PERJALANAN MENEMUKAN TIRTA PERWITASARI (1)-Danyang
Tirta Perwitasari adalah simbol kebeningan jiwa; sesuatu yang menjadi tujuan para pejalan spiritual. Diraihnya tirtaperwitasari menjadi dasar untuk perjumpaan diri kita (baca = kesadaran manunggal/nyaiwiji) dengan Sang Sukma Sejati, manifestasi dari Hyang Yaktining Hurip di dalam diri kita. Sesuai filsafat Neng Ning Nung Nang, saat seseorang telah menggapai tahapan jiwa yang hening dan wening, maka ia akan dianugerahi kasinungan, dan menjadi orang yang menang: ditandai dengan kehidupan ayem tentrem, bagyo atau bahagia, tercukupi kebutuhan lahir bathin.
Mengevaluasi perjalanan hidup saya pribadi, saya menemukan bahwa acapkali saya jatuh terjerembab, terjebak dalam prahara. Pangkalnya adalah keceroban, atau ketidakhati-hatian. Berangkat dari membaca keadaan diri demikian, saya punya tekad kuat untuk memperbaiki diri, dan menjalankan apa yang dipesankan leluhur saya, “Ngati-ngati, sampurnakno lakumu kanthi bener. Eyang mangestoni amrih katekan sedyamu, Ngger”. Kehidupan yang serba baik, adalah buah dari perjuangan spiritual yang tekun dan dilaksanakan dengan cara yang benar. Dan sejauh pengalaman, menjalankan laku spiritual ataupun tirtayatra mengikuti ajaran leluhur sebagaimana tertera dalam lontar kuno, membutuhkan kesiapan fisik, kebulatan tekad, dan juga kesiapan biaya. Itu mengajari kita, bahwa untuk meraih hal yang istimewa, memang harus dengan perjuangan keras, tidak bisa enak-enakan dan asal-asalan.
Terkait dengan tekad itu, saya kembali mendapatkan anugerah, untuk bisa menjalankan tirtayatra dengan Mas Heru Dipastraya. Kali ini, kami ditemani Pak I Wayan Puja Astawa, Mas Joko, Bli Putu, plus Mas Dar – yang cekatan mengemudi dan sangat sabar menunggui kami. Kami berangkat dari Solo, dengan tujuan Curug Panglebur Gongso, di kaki Gunung Ungaran. Tapi, kami melewati Selo, sehingga kami terlebih dulu sowan ke Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro, dan karena melewati Kranggan, Temanggung, kami juga mampir ke makam leluhur-leluhur saya yang sumare di situ: Kyai Rangga Pronodirjo, Raden Rangga Mangundirjo, dan Raden Ayu Mangundirjo.
Di Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro
Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro terletak di Desa Selo, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Kita bisa mencapai tempat ini dari arah Boyolali ataupun Magelang. Rombongan kami tiba di situ siang hari. Kuncen di situ bernama Mbah Tarso; sayang sekali saat itu beliau sedang pergi ke Semarang sehingga kami tak sempat bertemu. Namun, beruntung kami bisa masuk ke dalam komplek petilasan karena tidak dikunci, dan bahkan membuka pintu cungkup, karena Mas Dipa punya koleksi kunci berbagai petilasan di Jawa.
Memasuki gerbang, kaki kita akan bertemu dengan tanah berwarna hijau karena berlapis hijau. Saat itu matahari cukup terik, tapi, suasana di petilasan tersebut sangatlah sejuk. Dan, terkenanglah saya pada peristiwa 2008: semuanya berawal dari tahun tersebut. Saat itu saya mulai “perjalanan kembali”. Setelah saya sebelumnya lupa pada leluhur dan ajarannya, saya seolah dipanggil dan digerakkan untuk kembali nguri-uri budaya leluhur. Salah satunya dengan intensif melakukan tirtayatra. Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro adalah tempat pertama saya menjalankan tirtayatra, setelah saya mendapatkan petunjuk dari Romo Pujiyono, penghayat Pransuh, kolega Pakde saya.
Ki Ageng Kebo Kanigoro sendiri adalah salah satu putra dari Eyang Adipati Pengging Sepuh yang menikah dengan putrid Prabu Brawijaya V, Eyang Retno Pembayun (petilasannya ada di Pengging), beliau kakak dari Ki Ageng Kebo Kenongo (petilasannya di Pengging dan Butuh) dan Ki Ageng Kebo Amiluhur (petilasannya juga di Pengging, satu komplek dengan Eyang Pengging Sepuh dan Eyang Retno Pembayun).
Ki Ageng Kebo Kanigori adalah sosok pandhito yang konsisten memegang teguh jalan hidupnya. Beliau memilih untuk mengembara, dan membiarkan kepemimpinan Pengging di tangan adiknya, Ki Ageng Kebo Kenongo. Tapi, walau beliau memilih jalan sebagai pandhito yang menyingkir dari dunia kepemerintahan, karena beliau dianggap memiliki potensi mengganggu stabilitas Demak – karena posisinya sebagai pewaris trah Majapahit – beliau termasuk yang diburu.
Selo adalah tempat beliau bertahan. Dan di sanalah beliau menunjukkan keperwiraan mempertahankan negeri dan budaya luhurnya dari agresi pihak luar. Sikap inilah yang layaknya diwarisi oleh putra-putri Nusantara.
Kami, bersiap-siap sebelum mengadakan proses menghaturkan sembah bakti di petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro. Mas Dipa mempersiapkan sesaji terlebih dahulu, sementara kami masing-masing menyiapkan diri kami masing-masing agar betul-betul bisa terlibat dalam momen sakral ini. Sesaji kali ini, selain bunga 3 warna (mawar merah, mawar putih dan kenanga), minyak wangi, uang kertas dan uang receh, juga adalah pisang raja. Dan pisang raja yang disajikan sesaji adalah pisang raja tadah. Pisang raja tadah ini ada pada posisi paling atas pada tandan pisang, sehingga kita perlu melihat langsung saat membelinya, dan langsung mengirisnya dari tandan pisang itu sehingga tidak keliru. Ia adalah simbol dari dua tangan yang menangkup – sebuah pralambang menyembah yang tulus).
Setelah sesaji siap, kami memulai prosesi. Mas Dipa yang membuka, lalu dilanjutkan oleh Pak Wayan, yang membaca beberapa mantra, berisi pernyataan sembah bakti kepada Gusti Yang Maha Suci, kepada para dewa yang merupakan manifestasi Gusti di semesta ini, kepada para pangreh gaib di 8 arah, dan kepada para leluhur; juga berupa doa agar diri kita mendapatkan anugerah berupa cahaya yang menerangi jiwa, dan kehidupan yang serba baik. Syahdu, menggetarkan, sekaligus menenteramkan. Demikian yang bisa saya rasakan.
Bagi yang papasunya telah peka, niscaya bisa terlihat kehadiran Eyang Kebo Kanigoro. Dan pagi yang belum peka secara visual, setidaknya bisa merasakan kehadiran beliau, ditandai dengan angin yang lembut tapi terasa dingin sekali.
Dalam diri saya pribadi, setelah sowan ke Petilasan Eyang Kebo Kanigoro ini, muncul spirit yang makin kuat untuk nguri-uri budaya luhur dari negeri ini, dan menjadi bagian dari kekuatan semesta yang setahap demi setahap tengah mewarnai kembali negeri ini dengan kawicaksanan yang sejatinya telah terbangun sejak puluhan ribu tahun yang lampau. Saya teringat visi saat semedi di Tuk Bima Lukar, Dieng, “Perempuan dan lelaki berduyun-duyun, membawa sesaji di pagi yang berkabut, diiringi lantunan kidung, dilatari gunung-gunung berwarna hijau yang agung”.
Tentang Sesaji
Dalam setiap tirtayatra, kita disarankan menggunakan sesaji. Demikianlah yang tertera dalam lontar-lontar kuno. Dan sesaji tersebut, dalam setiap tempat tirtayatra, khususnya yang memiliki yoni (manifestasi energy) berkekuatan tinggi, memiliki perbedaan-perbedaan tertentu. Tapi, secara umum sesaji tersebut berupa bunga-bungaan, buah-buahan, minyak wangi, dan uang. Di beberapa tempat, ada sesaji berupa makhluk hidup seperti kerbau atau kambing. Saya pribadi, memilih apa yang diajarkan oleh pamomong saya, untuk tidak mempergunakan sesaji makhluk hidup.
Sesaji sendiri simbol persembahan yang tulus kepada Hyang Murba Wasesa, kepada pangreh gaib, para leluhur, serta bukti sih katresnan kepada setiap titah urip yang ada di muka bumi termasuk yang tidak katon/tidak memiliki raga kasar seperti manusia. Hewan itu, digantikan oleh minyak wangi, yang berfungsi sebagai Gandha (heharuman) yang disukai oleh pangreh ghaib dan titah alus lainnya.
Saya sendiri, memandang, baik selain memiliki alasan-alasan etis spiritual, sesaji ditetapkan oleh para leluhur menjadi bagian dari upacara sembah bakti kepada Gusti, para dewa dan leluhur, karena memiliki dampak bagi dinamika ekonomi. Semakin sering diadakan upacara yang mempergunakan sesaji berupa bunga, buah-buahan dan lainnya, itu menciptakan pasar tersendiri yang semestinya bisa mendorong kemakmuran bagi setiap petani produsen bunga dan buah. Bukankah negeri ini merupakan negeri agraris? Sungguh jenius leluhur yang merancang sistem ritual yang bisa bersentuhan dengan kepentingan memajukan ekonomi di negeri ini. Karena itulah, ideal jika lewat berbagai upacara yang mempergunakan sesaji, dipacu dinamika ekonomi lokal, dan itu bisa terjadi ketika apa yang disajikan (buah, bunga, dupa, minyak) memang berasal dari bumi Nusantara sendiri.
Curug Pangleburgongso
Perjalanan kami selanjutnya adalah ke Curug Pangleburgongso – setelah sebelumnya singgah untuk sowan ke pesarean leluhur saya di Kranggan, Temanggung. Untuk mencapai Curug Pangleburgongso, kita bisa masuk dari arah Bandungan, dari Ungaran, atau dari Kranggan. Curug ini terletak di Kecamatan Sumowono, perbatasan antara Unggaran dan Kendal.
Gunung Ungaran sendiri memang memiliki keistimewaan karena memiliki curug di 8 arah mata anginnya, yaitu Curug Gonoharjo di Barat, Curug Argosumo di Barat Laut, Curug Benowo di Utara, Curug Lawe di Timur Laut, Curug Semirang di Timur, Curug Namaskara di Tenggara – yang konon bisa tembus ke Sendang Semangling, Curug Tujuh Bidadari di Selatan, dan Curuh Pangleburgongso sendiri di Barat Daya. Mata air utama curug-curug ini berada di Ranu Panglukat.
Tentang Curug Pangleburgongso, bisa dijelaskan bahwa sesuai namanya, Curug ini adalah tempat di mana kita bisa mengupayakan dileburnya segenap dosa kita dan disingkirkannya mala, lara, kala, wighna (malapetaka, sakit, kesialan, dan halangan). Tapi, tentu saja itu tidak didapat secara sembarangan semisal dengan asal mandi di situ. Melainkan harus melalui laku khusus dengan segala uborampenya. Dikaitkan dengan pewayangan, Curug ini merupakan tempat bertapa Aditya Kumbakarna saat dia diusir oleh kakaknya, Rahwana.
Bagi para pelaku Tirtayatra, Pangleburgongso yang baru pertama kali kesitu, terdapat semacam pepeling. Sebagai simbol tegur sapa kepada warga yang ada di sekitar curug, begitu memasuki desa di mana curug itu berada, kita harus menegur warga desa itu dan bertanya di mana curug itu berada. Walau, bersama rombongan kita sudah ada yang tahu – dia harus diam saja tidak boleh member tahu. Maka, walau Mas Dipa sudah tahu arah ke Curug Pangleburgongso, begitu sampai sekitar lokasi curug dia diam, dan yang berusaha menemukan denahnya adalah salah satu dari anggota rombongan yang lain. Dalam hal ini, Mas Jokolah yang kebagian bertanya kepada warga desa. Sempat sedikit nyasar, akhirnya sampailah kami ke Curug Pangleburgongso.
Indah sekali curug ini. Dan yang istimewa, curug ini juga berada di tempuran, yaitu pertemuan dua sungai. Dalam khazanah spiritual Jawa, tempuran atau pertemuan dua sungai, adalah salah satu tempat yang paling istimewa untuk ritual kungkum (berendam). Selain itu, curug ini juga memiliki Yoni yang kuat. Mirip dengan Telaga Madirda.
Setelah istirahat sejenak sambil menyiapkan sesaji, kami memulai ritual di dalam gua di balik air terjun. Seperti biasa, Mas Dipa yang membuka prosesi, lalu dilanjutkan pembacaan mantra oleh Pak Wayan. Suasana yang sakralpun hadir, jiwa tergetar oleh lantunan mantra dari Pak Wayan, lalu kami tenggelam dalam hening masing.
Setelah proses di dalam gua, kami semua kungkum di sekitar air terjun. Saya pribadi, betul-betul meniatkan proses kungkum itu sebagai proses untuk membersihkan diri, memurnikan diri. Sungguh damai dan tentram kungkum di curug ini. Maknyuss…jika meminjam istilah ahli kuliner Bondan Winarno.
Puas kungkum dan berpakaian kembali, kami mengikuti arahan Mas Dipa untuk melemparkan botol-botol berisi minyak yang telah dibungkus daun, sebagai simbol membuang malapetaka, sakit, kesialan, dan halangan. Dan berikutnya, kami bersama-sama meditasi di sebuah cekungan di balik batu, yang ditutupi akar pohon jati yang sangat besar, sehingga membentuk semacam gua. Sekali lagi, kami hanyut dalam sakralitas semedi dan hening yang menghanyutkan.
Demikianlah, tuntaslah prosesi tirtayatra di Curug Pangleburgongso. Dengan jiwa yang ringan kami melangkah pulang, dengan janji suatu saat kami akan kembali lagi.
Saya berpisah dengan rombongan di Salatiga. Mas Dipa dan teman2 lain terus ke Surakarta, sementara saya menginap semalam di rumah Pak Adi, salah satu kadang putra wayah Kaki Semar, dan keesokan harinya kembali ke Kuningan.
Semoga bermanfaat catatan ini. Rahayu sagung dumadi.
http://setyochannel.blogspot.co.id/2012_05_01_archive.html
Comments
Post a Comment