Mengisi Kolom Agama sebagai Langkah Negosiasi: Potret Penghayat di Solo
Jun 02, 2014 Admin Artikel 0
Oleh: Tedi Kholiludin dan Muhammad Zainal Mawahib
Penghayat Kepercayaan di wilayah Surakarta (Solo) dan sekitarnya memang agak sedikit berbeda dalam soal identitas. Hampir kebanyakan penghayat yang ditemui adalah mereka yang secara identitas di kartu tanda penduduknya (KTP) dituliskan salah satu dari agama yang enam. Setidaknya itu yang ditemukan oleh eLSA dalam penggalian terhadap 4 pimpinan paguyuban di Kota Solo. Masing-masing adalah Panunggalan, Waspada, Kawruh Jiwa dan Manunggal Jati. Panunggalan dan Manunggal Jati adalah paguyuban penghayat kepercayaan yang pusatnya di Solo. Sementara Waspada paguyubannya berada di Wonogiri dan Kawruh Jiwa di Kabupaten Semarang.
Meski dalam KTP ditulis identitas agamanya, namun pada prakteknya banyak penghayat di wilayah Solo yang akhirnya hanya menjalankan praktek sebagai penghayat saja. Untuk memudahkan kategorisasi, kami memetakan setidaknya ada tiga tipe penghayat kaitannya dengan pencantuman identitas agamanya di KTP. Pertama, penghayat yang di kolom agama di KTP tertulis strip (-). Model ini yang disebut sebagai “penghayat murni,” kategori yang juga tidak sepenuhnya diterima oleh penghayat. Tapi setidaknya tipe tersebut hendak menunjukan ada kategori penghayat yang betul-betul menjalankan ritualnya laiknya penghayat. Dan laku itu juga ditegaskan dalam kolom agamanya di KTP. Kedua, penghayat yang di KTP tertulis agama dan menjalankan ritual agama serta penghayatan. Dalam beberapa kasus yang ditemukan, penghayat model kedua ini menempatkan aliran kepercayaan sebagai media untuk menguatkan proses ruhani, batin dan spiritualitas dari agama yang mereka miliki. Beragama dan menjadi penghayat sekaligus. Ketiga, penghayat yang di KTP tertulis agama dan hanya menjalankan penghayatan saja. Di Kota Solo model ketiga yang banyak ditemukan. Meski ada juga beberapa penghayat tipe kedua.
Penghayat model ketiga menyampaikan beberapa alasan mengapa identitas agamanya masih ditulis dengan salah satu dari enam agama. Salah satu yang disampaikan adalah karena status agama di KTP hanyalah formalitas belaka. Yang lebih penting adalah laku dalam hidup. Karena kelompok ini adalah minoritas, maka jalan terbaik yang ditempuh adalah mengikuti kehendak mayoritas. Mereka tidak mempermasalahkan pengisian kolom agama di KTP. Diisi atau dikosongkan, bukan merupakan bagian dari aturan paguyuban.
Di Paguyuban Manunggal Jati, hampir semua anggotanya beragama. Saat melaksanakan ziarah Walisongo, semua anggota yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda itu juga ikut serta. Aspek yang ditekankan oleh pimpinan paguyuban bukan pada aspek agamanya, tetapi penghormatan kepada leluhur tanah Jawa yang kebetulan beragama Islam. Saat mereka menyambangi pimpinan Kerajaan Majapahit, maka yang muslim juga diniatkan dalam konteks mereka menghormati leluhur tanah Jawa yang kebetulan tak sama agamanya dengan mereka. Sebenarnya ada beberapa anggota Kawruh Jiwa di Solo yang kolom agamanya dikosongkan. Tapi hanya sedikit sekali jumlahnya.
Selain alasan di atas, ada juga penghayat yang mengisi kolom agama di KTPnya karena alasan keluarga. Salah seorang anggota Panunggalan, mengaku sudah sepenuhnya menjalankan ajaran penghayat. Tetapi, ada hal yang ingin dijaganya yakni perasaan orang tuanya. Karena orang tuanya adalah pemuka agama, maka ia memilih mengisi kolom agamanya dengan tujuan tersebut.
Kekhawatiran terjadi benturan di masyarakat adalah salah satu alasan kenapa mereka mengisi kolom agamanya di KTP. Belum lagi jika dikaitkan dengan status pekerjaan di kemudian hari. Selain soal pekerjaan, pembatasan dalam sekolah bagi anak-anak komunitas penghayat juga sesuatu yang dikhawatirkan oleh penghayat di Solo.
Bagi pimpinan Kawruh Jiwa, karena prinsip mereka adalah damai maka dalam prakteknya hal-hal yang bersifat konfliktual sebisa mungkin dihindari. Selain KTP, masalah lain menyangkut administrasi dan kependudukan akhirnya disesuaikan dengan pemenuhan mereka terhadap KTP. Akte dan KTP serta surat-surat lain di negara dimana agama mereka tercantum di sana, sifatnya hanya formalitas saja.
Bahkan, menurut pimpinan Waspada, yang juga diamini oleh penghayat dari paguyuban lainnya, kolom agama di KTP lebih baik dikosongkan saja, karena itu urusan pribadi. Urusan vertikal antara manusia dan Penciptanya.
Yang kerapkali menjadi kendala dan itu dirasakan oleh organisasi penghayat adalah pernikahan penghayat. Bagi mereka, peraturan bahwa hanya boleh menikah dengan yang satu agama, atau penghayat dengan penghayat itu membeda-bedakan. Di sini, kebebasan menjadi tidak terjamin.
Kendala juga dirasakan oleh organisasi penghayat dalam proses pendaftaran dan pelaporan yang harus mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Mereka merasa bahwa paguyuban penghayat ini adalah organisasi kawruh, bukan organisasi profit yang syaratnya sulit skali.
Paguyuban Waspada tidak mengenal ritual khusus dalam proses pemakaman. Jadi, anggota paguyuban yang meninggal, maka ia dimakamkan sesuai agamanya dan semuanya diserahkan kepada keluarganya. Karena di Waspada memang tidak ada tata cara untuk itu. Kasus yang pernah terjadi pada anggota Kawruh Jiwa, Solo. Ayah dari seorang anggota Kawruh Jiwa, Sukar meninggal pada tahun 1997. Ia kemudian memakamkannya di depan rumah. Warga kemudian menggugat dan meminta jenazahnya dimakamkan di tempat pemakaman umum.
Dalam hal pendidikan agama untuk anak-anaknya di sekolah, baik warga Panunggalan, Waspada, Kawruh Jiwa dan Manunggal Jati semuanya menyerahkan itu kepada keluarga sang anak. Dan kebanyakan tidak ada yang mempermasalahkan pendidikan agama apapun yang diterimanya di sekolah. Anak-anak dibiarkan untuk menerima pendidikan agama (bukan pendidikan penghayat).
Di Panunggalan, alasan mengapa anak-anak anggota paguyuban dibiarkan memilih pendidikan agama di sekolah, karena ada alasan internal keorganisasian. Dalam aturan paguyuban, baru mereka yang sudah mencapai usia 17 tahun saja yang mulai bisa mengenali ajaran dan laku Panunggalan. Panunggalan tidak hanya mengajarkan tentang ilmu tetapi juga laku. Dan laku ini yang cukup berat untuk dipraktekkan. Perlu kekuatan fisik yang prima. Sehingga, anak-anak belum bisa melaksanakannya.
Karena itu, sebelum mereka mencapai usia 17, anak-anak dibiarkan mendapatkan pendidikan agama apapun untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya. Yang ditekankan adalah tujuan hidupnya. Dalam pandangan kelompok ini, prinsip dasar dari keluhuran itu adalah kejujuran. Memahami budi luhur itu yang penting bagi masyarakat penghayat (baca: Panunggalan).
Berbeda halnya dengan penganut agama yang membutuhkan rumah ibadah untuk melaksanakan ritualnya, penghayat Waspada tidak memerlukan hal tersebut. Jadi konflik yang berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah atau sanggar relatif tidak ada. Kelompok ini tidak membutuhkan tempat khusus. Silahkan melaksanakan penghayatan dimanapun, kapanpun dan tidak ada batasannya. Jadi tidak ada kebutuhan khusus untuk rumah ibadah. Padepokan lebih sebagai sarana untuk berkumpul. Mereka memaknai penghayat sebagai orang yang menghayati Tuhan, beragama ataupun tidak.
Kemampuan untuk mensiasati identitas di KTP membuat, kelompok ini relatif bisa menjalin hubungan yang baik dengan negara. Paguyuban Manunggal Jati, Waspada, Panunggalan maupun Kawruh Jati selalu diundang oleh pemerintah dalam pelbagai kegiatan. Tiap bulan, selalu ada laporan yang sampai ke pemerintah mengenai kegiatan yang mereka laksanakan. Ini juga yang barangkali bisa menjelaskan mengapa di wilayah Solo dan sekitarnya, kehidupan penghayat relatif tidak mendapatkan masalah yang berarti. Pemakaman, pernikahan dan lain-lain disesuaikan dengan agama yang ada di KTP masing-masing.
Sementara aktivitas kelompok perempuan di penghayat relatif minim karena beberapa sebab yang berbeda. Di Panunggalan, meskipun penghayat perempuan juga ada dan mengikut ajaran, tetapi biasanya terseleksi secara alamiah. Salah satu alasannya adalah karena laku yang berat. Mereka yang sudah punya suami ruang geraknya menjadi terbatas, karena kegiatan dan laku biasanya dilaksanakan pada malam hari. Sifat dari penghayat kepercayaan yang tidak ekspansionis menyebabkan mereka bertahan dengan kondisi semacam ini. Meski tidak dipungkiri bahwa organisasi ini ingin berkembang, tapi tidak berusaha mencari anggota.
Penghayat Manunggal Jati menyebut kalau di paguyubannya, keterlibatan penghayat perempuan lebih banyak di penghayatannya, bukan organisasi. Mereka ikut suaminya. Dan yang aktif ada kurang lebih 12 orang putri. Paguyubannya sendiri tidak terlalu banyak menyuarakan hal yang bersifat kritis kepada negara, karena mereka memandatkan hal tersebut kepada wakilnya yang ada di Himpunan Penghayat Kepercayaan.
Berkaitan dengan aktivitas kelompok perempuannya, Kondisi yang kurang lebih sama dirasakan di Waspada. Tak hanya perempuan, tetapi kawula muda secara umum juga tidak begitu tertarik dengan penghayat. Jika ada, adalah peran orang tua untuk membimbingnya. Secara sumber daya, penghayat di Waspada ini cukup tinggi dilihat dari aspek pendidikannya. Tetapi itu tidak kemudian sebangun dengan aktivitasnya di paguyuban. Karena budaya penghayat adalah budaya rasa, bukan budaya pikir. Di Waspada peran perempuan yang aktif cukup banyak, sekitar 30%. Tetapi sama halnya dengan kondisi di Manunggal Jati, perempuan ini juga hanya di spiritualitasnya saja. Sementara untuk aktif di organisasinya tidak terlalu kentara. Ini juga mungkin disebabkan karena penekanan Waspada lebih pada ritualnya, tidak organisasi. Saat mendalami aspek spiritual, laki-laki maupun perempuan sebaiknya hadir agar semuanya mengetahui dan saling tahu.
http://elsaonline.com/?p=3305
Comments
Post a Comment