Penganut Sapto Darmo: “Mati Saja Sulit, Apalagi Hidup”
[Brebes –elsaonline.com] Penganut Sapto Darmo di Desa Cikandang Kecamatan Kersana Kabupaten Brebes ada empat kepala keluarga (KK), mereka hidup penuh dengan tekanan dari berbagai lapisan masyarakat.
Carlim (45), salah satu penganut Sapto Darmo di Desa yang memiliki dua bahasa, sunda dan jawa, menuturkan, beberapa problem yang kerap dialami penganut Sapto Darmo di daerahnya adalah pendidikan dan pemakaman. “Di sini yang dirasakan benar-benar sulit itu persoalan sekolah dan pemakaman,” terang dia, Kamis (4/12) malam.
Lebih jauh orang paruh baya yang kini menjabat sebagai ketua Yayasan Sapto Darmo di Brebes itu menjelaskan bahwa anak penganut Sapto Darmo banyak yang dipaksa mempelajari dan memeluk agama Islam.
“Anak saya dulu waktu sekolah di SMPN 2 Kersana dipaksa untuk mengikuti mata pelajaran Islam. Bagi saya, kalau hanya mempelajari tidak apa-apa, tapi itu dipaksa untuk beragama Islam juga. Bahkan anak saya diancam tidak akan naik kelas apabila tidak mengikuti pendidikan agama di madrasah atau ngaji di masjid. Jadi anak saya tidak hanya dipaksa di sekolahan, tapi juga di luar sekolahan oleh guru agamanya,” ujarnya.
Selain pendidikan, dalam pemakaman juga penganut Sapto Darmo merasa kesulitan karena masyarakat dan kepala desa setempat melarang jenazah Sapto Darmo dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU). Ketika keponakan Carlim meninggal dunia dan hendak dimakamkan di TPU Cikandang, keluarga musibah tidak mendapatkan izin pemakaman dari pegawai desa dengan alasan masyarakat tidak memperbolehkannya. “Saya waktu itu izin ke pak lurah, tapi pak lurah tidak memperbolehkan. Sekarang pak lurahnya sudah meninggal. Katanya, orang-orang di desa ini tidak mengizinkan jenazah Sapto Darmo dimakamkan di tempat pemakaman orang Islam, padahal itu tempat pemakaman umum milik desa, ya milik semua orang desa sini apapun agamanya,” kenangnya.
Akhirnya jenazah keponakannya itu dimakamkan di depan rumah yang terbuat dari anyaman bambu milik Carlim berdampingan dengan tempat ritual Sapto Darmo. Makam yang kini sudah berusia empat tahun itu tidak tampak layaknya makam-makam lain karena tidak diberi batu nisan dan datar.
“Warga Sapto Darmo di sini merasa tidak nyaman, banyak tokoh agama lain yang kalau ceramah menyesat-nyesatkan kami, tapi itu kami anggap sebagai ujian kami dalam memeluk agama ini. Jangankan kita yang masih hidup, pasti akan merasa kesulitan, wong mati saja sulit, apa lagi hidup,” ungkapnya, menyesalkan. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88]
Comments
Post a Comment