dan galaksi, sampai tata surya bintang, yang diwakili 30 Dewa putra Betara Guru, Semar dan Togog yang disebut Wuku. 12 Dewa yang melahirkan pranata mangsa yang terlahir dari sifat roda unsurnya. Lahirnya wara-wara, candra, suda, kamarokam, watak sengkan dan laku-laku unsur, serta unsur hawa dan nafsu alam dan jiwa pikiran, perasaan dan budi manusia, dll. Formasi gempa dalam sebuah janturan murwakala slendro dan pelog tidak berhenti hingga saat ini. Tetaplah mengisi aktivitas alam semesta dan makhluk hidup atau perilaku manusia hingga detik ini.
Secara kosmologi, tujuan pendidikan akan melahirkan hakekat budaya (pola pencerahan budi), sebuah tuntunan dari proses belajar (menyerap kehidupan) dan mengajar (menebarkan pengetahuan), terjadinya kosmik semesta beserta manusia, terbagi dalam tiga calon anom (roda generasi). Bethara Guru, sebuah lakon Guru Besar yang melahirkan generasi pengetahuan yang tidak memiliki pendirian atau kepribadian (RED-pengetahuan yang melekat dengan kekuasaan dan kesombongan spiritual). Togog (Bethara Antaga), lakon Guru Besar bagi generasi pengetahuan bangsa sebrang yang lebih pada kemelekatan duniawi (RED-pengetahuan yang melekat dengan nilai-nilai materialisme atau penguasaan duniawi). Semar, lakon Guru Besar bagi generasi yang berjuang memperoleh kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran melalui jalan penderitaan dan kesengsaraan (usaha dan upaya) untuk membangun jagat dan jaman yang kedamaian dan ketentraman.
Sisi itulah sebuah pendidikan harus memenuhi pengetahuan rekonsiliasi di dalam jiwa Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangwra atau walaupun berbeda-beda cara tapi tetap bertemu dalam dharma yang satu tujuan, yaitu jati diri bangsa. Melihat generasi Guru Besar anom tigan itu, menentukan kehidupan jagat dan jaman kita yang selalu bertaruh pengabdian. Kisah Bethara Guru, sebagai Guru Besar melahirkan Bethara Kala & Durga (kali), hasil dari sebuah pelajaran kehidupan sebagai batas perseteruan ideal prinsip dan persepsi antara benar dan salah yang harus dibatasi peranannya. Dipertemukanlah sebuah pengetahuan yang tanpa batas dan abstrak dibatasi oleh ketidak-abadian atau keterbatasan, agar ditemukan sebuah nilai, definisi, istilah yang disepakati dan mewakili peranan logi/logos nalar manusia. Agar nalar-nalar murni tidak saling bertikai.
Sedangkan togog dan semar ditemukan batasan untuk memisahkan keabstrakan, mitisme sebuah nalar murni yang cenderung absolut dan tanpa batas dengan peristiwa perwujudan Gunung Jamurdipa. Dimana Togog tidak mampu menelan buah pengetahuan (Gunung Jamurdipa), sedangkan semar mampu menelan Gunung Jamurdipa. Dari situlah Togog menentukan pilihan untuk melekat dengan segala bentuk nilai materialisme di dalam ideal dan nilainya. Sedangkan semar ditemukan nilai hubungan antara materialisme dan mentalisme (jembatan nalar jasmani dan rohani). Terlihat ketika Semar selalu bertugas mewujudkan/mewantahkan segala bentuk harapan dan impian yang belum pasti. Kewantahan membahasakan segala yang tidak pasti dan tidak jelas, dengan jalan belajar dan mempraktekkannya dalam karya nyata inilah yang dimiliki oleh semar. Itulah yang disebut parodi matrik sebuah nalar Semar Ngejowantah atau Semar Mbangun Kahyangan.
Inti dasar dari pengertian di atas adalah proyeksi sebuah pendidikan Dharma Ksyatriya tigan anom sebagai titah hidup, yaitu tanggung jawab mengisi kehidupan dengan keseimbangan, keharmonisan dan kedamaian sebagai simpul pengetahuannya atau konteks pembebasan belenggu kebodohan. Oleh daripada itu, diperlukan sebuah metodelogi, yaitu murwokolo atau mengenang sejarah purbakala. Tujuan pokok adalah mengembalikan Dharma Ksyatriya ke dalam fitrahnya masing-masing dalam peran profesinya.
Untuk memberikan stimulan Dharma Ksyatriya maka diperlukan perangkat semangat memori tentang sejarah bangsa. Dharma Ksyatriya sesuai dengan fitrahnya ini diharapkan mampu membangkitkan kesadaran kognisi dan empirik sebuah perjuangan belajar dan mengajar demi kebangkitan nasional. Dengan memilih metoda gaya dari salah satu tigan anom, maka akan kita mengerti gaya nalar kritis kita dalam menterjemahkan nalar murni dalam sebuah logos atau logika. Tentu kenyataan itu sebagai permasalahan inti dalam berkebangsaan, yaitu tugas semua elemen bangsa yang mengisi peran profesinya masing-masing dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Agar tidak saling tumpang tindih atau berseteru. Perseteruan anak-anak bangsa dewasa ini yang diakibatkan oleh kemampuan dari batas menyikapi nalar murni, yang cenderung mitis dan absolut atau murni dan terus teguh tanpa henti memperjuangkan absolutisme nalar murni berasal, sekalipun berhadapan. Kegagapan dalam menyikapi nalar murni samahalnya lari dari kenyataan logis, dan hasilnya sebuah pemaksaan/perseteruan yang berakibat sebuah pertikaian. Alangkah indah jika dalam berkebangsaan mampu seperti Semar yang selalu melakukan pengabdian dan melayani. Semar datang di saat goro-goro bukan datang untuk dilayani, tapi melayani.
Usaha dan upaya jalan keprihatinan dan kesengsaraan Semar ini dilakukan untuk membenahi bangsa yang carut marut nilai dan tumpang tindih nilai. Jati diri akan terbangun dalam identitas kepribadian bangsa jika anak-anak bangsa mampu menentukan permasalahan nilai’nya. Bergantung diri kita, apakah kita memilih kepribadian yang bernalar mashab murni Togog (tebaran nilai kekerabatan/kooperasi liberal dunia dari mashab demokratian), Betara Guru (tebaran nilai kekerabatan/kooperasi liberal dunia dari mashab republikan) atau Semar (tebaran nilai guru besar yang berpihak pada kekerabatan kepribadian bangsa/membangun jati diri). Silahkan pilih dari model kosmologi pendidikan bangsa kita. Jika anda memilih demi kebangkitan bangsa tentu memilih semar. Artinya sebuah pesan jangan berseteru tapi berusaha dengan keprihatinan membangkitkan vitalitas kebangsaan, agar menemukan jati dirinya kembali. (***)
Comments
Post a Comment