Kaukus Pancasila Harap Hakim MK Mengedepankan Keadilan Bagi Penghayat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koordinator Kaukus Pancasila DPR RI Eva Kusuma Sundari berharap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengedepankan kemanusiaan dan keadilan terkait penganut kepercayaan atau penghayat pada hari Rabu (28/9) mendaftarkan Pengujian Pasal 61 ayat (1) jo ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) jo ayat (5) UU Administrasi Kependudukan.
“Semoga para hakim mengedepankan kemanusiaan dan keadilan, tidak bias dengan egoisme agama yang dipeluk mereka. Pasal 29 Undang-Undang 1945 menjadi acuan berpikir, karena kebebasan beragama perlu dilindungi oleh para hakim MK tersebut,” kata Eva saat dihubungi satuharapan.com, di Jakarta, hari Jumat (30/9).
Menurut Politisi Partai PDI Perjuangan ini menilai untuk para penghayat merupakan sebagai korban yang memiliki legal standing yang kuat untuk mengajukan ke Mahkamah Konstitusi.
“Para hakim sepatutnya mengabulkan permintaan mereka. Apalagi pasal yang diajukan adalah terkait dengan putusan MK dan sebelumnya terkait gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama,” kata dia.
Sebelumnya empat warga negara yang merupakan penganut kepercayaan atau penghayat Rabu (28/9) mendaftarkan Pengujian Pasal 61 ayat (1) jo ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) jo ayat (5) UU Administrasi Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi, melalui Kuasa Hukumnya dari Tim Pembela Kewarganegaraan, dengan tanda terima No. 1622/PAN.MK/IX/2016.
Selama penganut kepercayaan dan penghayat telah mengalami diskriminasi dari negara. Berdasarkan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan jo UU No. 23/ 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik para penganut kepercayaan dan penghayat dikosongkan. Ini berbeda dengan para penganut agama-agama mayoritas di Indonesia.
“Dimana negara tidak punya hak untuk menentukan agama resmi (dan tidak resmi) artinya semua warga negara harus dilayani apapun suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) mereka. Saya berharap ada putusan progesif berupa penghapusan kolom agama sekalian karena faktanya kolom ini sumber diskriminasi bagi pelayanan publik dan sumber hilangnya hak warga negara dari keluarga agama minoritas,” kata dia.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
“Semoga para hakim mengedepankan kemanusiaan dan keadilan, tidak bias dengan egoisme agama yang dipeluk mereka. Pasal 29 Undang-Undang 1945 menjadi acuan berpikir, karena kebebasan beragama perlu dilindungi oleh para hakim MK tersebut,” kata Eva saat dihubungi satuharapan.com, di Jakarta, hari Jumat (30/9).
Ilustrasi. Dewi Kanti, penghayat Sunda Wiwitan saat berfoto di samping poster bertuliskan 'kebebasan adalah bebas untuk beribadah sesuai agamanya masing-masing' di Gedung LBH, Jakarta pada Sabtu (22/11). (Foto: Dok.satuharapan.com)
Menurut Politisi Partai PDI Perjuangan ini menilai untuk para penghayat merupakan sebagai korban yang memiliki legal standing yang kuat untuk mengajukan ke Mahkamah Konstitusi.
“Para hakim sepatutnya mengabulkan permintaan mereka. Apalagi pasal yang diajukan adalah terkait dengan putusan MK dan sebelumnya terkait gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama,” kata dia.
Sebelumnya empat warga negara yang merupakan penganut kepercayaan atau penghayat Rabu (28/9) mendaftarkan Pengujian Pasal 61 ayat (1) jo ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) jo ayat (5) UU Administrasi Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi, melalui Kuasa Hukumnya dari Tim Pembela Kewarganegaraan, dengan tanda terima No. 1622/PAN.MK/IX/2016.
Selama penganut kepercayaan dan penghayat telah mengalami diskriminasi dari negara. Berdasarkan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan jo UU No. 23/ 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik para penganut kepercayaan dan penghayat dikosongkan. Ini berbeda dengan para penganut agama-agama mayoritas di Indonesia.
“Dimana negara tidak punya hak untuk menentukan agama resmi (dan tidak resmi) artinya semua warga negara harus dilayani apapun suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) mereka. Saya berharap ada putusan progesif berupa penghapusan kolom agama sekalian karena faktanya kolom ini sumber diskriminasi bagi pelayanan publik dan sumber hilangnya hak warga negara dari keluarga agama minoritas,” kata dia.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/kaukus-pancasila-harap-hakim-mk-mengedepankan-keadilan-bagi-penghayat
Comments
Post a Comment