Kalimasada bukan Kalimat Syahadat
Wayang merupakan hasil karya seni budaya masyarakat Indonesia yang sudah diakui oleh UNESCO.
Di dalamnya tersimpan banyak mutiara-mutiara kehidupan yang bisa dijadikan sebagai hiasan dalam peradaban budaya bangsa. Banyak ajaran-ajaran luhur yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan umat manusia (pandam pandoming dumadi). Lebih-lebih bagi masyarakat Jawa sebagai pendukung budaya tersebut.
Tak dapat dipungkiri bahwa sastra lakon yang menjadi sumber cerita dalam pementasan pewayangan banyak diambil dari kisah-kisah kepahlawanan dalam epos Mahabharata dan Ramayana.
Semua dalang yang ada di tanah Jawa ini tentu sepakat bahwa epos dalam Itihasa tersebut merupakan sumber utama dalam sastra lakon pewayangan.
Akan tetapi yang sangat disayangkan adalah masih banyak terjadi pemutarbalikan fakta terhadap substansi ajaran yang ada dalam sastra lakon tersebut.
Salah satunya adalah soal senjata jamus ‘Kalimasada’ milik Puntadewa atau Yudhistira yang dianggap sebagai ‘Kalimat Syahadat’.
Dalam banyak buku yang mengulas tentang pewayangan Jawa tidak sedikit para sarjana dan budayawan yang mengiyakan kalau kata ‘Kalimasada’ ini berasal dari kata ‘Kalimat Syahadat’ tanpa menelusuri asal katanya dan yang jelas tidak berdasar pertimbangan ilmiah.
Dengan kata lain mereka hanya mélu grubyuk tanpa wruh ing rêmbug (hanya ikut-ikutan tanpa memahami permasalahan) seperti halnya peribahasa Jawa yang mengatakan ‘bêlo mélu sêton’.
Padahal jika dipikir dengan akal orang waras, Puntadewa itu berasal dari tanah Bharata Warsa dan hidup di jaman Dwapara jauh sebelum agama Islam (Kalimat Syahadat) muncul di permukaan bumi.
Bagaimana mungkin Puntadewa menggunakan Kalimat Syahadat sebagai senjatanya. Ini tentu akal-akalan (maaf) orang yang ‘tidak waras’.
Sebenarnya jika mau menengok kembali sumber-sumber sastra lakon tersebut masalah Kalimasada dan Kalimat Syahadat itu akan dapat terpecahkan.
Secara mitologis disebutkan dalam Pustaka Raja Purwa, pusaka Jamus Kalimasada berasal dari cerita terbunuhnya Prabu Kalimantara oleh Rsi Satrukêm.
Pada saat itu Bhatara Guru meminta bantuan Rsi Satrukêm untuk menumpas Prabu Kalimantara bersama para pembantunya yakni Sarotama, Ardadedali dan Garuda Banatara yang telah membuat gonjang ganjing kahyangan Jonggring Salaka.
Setelah kalah oleh Rsi Satrukêm Kalimantara dan para pembantunya tersebut berubah menjadi pusaka Jamus Kalimasada, panah sakti dan Payung Tunggulnaga.
Kemudian Rsi Satrukêm mengambil kesemua pusaka tersebut yang kemudian diwariskan kepada keturunannya (Pandawa dan Kurawa).
Selain itu sumber sastra yang harus dijadikan pijakan utama tentulah Kakawin Bharatayuddha.
Dalam Pupuh 42 (dengan Wirama Mrêgangsa) pada bait ke-5 disebutkan:
ngka sri kr??a kumon ri dharmasuta pustaka lêpasakêna, èngêt ri wêkasan yudhi??ira sukan hati pinituturan, tan dwang sañjata pustaka kalima ho?adha rinêgêp ira, sampun siddha siniddhi kara dadi tomara mangarab-arab
(Dalam keadaan demikian, maka Prabu Kresna menyarankan agar Prabhu Dharmawangsa melepaskan senjata pustaka.
Akhirnya Prabu Dharmawangsa teringat dan sangat gembira hati beliau diperingatkan.
Lalu beliau memegang senjata Pustaka Kalima Ho?adha.
Setelah sempurna dimantrai, berobahlah menjadi senjata tomara menyala berkobar-kobar).
Kemudian pada bait ke-8 masih pada Pupuh yang sama disebutkan:
Di dalamnya tersimpan banyak mutiara-mutiara kehidupan yang bisa dijadikan sebagai hiasan dalam peradaban budaya bangsa. Banyak ajaran-ajaran luhur yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan umat manusia (pandam pandoming dumadi). Lebih-lebih bagi masyarakat Jawa sebagai pendukung budaya tersebut.
Tak dapat dipungkiri bahwa sastra lakon yang menjadi sumber cerita dalam pementasan pewayangan banyak diambil dari kisah-kisah kepahlawanan dalam epos Mahabharata dan Ramayana.
Semua dalang yang ada di tanah Jawa ini tentu sepakat bahwa epos dalam Itihasa tersebut merupakan sumber utama dalam sastra lakon pewayangan.
Akan tetapi yang sangat disayangkan adalah masih banyak terjadi pemutarbalikan fakta terhadap substansi ajaran yang ada dalam sastra lakon tersebut.
Salah satunya adalah soal senjata jamus ‘Kalimasada’ milik Puntadewa atau Yudhistira yang dianggap sebagai ‘Kalimat Syahadat’.
Dalam banyak buku yang mengulas tentang pewayangan Jawa tidak sedikit para sarjana dan budayawan yang mengiyakan kalau kata ‘Kalimasada’ ini berasal dari kata ‘Kalimat Syahadat’ tanpa menelusuri asal katanya dan yang jelas tidak berdasar pertimbangan ilmiah.
Dengan kata lain mereka hanya mélu grubyuk tanpa wruh ing rêmbug (hanya ikut-ikutan tanpa memahami permasalahan) seperti halnya peribahasa Jawa yang mengatakan ‘bêlo mélu sêton’.
Padahal jika dipikir dengan akal orang waras, Puntadewa itu berasal dari tanah Bharata Warsa dan hidup di jaman Dwapara jauh sebelum agama Islam (Kalimat Syahadat) muncul di permukaan bumi.
Bagaimana mungkin Puntadewa menggunakan Kalimat Syahadat sebagai senjatanya. Ini tentu akal-akalan (maaf) orang yang ‘tidak waras’.
Sebenarnya jika mau menengok kembali sumber-sumber sastra lakon tersebut masalah Kalimasada dan Kalimat Syahadat itu akan dapat terpecahkan.
Secara mitologis disebutkan dalam Pustaka Raja Purwa, pusaka Jamus Kalimasada berasal dari cerita terbunuhnya Prabu Kalimantara oleh Rsi Satrukêm.
Pada saat itu Bhatara Guru meminta bantuan Rsi Satrukêm untuk menumpas Prabu Kalimantara bersama para pembantunya yakni Sarotama, Ardadedali dan Garuda Banatara yang telah membuat gonjang ganjing kahyangan Jonggring Salaka.
Setelah kalah oleh Rsi Satrukêm Kalimantara dan para pembantunya tersebut berubah menjadi pusaka Jamus Kalimasada, panah sakti dan Payung Tunggulnaga.
Kemudian Rsi Satrukêm mengambil kesemua pusaka tersebut yang kemudian diwariskan kepada keturunannya (Pandawa dan Kurawa).
Selain itu sumber sastra yang harus dijadikan pijakan utama tentulah Kakawin Bharatayuddha.
Dalam Pupuh 42 (dengan Wirama Mrêgangsa) pada bait ke-5 disebutkan:
ngka sri kr??a kumon ri dharmasuta pustaka lêpasakêna, èngêt ri wêkasan yudhi??ira sukan hati pinituturan, tan dwang sañjata pustaka kalima ho?adha rinêgêp ira, sampun siddha siniddhi kara dadi tomara mangarab-arab
(Dalam keadaan demikian, maka Prabu Kresna menyarankan agar Prabhu Dharmawangsa melepaskan senjata pustaka.
Akhirnya Prabu Dharmawangsa teringat dan sangat gembira hati beliau diperingatkan.
Lalu beliau memegang senjata Pustaka Kalima Ho?adha.
Setelah sempurna dimantrai, berobahlah menjadi senjata tomara menyala berkobar-kobar).
Kemudian pada bait ke-8 masih pada Pupuh yang sama disebutkan:
“yékan sighra dinuk ring astra wara pustaka maya lumarap, mabhrapan ma?i héma ?a??a tumanêm ri ?a?a sangahulun, tan péndah kadi wangkawanginum i rah nrpati mamulukan,
ndah saktinya tinut ri jiwa nira mantuk ing amara pada” (maka segera diserang dengan senjata pustaka yang sakti meluncur dengan cepatnya, senjata itu gemerlapan karena terbuat dari mas dan intan, menancap pada dada Prabu Salya.
Tak ubahnya seperti pelangi meminum darah Prabu Salya yang ibarat mata air dan karena kesaktian senjatanya diikuti oleh jiwa beliau pulang ke Swargaloka).
Petikan Kakawin Bharatayuddha di atas tentu merupakan dasar dan sekaligus alasan yang sangat jelas bahwa senjata sakti Kalimasada atau Kalima Ho?adha bukan berasal dari atau tidak sama dengan Kalimat Syahadat.
Jika ada yang tetap ingin menyamakan, maka jelas ia bukan termasuk orang yang ‘waras’.
Dari petikan Kakawin Bharatayuddha di atas dapat diketahui bahwa pusaka Jamus Kalimasada tersebut digunakan oleh Yudhistira untuk membunuh Prabu Salya yang pada saat itu menggunakan Aji Candra Berawa atau Candra Bhairawa, sebuah ilmu yang dapat mengubah dirinya menjadi raksasa-raksasa yang jumlahnya tak terhingga.
Namun dengan kesaktian Jamus Kalimasada raksasa-raksasa yang diciptakan dari Aji Candra Berawa itu dapat dimusnahkan dan Prabu Salya sendiri dapat dibunuh.
Dengan itu pula maka atman Prabu Salya dapat dengan mudah mencapai kaswargan atau moksa.
Cerita tersebut mengisyaratkan bahwa ajaran-ajaran suci Weda yang dilambangkan dengan Pustaka Jamus Kalimasada dapat menghancurkan keangkaramurkaan yang dilambangkan dengan raksasa-raksasa ciptaan Aji Candra Berawa.
Hal ini sebagaimana bunyi sêsanti masyarakat Jawa yang berbunyi, “sura sudira jayanikang rat swuh bra??a têkaping ulah dharmastuti (keangkaramurkaan di muka bumi ini akan lenyap oleh perbuatan yang berlandaskan Dharma)”.
Secara leksikal Jamus Kalimasada berasal dari rangkaian kata jamus kali maha u?adha. Kata jamus berarti ‘hitam berkilau’.
Kata ini berkaitan dengan jamas atau keramas yang artinya ‘pembersihan’.
Mungkin yang dimaksud adalah keramas terhadap rambut supaya kelihatan hitam berkilau.
Kata kali diartikan sebagai ‘jaman Kali’ atau ‘Dewi Kali’ atau ‘Saktinya Dewa Siwa’.
Kata maha artinya ‘besar’ atau ‘utama’. Dan kata u?adha atau o?adha berarti ‘obat’.
Dengan demikian rangkaian kata jamus kalimasada dapat diartikan ‘obat utama dari Dewi Kali yang dapat membersihkan manusia dari pengaruh buruk Kaliyuga’.
U?adha dalam masyarakat Jawa biasanya menjadi siddhi atau mandi berkat japa mantra yang diberikan oleh pemberi obat tersebut (dukun).
Dalam agama Hindu, japa yoga diyakini merupakan sarana penyucian yang paling mujarab pada Kaliyuga.
Dengan japa yoga ini manusia akan senantiasa ingat kepada Tuhannya.
Ki Ranggawarsita pun membenarkannya dengan menyatakan ‘sakbêgja-bêgjané wong kang lali isih bêgja wong kang éling lan waspada (sebaik-baik orang yang lupa masih lebih baik orang yang selalu ingat dan waspada)’.
Selain itu obat yang umum digunakan sebagai sarana penyembuhan adalah air atau tirtha.
Dalam ajaran Hindu juga dikenal ada pañca tirtha, yakni lima (kalima) macam tirtha yang terdiri atas: kamandalu yang membangkitkan hasrat, sanjiwani yang memberikan hidup, ku??alini yang membangkitkan kesadaran, pawitra yang menyucikan dan amrta (Amarta juga merupakan nama Kerajaan Pandawa) yang memberikan keabadian.
Dengan demikian obat mujarab di Jaman Kali yang berasal dari Maya (sakti) Dewa Siwa tersebut akan mampu memberikan dan membangkitkan hasrat, kehidupan, kesadaran, kesucian dan keabadian.
Jika hal ini telah dimiliki setiap umat manusia maka dunia akan ada dalam kesucian, kedamaian, ketenteraman, kesejahteraan dan kesentosaan. Dan obat mujarab itu tiada lain adalah japa mantra melalui kirtanam (menyebutkan Nama Suci Tuhan secara berulang-ulang) yang ditujukan kepada i??a dewata (Dewa pujaan sesuai dengan kemantapan kita masing-masing).
Senada dengan hal tersebut dalam buku “Sedjarah Wayang Purwa” yang pertama kali diterbitkan tahun 1949 oleh Balai Pustaka pada halaman 123 disebutkan bahwa Kalimasada merupakan pusaka yang berupa pustaka (serat) yang dimiliki oleh Puntadewa. Pusaka ini mampu menjauhkan orang dari semua musuh dan mara bahaya yang mengancam dirinya.
Dengan pusaka ini pula Amarta dibangun menjadi Indraprastha (bagaikan surga Indra yang ada di dunia) di mana pada babag janturan dalam pewayangan Jawa disebutkan sebagai negara yang panjang (penuh dengan kata-kata bijak) punjung (berwibawa) pasir wukir (menjaga lautan dan pegunungan) gêmah ripah (banyak investor yang berdatangan dan orang asing yang mencari pekerjaan ke sini) loh (tanahnya subur) jinawi (murah sandang pangan atau stabilitas ekonomi) tata titi (birokrasi pemerintahan yang baik atau good governance) têntrêm karta tur raharja (masyarakatnya aman, tentram, adil, sejahtera dan jauh dari sengsara)
ndah saktinya tinut ri jiwa nira mantuk ing amara pada” (maka segera diserang dengan senjata pustaka yang sakti meluncur dengan cepatnya, senjata itu gemerlapan karena terbuat dari mas dan intan, menancap pada dada Prabu Salya.
Tak ubahnya seperti pelangi meminum darah Prabu Salya yang ibarat mata air dan karena kesaktian senjatanya diikuti oleh jiwa beliau pulang ke Swargaloka).
Petikan Kakawin Bharatayuddha di atas tentu merupakan dasar dan sekaligus alasan yang sangat jelas bahwa senjata sakti Kalimasada atau Kalima Ho?adha bukan berasal dari atau tidak sama dengan Kalimat Syahadat.
Jika ada yang tetap ingin menyamakan, maka jelas ia bukan termasuk orang yang ‘waras’.
Dari petikan Kakawin Bharatayuddha di atas dapat diketahui bahwa pusaka Jamus Kalimasada tersebut digunakan oleh Yudhistira untuk membunuh Prabu Salya yang pada saat itu menggunakan Aji Candra Berawa atau Candra Bhairawa, sebuah ilmu yang dapat mengubah dirinya menjadi raksasa-raksasa yang jumlahnya tak terhingga.
Namun dengan kesaktian Jamus Kalimasada raksasa-raksasa yang diciptakan dari Aji Candra Berawa itu dapat dimusnahkan dan Prabu Salya sendiri dapat dibunuh.
Dengan itu pula maka atman Prabu Salya dapat dengan mudah mencapai kaswargan atau moksa.
Cerita tersebut mengisyaratkan bahwa ajaran-ajaran suci Weda yang dilambangkan dengan Pustaka Jamus Kalimasada dapat menghancurkan keangkaramurkaan yang dilambangkan dengan raksasa-raksasa ciptaan Aji Candra Berawa.
Hal ini sebagaimana bunyi sêsanti masyarakat Jawa yang berbunyi, “sura sudira jayanikang rat swuh bra??a têkaping ulah dharmastuti (keangkaramurkaan di muka bumi ini akan lenyap oleh perbuatan yang berlandaskan Dharma)”.
Secara leksikal Jamus Kalimasada berasal dari rangkaian kata jamus kali maha u?adha. Kata jamus berarti ‘hitam berkilau’.
Kata ini berkaitan dengan jamas atau keramas yang artinya ‘pembersihan’.
Mungkin yang dimaksud adalah keramas terhadap rambut supaya kelihatan hitam berkilau.
Kata kali diartikan sebagai ‘jaman Kali’ atau ‘Dewi Kali’ atau ‘Saktinya Dewa Siwa’.
Kata maha artinya ‘besar’ atau ‘utama’. Dan kata u?adha atau o?adha berarti ‘obat’.
Dengan demikian rangkaian kata jamus kalimasada dapat diartikan ‘obat utama dari Dewi Kali yang dapat membersihkan manusia dari pengaruh buruk Kaliyuga’.
U?adha dalam masyarakat Jawa biasanya menjadi siddhi atau mandi berkat japa mantra yang diberikan oleh pemberi obat tersebut (dukun).
Dalam agama Hindu, japa yoga diyakini merupakan sarana penyucian yang paling mujarab pada Kaliyuga.
Dengan japa yoga ini manusia akan senantiasa ingat kepada Tuhannya.
Ki Ranggawarsita pun membenarkannya dengan menyatakan ‘sakbêgja-bêgjané wong kang lali isih bêgja wong kang éling lan waspada (sebaik-baik orang yang lupa masih lebih baik orang yang selalu ingat dan waspada)’.
Selain itu obat yang umum digunakan sebagai sarana penyembuhan adalah air atau tirtha.
Dalam ajaran Hindu juga dikenal ada pañca tirtha, yakni lima (kalima) macam tirtha yang terdiri atas: kamandalu yang membangkitkan hasrat, sanjiwani yang memberikan hidup, ku??alini yang membangkitkan kesadaran, pawitra yang menyucikan dan amrta (Amarta juga merupakan nama Kerajaan Pandawa) yang memberikan keabadian.
Dengan demikian obat mujarab di Jaman Kali yang berasal dari Maya (sakti) Dewa Siwa tersebut akan mampu memberikan dan membangkitkan hasrat, kehidupan, kesadaran, kesucian dan keabadian.
Jika hal ini telah dimiliki setiap umat manusia maka dunia akan ada dalam kesucian, kedamaian, ketenteraman, kesejahteraan dan kesentosaan. Dan obat mujarab itu tiada lain adalah japa mantra melalui kirtanam (menyebutkan Nama Suci Tuhan secara berulang-ulang) yang ditujukan kepada i??a dewata (Dewa pujaan sesuai dengan kemantapan kita masing-masing).
Senada dengan hal tersebut dalam buku “Sedjarah Wayang Purwa” yang pertama kali diterbitkan tahun 1949 oleh Balai Pustaka pada halaman 123 disebutkan bahwa Kalimasada merupakan pusaka yang berupa pustaka (serat) yang dimiliki oleh Puntadewa. Pusaka ini mampu menjauhkan orang dari semua musuh dan mara bahaya yang mengancam dirinya.
Dengan pusaka ini pula Amarta dibangun menjadi Indraprastha (bagaikan surga Indra yang ada di dunia) di mana pada babag janturan dalam pewayangan Jawa disebutkan sebagai negara yang panjang (penuh dengan kata-kata bijak) punjung (berwibawa) pasir wukir (menjaga lautan dan pegunungan) gêmah ripah (banyak investor yang berdatangan dan orang asing yang mencari pekerjaan ke sini) loh (tanahnya subur) jinawi (murah sandang pangan atau stabilitas ekonomi) tata titi (birokrasi pemerintahan yang baik atau good governance) têntrêm karta tur raharja (masyarakatnya aman, tentram, adil, sejahtera dan jauh dari sengsara)
(Pernah dimuat di Media Hindu No.101 Edisi Juli 2012)
Comments
Post a Comment