TANTANGAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
Akar Konflik di Indonesia
Bangsa Indonesia sejak tempo dulu masyarakatnya telah lama berjuang melawan kaum penjajah, dan senantiasa berhadapan dengan konflik. Perang terjadi pada abad-abad yang lampau telah menyisakan pengaruh dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, berupa pengalaman dalam menghadapi konflik, bahkan kadang-kadang sulit dibayangkan tiada hari tanpa konflik dan stress selama dalam perjuangan. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sejarah masih membuktikan sampai era reformasi sekarang dewasa ini, bangsa Indonesia dihadapkan dengan banyak pertentangan kelompok maupun politik, serta perseteruan kepentingan yang mengakibatkan konflik. Sementa itu masih sangat dirasakan bahwa sistem penegakan hukum kita masih lemah, misalnya dengan terjadinya salah persepsi antara dua kelompok masyarakat yang bertikai akan menambah daftar konflik menjadi meningkat. Konflik pribadi, konflik kepentingan antar individu ataupun konflik antar kelompok. Pertentangan maupun konflik tersebut dapat dijumpai di seluruh segi kehidupan sehingga muncul pilihan-pilihan yang saling bertentangan dan tidak selaras mengakibatkan rusaknya tatanan keadaan maupun kehidupan bermasyarakat. Kondisi ketentraman dan ketertiban (tramtib) komunitas (pemukiman) maupun kelompok-kelompok ataupun lapisan masyarakat diberbagai daerah di Indonesia dalam beberapa tahun terusik oleh berbagai jenis gangguan dan konflik. Oleh karena itu mengenali pekerjaan sosial secara serius sangat penting untuk dicermati dalam upaya mengatasinya, bila kita gagal dalam mengatasi konflik maupun mengendalikannya akan mengakibatkan situasi dekstruktif yang lebih dahsyat, konflik merupakan masalah pelik untuk segera dicarikan pemecahaannya.
Faktor Penyebab Dan Sumber Konflik Agama di Indonesia
Menurut PAMA PUJA (Panguyuban Masyarakat Adat Pulau Jawa, yaitu gerakan yang mewakili masyarakat adat di Jawa), salah satu masalah paling berat yang dihadapi masyarakat adat Jawa adalah hak untuk menjalankan agama atau kerpercayaannya, dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan pentaatan.
Pemerintah sering menuding agama atau kepercayaan masyarakat adat sebagai agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya. Sebaliknya, menurut para penganut agama lokal, justru agama dan kepercayaan merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau agama yang induk. Agama-agama besar (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha) merupakan agama impor. Jauh sebelum kelima agama tersebut datang ke Indonesia, agama dan kepercayaan yang mereka anut sudah hidup ribuan tahun.
Contoh agama dan kepercayaan mayarakat adat adalah:
• Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh mayarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten
• Agama Parmalim, agama asli Batak
• Agama Kaharingan di Kalimantan
• Kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara
• Wetu Telu di Lombok
• Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku
Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, jumlah penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih. Pemerintah menyebutkan bahwa “agama adalah sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci”.
Departemen Agama mengakui enam agama secara resmi, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu. Penetapan itu antara lain menyebutkan larangan melakukan penafsiran atau kegiatan yang “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.” Ini dijelaskan lebih lanjut dalam bagian penjelasan: “Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan”.
Salah satu korban dari kebijakan negara dalam soal ini adalah kelompok-kelompok penganut agama adat atau aliran kepercayaan. Mereka semuanya diarahkan kembali ke agama induk, misalnya para penganut Sunda Wiwitan diarahkan kembali ke agama Hindu. Bahkan aliran kepercayaan tidak dianggap sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri di luar agama, melainkan dipandang sebagai budaya.
Sampai di sini muncul pertanyaan, apakah negara berhak:
• mengakui atau tidak suatu agama, atau
• memutuskan mana agama resmi dan tidak resmi, atau
• menentukan mana agama induk dan mana agama sempalan, atau
• memaksa orang sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya?
Menurut Kyai sepuh NU dari Jember Abdul Muchid Muzadi dan Washil Syarbini jika Menteri Agama menyetujui aliran kepercayaan menjadi atau setara dengan agama, maka akan timbul konflik sosial di antara pemeluk agama dan aliran kepercayaan. Selama ini, pemeluk kepercayaan telah mengakui bahwa keyakinanya hanyalah budaya. “Kalau sekarang pemerintah mau mengakui sebagai agama dasarnya apa? Jangan hanya sekedar untuk kepentingan KTP saja, kehidupan umat beragama jadi kacau” ujar Washil Muchid dan Washil melanjutkan jika pemerintah hanya mempertimbangkan alasan diskriminasi atau bahkan hak asasi dalam kehidupan beragama, tanpa melihat situasi riil dalam masyarakat, dikhawatirkan rencana itu malah akan menyulut kontroversi yang berdampak konflik sosial.
Di pihak lain, dari ringkasan inti normatif dari hak kebebasan beragama atau berkepercayaan di atas, Negara harus menghormati dan menjamin hak kebebasan beragama atau berkepercayaan bagi semua orang tanpa pembedaan apa pun. Apabila pemerintah membedakan antara pemeluk agama Hindu dan penganut Sunda Wiwitan, karena hanya mengakui agama Hindu, pembedaan ini berdasarkan apa? Perlu diingat bahwa hak kebebasan beragama atau berkepercayaan tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun. Apakah Anda setuju? Mari kita melihat beberapa dampak dari kebijakan pengakuan “6 agama resemi” tersebut.
Diskrimiasi dan Pelanggaran HAM lain berdasarkan kebijakan Pemerintah yang hanya Mengakui 6 Agama: Beberapa Contoh
Akibat konkrit dari kebijakan pemerintah yang hanya mengakui enam agama di Indonesia adalah bahwa penganut agama di luar enam agama tersebut tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara, seperti hak untuk dicatatkan perkawinan dan kelahiran mereka.
Kantor Catatan Sipil: KTP, Kartu Keluarga dan lain lain
Sampai sekarang, Departemen Dalam Negeri (cq Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) hanya memberi pelayanan kepada 5 agama dalam pencantuman agama di KTP dan Kartu Keluarga, dan di dalam pencatatan perwakilan di Kantor Catatan Sipil hanya melayani pasangan empat agama (Kristen, Katolik, Hindu, Budha).
Sistem pencatatan sipil tersebut meneruskan diskriminasi dan pelanggaran HAM orang yang bukan penganut salah satu dari agama yang resmi.
Korban diskriminasi dan pelanggaran HAM yang paling nyata dari pencantuman kolom agama, antara lain, adalah kalangan penghayat dan aliran kepercayaan. Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan yang diajukan oleh penganut kepercayaan yang tidak diakui secara resmi. Maka kalangan penghayat dan aliran kepercayaan terpaksa berbohong, sebab jika menyebut agama atau kepercayaan yang sebenarnya, maka mustahil mereka mendapatkan KTP. Bahkan, staf Kantor Catatan Sipil sering memakai Islam sebagai kategori ‘otomatis’ bagi para penganut kepercayaan yang tidak diakui secara resmi.
Pencatatan perkawinan dan kelahiran seringkali ditolak oleh Kantor Catatan Sipil karena bukan pemeluk salah satu agama yang diakui Negara. Dari perspektif perempuan, tiadanya Akta Nikah berarti tiadanya proteksi hukum bagi para isteri dan anak-anak, dan ini sangat merugikan masa depan mereka. Kalaupun ada di antara mereka yang memiliki Akta Nikah itu disebabkan karena mereka terpaksa berbohong mengaku memeluk salah satu dari agama resmi di hadapan petugas.
Perlakuan diskriminatif pemerintah ini terhadap warga negara yang bukan pemeluk enam agama tersebut juga nampak dalam masalah bantuan dana. Kelompok mayoritas dari para pemeluk enam agama itu mendapatakan bantuan dana secara reguler bagi kegiatan keagamaan mereka, seperti perayaan hari-hari besar agama, bantuan untuk organisasi keagamaan, pembangunan rumah-rumah ibadah, bantuan untuk pendidikan keagamaan dan seterusnya.
Contoh dari perlakuan diskriminatif ini adalah Dewi Kanti, seorang penganut Agama Sunda Wiwitan, aliran kepercayaan yang dikembangkan kakeknya, Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Agustus 2005 dia baru mendapatkan KTP, atau setelah 3 tahun menunggunya.
Upacara pernikahan Dewi Kanti berlatar adat Sunda Wiwitan. Birokrasi sipil tidak menerimanya. Pasangan itu gagal memperoleh Akta Nikah, walaupun Akta Nikah itu diperlukan untuk mendapatkan Kartu Keluarga dan Kartu Keluarga diperlukan untuk KTP. Karena tidak mempunyai KTP, Dewi Kanti kehilangan hak asuransi dari suaminya, saat bekerja pada perusahaan sekuritas.
Contoh lain adalah ‘Nani’ yang mau mendaftarkan kelahiran anak pertamanya Dudi ke Kantor Catatan Sipil. Petugas menolak mencantumkan identitas Andi, suaminya Nani, karena perkawinannya tidak dicatat oleh Kantor Catatan Sipil. Alasan penolakan itu, keduanya tak memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah seperti yang diatur Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 (yaitu Nani dan Andi adalah penganut aliran kepercayaan atau penghayat). Akhirnya, perkawinan yang tidak direstui negara itu berdampak pada Andi, suaminya karena sekarang dia trauma dan tidak ingin punya anak lagi.
Perlakuan diskrimintatif pemerintah ini tidak hanya melanggar hak kebebasan beragama atau kepercayaan, melainkan juga mengakibatkan tidak dipenuhinya hak-hak sipil lain yang mendasar, seperti hak mendapatkan identitas diri sebagai warga negara.
Apakah masalah seperti ini sudah diatasi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang baru diberlakukan?
Menurut pasal 8, ayat 1, instansi pelaksana melaksanakan urusan Administrasi Kependudukan dengan kewajiban yang meliputi peristiwa penting dan peristiwa kependukuan seperti kelahiran, kematian, perkawinan, pengangkatan anak. Kewajiban tersebut bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.
Menurut pasal 64, ayat 1, KTP masih wajib mencantumkan agama. Namun, bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
Dari hal-hal di atas maka boleh dikatakan bahwa pasal-pasal/ketentuan-kententua tersebut meneruskan perilaku diskriminatif yang melanggar HAM, yaitu:
• Pertama, UU Adminduk masih menggunakan istilah “agama yang belum diakui”
• Kedua, kewajiban melaporkan peristiwa penting seperti perkawinan dan kelahiran bagi penganut yang agamanya belum diakui berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan. Belum tentu Peraturan Perundang-undangan ini akan menutup peluang diskriminatif.
• Ketiga, pasal 36 mengharuskan warga yang perkawinannya tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan untuk mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan dokumen negara. Sudah dilihat di atas bahwa susah bagi pasangan yang bukan penganut salah satu dari enam agama resmi untuk memperoleh Akta Perkawinan.
• Keempat, berkaitan dengan masalah pencantuman agama di KTP, apa yang dimaksud dengan “tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan” – apakah ayat ini mengharuskan Kantor Catatan Sipil memberikan KTP kepada penduduk yang agamanya “belum diakui”?
• Kelima, apabila kolom agama tidak diisi, belum tentu jelas karena warga itu adalah penganut aliran kepercayaan. Mungkin juga ditanya: Atheiskah dia? Kesalahan komputer di catatan sipil? Atau lebih serius lagi: dia sedang dalam kontrol negara?
• Keenam, perlu diingat bahwa budaya Kantor Catatan Sipil sulit diubah. Misalnya, walaupun pada tanggal 4 Februari 2005, Presiden SBY dalam peringatan Imlek, menegaskan bahwa umat Konghuci akan dilayani sebagai penganut (dengan acuan PNPS 1/1965), Kantor Catatan Sipil masih tetap menolak mencatat perkawinan pasangan Khonghucu, dikarenakan tidak ada petunjuk pelaksanaan yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri. Belum tentu Kantor Catatan Sipil akan bersedia melayani warga yang agamanya belum diakui sebagai agama yang resmi.
Pendirian Rumah Ibadah
Pendirian rumah ibadat adalah bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan melaksanakan agama/ kepercayaan. Pada tahun 2006, pemerintah (cq. Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) mengeluarkan Peraturan Bersama No. 9 Tahun 2006/ No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Menurut Peraturan Bersama tersebut, pendirian rumah ibadat:
• didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
• harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:
- daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau propinsi;
- dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
- rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kapupaten/kota; dan
- rekomendasi tertulis FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama, yaitu, forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan).
Berdasarkan peraturan ini perlu dijawab beberapa pertanyaan:
• Bagaimana dengan penghayat aliran kepercayaan karena Peraturan tersebut menggunakan kata ‘agama’ bukan ‘kepercayaan’?
• Paling sedikit 90 KTP dari pengguna rumah ibadat harus disahkan. Kita sudah melihat di atas kesulitan yang dihadapi masyarakat adat dalam mendapatkan KTP
• Bagaimana dengan masyarakat adat yang menganut agama yang diakui secara resmi tetapi merupakan kalangan minoritas di wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau propinsi: siapa yang menentukan apakah pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh; bagaimana kalau tidak bisa mendapatkan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang: apakah berarti tidak dapat mendirikan rumah ibadat?
Kalau kita merujuk pada rumusan hak kebebasan beragama atau berkepercayaan di atas, bukankah ini pelanggaran hak untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran?
Pendidikan
Kebebasan beragama atau berkepercayaan hendaknya juga mencakup kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berbunyi:
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
(a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik seagama
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
(a) pendidikan agama…
Ayat 2: Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
(a) pendidikan agama…
Akibat dari undang-undang ini adalah peserta didik dipaksa untuk mendapatkan pendidikan agama, walaupun bukan agamanya sendiri. Bagaimana dengan kewajiban negara untuk menghormati kebebasan orang tua untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri?
Langkah-langkah untuk Masa Depan: Beberapa Anjuran
Dari pembahasan singkat di atas, ternyata bahwa perwujudan hak kebebasan beragama atau berkepercayaan belum seperti yang diharapkan. Jelas bahwa perlu diambil langkah-langkah untuk lebih menjamin hak ini (yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun). Lalu, bagaimana masa depan kebebasan beragama atau berkepercayaan di Indonesia? Tergantung pada kebijakan dan peraturan politik di satu pihak, dan kesadaran masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. Antara lain:
• Perlunya koreksi atau pencabutan terhadap semua kebijakan dan praktik yang masih diskriminatif terhadap pemeluk agama dan kepercayaan.
• Presiden perlu meninjau kembali keputusan-keputusannya yang mengatur tentang kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja instansi vertikal Departemen Agama sehingga memungkinkan agama-agama dan penganut kepercayaan yang ada di Indonesia tidak terbatas pada 6 agama. Dala hal ini, seharusnya Departemen Agama diperintah untuk memberikan pelayanan terhadap para pemeluk agama yang dianut di Indonesia dan membenahi struktur di Departemen Agama agar tidak hanya memberikan pelayanan kepada 6 agama yang diakui saja, tetapi memberikan pelayanan kepada seluruh agama dan kepercayaan yang dianut maysyarakat di Indonesia.
• Perlunya memasukkan tolok ukur mengenai kualitas keagamaan yang tidak semata-mata didasarkan pada jumlah rumah ibadat atau jumlah umat, melainkan lebih pada sumbangannya bagi kemanusiaan dan peradaban.
Daftar Pustaka :
[1] Colbran Nicola. 2007. Tantangan Yang Dihadapi Masyarakat Adat/Bangsa Pribumi Di Indonesia Dalam Mewujudkan Hak Kebebasan Beragama Atau Berkepercayaan. Yogyakarta. http://pusham.uii.ac.id/upl/article/id_nicola_c_agama.pdf
[2] Dasuki. 2008. Peksos Dalam Mengatasi Konflik. Jakarta. http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=754
http://obyramadhani.wordpress.com/2009/11/09/tantangan-kebebasan-beragama-di-indonesia/
Comments
Post a Comment