115 Kasus Kekerasan & Diskriminasi Timpa Penghayat Kepercayaan
Metrotvnews.com, Jakarta: Penghayat kepercayaan mengalami kekerasan dan diskriminasi dari negara. Dalam lima tahun terakhir tercatat 115 kasus kekerasan dan diskriminasi menimpa mereka.
Itu merupakan hasil pemantauan Komnas Perempuan terhadap kekerasan dan diskriminasi, kondisi pemenuhan hak asasi manusia dan hak konstitusional perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual adat.
Itu merupakan hasil pemantauan Komnas Perempuan terhadap kekerasan dan diskriminasi, kondisi pemenuhan hak asasi manusia dan hak konstitusional perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual adat.
"Ada 50 kasus kekerasan dan 65 kasus diskriminasi yang diterima kelompok penghayat kepercayaan dan agama leluhur," kata Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (3/8/2016).
Riri mengatakan, 62 persen dari kasus itu terjadi di ranah negara. Kekerasan dan diskriminasi yang diterima kelompok penyintas ini menyangkut birokrasi pengurusan akta kelahiran, proses pernikahan, surat keterangan kematian, dan proses pemakaman.
Pemantauan dilakukan Komnas Perempuan setekah ada laporan dari 30 kelompok perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual adat. Laporan diterima tahun 2010.
Kajian kemudian dibuat untuk memantau lebih mendalam. Instrumen hak asasi manusia digunakan dalam pemantauan ini. Komnas Perempuan memantau ini untuk membuka kondisi konstitusional yang dialami kelompok pengahayat kepercayaan, dan agama leluhur. "Kami harap rekomendasi yang ada dalam laporan hasil pemantauan dapat ditanggapi secara serius," kata Riri.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengatakan, seharusnya tak ada lagi diskriminasi terhadap masyarakat di Indonesia yang telah lama menganut demokrasi. Apalagi, kata Teten, masyarakat lebih dulu hadir dibandingkan negara ini. "Saya kira prinsip itu kita terus pegang. Saya pikir negara jangan sampai mendiskriminasi rakyatnya," tegas Teten.
Teten mengaku, ada banyak keluhan terkait pelayanan publik terhadap masyarakat penghayat dan penganut kepercayaan dan agama leluhur. Hal ini seharusnya tak boleh terjadi karena layanan itu merupakan fungsi dari administrasi pemerintahan.
"Walau kami sadari praktik di lapangan terkait UU administrasi publik itu masih tergantung kepada kapasitas pemerintahan daerah," kata dia.
Teten meminta sejumlah kementerian dan lembaga terkait dapat bekerja serius menyelesaikan permasalahan yang masih dialami masyarakat penganut kepercayaan. "Ini kan ada Dirjen Dukcapil, bisa diselesaikan di sana, kalau tidak selesai nanti biar KSP yang turun tangan," tegas Teten.
Komnas Perempuan menyerahkan laporan hasil pemantauan rentang 2010-2015 kepada Teten Masduki dan Dirjen Catatan Sipil dan Kependudukan Zudan Arif Fakrulloh. Laporan juga diserahkan kepada perwakilan dari beberapa Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan beberapa lembaga terkait.
(YDH)
Riri mengatakan, 62 persen dari kasus itu terjadi di ranah negara. Kekerasan dan diskriminasi yang diterima kelompok penyintas ini menyangkut birokrasi pengurusan akta kelahiran, proses pernikahan, surat keterangan kematian, dan proses pemakaman.
Pemantauan dilakukan Komnas Perempuan setekah ada laporan dari 30 kelompok perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual adat. Laporan diterima tahun 2010.
Kajian kemudian dibuat untuk memantau lebih mendalam. Instrumen hak asasi manusia digunakan dalam pemantauan ini. Komnas Perempuan memantau ini untuk membuka kondisi konstitusional yang dialami kelompok pengahayat kepercayaan, dan agama leluhur. "Kami harap rekomendasi yang ada dalam laporan hasil pemantauan dapat ditanggapi secara serius," kata Riri.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengatakan, seharusnya tak ada lagi diskriminasi terhadap masyarakat di Indonesia yang telah lama menganut demokrasi. Apalagi, kata Teten, masyarakat lebih dulu hadir dibandingkan negara ini. "Saya kira prinsip itu kita terus pegang. Saya pikir negara jangan sampai mendiskriminasi rakyatnya," tegas Teten.
Teten mengaku, ada banyak keluhan terkait pelayanan publik terhadap masyarakat penghayat dan penganut kepercayaan dan agama leluhur. Hal ini seharusnya tak boleh terjadi karena layanan itu merupakan fungsi dari administrasi pemerintahan.
"Walau kami sadari praktik di lapangan terkait UU administrasi publik itu masih tergantung kepada kapasitas pemerintahan daerah," kata dia.
Teten meminta sejumlah kementerian dan lembaga terkait dapat bekerja serius menyelesaikan permasalahan yang masih dialami masyarakat penganut kepercayaan. "Ini kan ada Dirjen Dukcapil, bisa diselesaikan di sana, kalau tidak selesai nanti biar KSP yang turun tangan," tegas Teten.
Komnas Perempuan menyerahkan laporan hasil pemantauan rentang 2010-2015 kepada Teten Masduki dan Dirjen Catatan Sipil dan Kependudukan Zudan Arif Fakrulloh. Laporan juga diserahkan kepada perwakilan dari beberapa Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan beberapa lembaga terkait.
(YDH)
Comments
Post a Comment