Kebebasan Beragama dan Implementasi HAM di Indonesia
Desember 20, 2007
“Demokrasi tanpa kebebasan sipil”, demikian istilah yang melekat untuk Indonesia dengan iklim kehidupan sosial politiknya. Apalagi jika kita menyoroti kondisi kehidupan beragama, kebebasan agaknya merupakan sebuah “barang langka”. Karena melaksanakan sholat dua bahasa Usman Roy harus mendekam dalam penjara, perlakuan yang sama juga dialami oleh Lia Aminuddin sebagai pemimpin “komunitas eden” karena dianggap sebagai nabi palsu. Belum lagi teror fisik dan penyerangan yang dilakukan terhadap Jamaah Ahmadiyah, serta kasus terakhir yang belakangan ini menimpa Ahmad Mushadieq dengan ajaran al-qiyadah al-Islamiyahnya. Seluruh catatan-catatan fenomena tersebut menjadi bukti nyata bahwa Indonesia merupakan negeri yang belum cukup longgar terhadap kebebasan beragama. Padahal, Indonesia merupakan negeri pancasila yang mencerminkan “keanekaragaman” dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika-nya.
Apa yang salah dengan negeri pancasila?, bukankah kebebasan beragama telah mendapatkan jaminan konstitusi yang cukup kuat di negeri ini?, lantas mengapa kebebasan beragama seolah tidak memiliki tempat di bumi pancasila? Tulisan ini merupakan sebuah pengembaraan intelektual guna menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut, sembari mengurai realitas implementasi Hak Azasi Manusia, tulisan ini akan mengantarkan kita kepada fenomena-fenomena kondisi realitas kebebasan beragama di Indonesia.
Rapuhnya Jaminan Konstitusi Kebebasan Beragama
Jika kita merujuk pada pasal 28 (e) ayat 2 undang-undang hasil amandemen, di sana disebutkan: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. undang-undang ini disempurnakan pula dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan: Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap Penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Undang-undang yang baru disebutkan diatas pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.
Namun demikian, melihat fenomena yang dicontohkan beberapa kasus yang telah disebutkan sebelumnya, agaknya jaminan konstitusi terhadap-hak-hak tersebut belum terimplementasi dengan baik. Jika saja undang-undang ini terimplementasi dengan baik, barangkali tidak akan ada kelompok yang diklaim sebagai aliran sesat, dan atau jikapun ada, setidaknya mereka yang dinilai sesat masih bebas menikmati haknya untuk tetap hidup dan tumbuh di negeri ini. Bukan sebaliknya, perlakuan terhadap mereka yang dinilai sesat justru mencerminkan penghakiman terhadap keyakinan yang bersumber dari hati nurani mereka.
Fenomena yang paling menggelitik adalah, jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah hanya merupakan “macan kertas” yang tidak memiliki power sedikitpun. Terbukti, tindakan kurang adil yang dilakukan pemerintah (juga mayoritas masyarakat) terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat ini bukan didasarkan pada konstitusi yang berlaku secara legal-universal, malah tindakan tersebut dipicu oleh keputusan yang masih bisa diperdebatkan (fatwa MUI misalnya), tentu keputusan yang dikeluarkan lembaga semacam ini tidak dapat diberlakukan secara universal. Pada akhirnya konstitusi yang semsetinya bersifat legal-universal menyangkut kebebasan beragama di negeri ini mengalami kerapuhan dengan sendirinya, jika tidak dikatakan kurang berguna, atau malah tidak berguna sama sekali.
Jika dicermati lebih jauh, rapuhnya jaminan konstitusi kebebasan beragama tidak saja diakibatkan oleh kurang terimplementasinya undang-undang dimaksud, lebih dari itu kerapuhan tersebut disebabkan pula oleh penafsiran yang kerap kali dipersempit pada undang-undang turunannya. Pada gilirannya kondisi ini melahirkan hukum yang saling tumpang tindih, bahkan kontradiktif antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Lihat misalnya undang-undang No 1/PNPS/1965 yang menyebutkan ada enam agama di Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, sangat kontradiktif dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No 477/ 74054/ BA.012/ 4683/95 tertanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui pemerintah ada lima: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, meskipun belakangan Konghucu diakui kembali sejak masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Pembatasan 5 dan atau 6 agama yang diakui di Indonesia tentu menjadi ancaman serius terhadap masa depan kebebasan beragama. Apabila pembatasan ini mutlak dipahami dan dipegang teguh oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, akan sangat wajar jika agama agama lain diluar agama yang diakui tersebut sulit untuk di terima hidup di di negeri ini, bahkan agama-agama lokal sekalipun yang memang lahir dan tumbuh dari tradisi asli bangsa Indonesia, seperti agama Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di daerah Jawa, dan agama Parmalin yang terdapat di Tanah Batak Sumatera Utara, yang kerap dipandang sebagai kebudaya belaka. Lebih dari itu, pembatasan ini sangat jelas bertentangan dengan jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia, khususnya yang termaktub pada pasal 28 (e) dan pasal 29 undang-undang 1945.
HAM dan Kebebasan Beragama
Disamping konstitusi dengan skala nasional yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia, jaminan kebebasan beragama di Indonesia pada dasarnya juga memiliki perlindungan hukum dengan skala internasional melalui ratafikasi Hak Azasi Manusia yang pernah dilakukan Indonesia. Jaminan tersebut tercermin dengan jelas dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) yang biasa disebut sebagai DUHAM (Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia), khususnya pasal 18 yang menyatakan: Everyone has the right to freedom of tought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief and freedom either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief teaching, practice, worship and observance (Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama dan kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemajuan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum maupun secara pribadi).
Ratafikasi terhadap DUHAM dilakukan Indonesia berdasarkan Undang-undang RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia, khususnya pada pasal 22 yang menyangkut jaminan hak atas kebebasan beragama. Pada pasal 22 ini disebutkan: pertama, “setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”; kedua, “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, jaminan kebebasan beragama dalam skala internasional yang turut diratafikasi Indonesia melalui HAM juga dapat dilihat melalui Undang-undang No 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR) (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), dengan meratafikasi konvenan ini, maka indonesia terikat untuk menjamin: hak setiap orang atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, serta perlindungan atas hak-hak tersebut (pasal 18); hak untuk memiliki pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama atau bahasa minoritas yang mungkin ada di Negara pihak [Negara yang terlibat menandatangani konvenan internasional dimaksud] (pasal 27).
Namun demikian, kondisi kehidupan beragama di Indonesia agaknya tidak mencerminkan nilai-nilai dimaksud, baik yang dicerminkan oleh HAM itu sendiri, maupun konvenan-konvenan internasional yang telah diratafikasi sebagai undang-undang turunannya. Padahal, dengan turut meratafikasi konvenan-konvenan tersebut, maka semestinya Indonesia menjadi salah satu Negara yang bertanggung jawab atas berjalannya HAM dalam pemerintahan negara, dalam hal ini termasuk pula ihwal kebebasan beragama. Bahkan, tanggung jawab tersebut dengan jelas tercermin pada pasal 8 Undang-undang RI tentang Hak Azasi Manusia yang menegaskan “Perlindungan, pemajuan, penagakkan dan pemenuhan Hak Azasi Manusia menjadi tanggung jawab Negara, terutama pemerintah”.
Realitas Kebebasan Beragama dan Pelanggaran HAM di Indonesia.
HAM mestilah menjadi jaminan alternatif lain terhadap jaminan kebebasan beragama di Indonesia ketika undang-undang kebebasan beragama sebagai jaminan hak atas kebebasan beragama dirasa mengalami “kemandulan”, sebab dalam praktiknya undang-undang tersebut tidak dapat di implementasikan dengan baik. Akan tetapi, keberadaan HAM di Indonesia ternyata tidak jauh berbeda dengan undang-undang yang telah disebutkan sebelumnya, masih mengalami “kemandulan”. Namun demikian, jika hukum yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia tidak, atau belum terimplementasi, masih saja terjadi pelanggaran di sana-sini baik oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, dapat dipastikan tidak berakibat fatal dan menjadi ancaman bagi Indonesia di mata dunia (internasional). Lain halnya dengan pelanggaran HAM berikut konvenan-konvenan yang telah diratafikasi, tentu akan berakibat fatal dan menjadi ancaman bagi Indonesia di mata dunia.
Pada pasal 5 bagian kedua Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik misalnya, dengan tegas disebutkan: pertama, tidak satupun ketentuan dalam konvenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada Negara, kelompok atau individu untuk terlibat dalam kegiatan atau melaksanakan suatu tindakan yang ditujukan untuk menghancurkan hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui di sini, atau untuk membatasinya lebih dari pada yang telah ditetapkan dalam konvenan ini; dan kedua, tidak boleh ada pembatasan atau pengurangan terhadap hak azasi manusia yang mendasar yang diakui atau yang berlaku di Negara peserta konvenan ini, menurut hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan alasan bahwa konvenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi dalam tingkatan yang lebih rendah.
Jika dicermati bunyi pasal di atas, maka ditemukan demikian banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud. Ironisnya pelanggaran-pelanggaran tersebut justru dilakukan oleh pemerintah sendiri, dengan turut mencampuri urusan keberagamaan masayarakatnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dijelaskan misalnya, pemenjaraan terhadap Usman Roy dan Lia Aminuiddin sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah karena telah mencampuri urusan keberagamaan umat (melanggar pasal 5 ayat 1 ICCPR); tidak terjaminnya kenyamanan Jamaah Ahmadiyah dari serangan fisik dan teror yang dilakukan masyarakat Islam pada umumnya (melanggar pasal 2 ayat 3 item pertama ICCPR). Jika ditinjau lebih jauh, tentu masih banyak pelanggaran-pelanggaran lain yang dapat ditemukan, seperti kasus terakhir yang dialami oleh Ahmad Mushadieq pimpinan al-Qiyadah al-Islamiyah.
Memang dapat ditemukan beberpa pasal dalam konvena tersebut yang memberikan kelonggaran bagi Negara yang turut meratafikasi konvenan ini untuk tidak mengikuti beberapa pasal kewajiban yang telah ditentukan. Seperti dapat ditemukan pada pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan “dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan Negara dan keadaan tersebut telah dinyatakan secara resmi, Negara peserta konvenan ini dapat mengambil upaya-upaya yang mengurangi (derogate) kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan konvenan ini, sejauh hal itu dituntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan langkah-langkah tersebut harus selaras dengan kewajiban-kewajiban Negara yang lain berdasarkan hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul social semata-mata”.
Anggaplah pelanggaran-pelanggaran HAM terkait dengan maslah kebebasan beragama di Indonesia sebagai situasi darurat, sehingga ada beberapa pasal yang kesannya “dilanggar”, tetap saja argumentasi semacam ini dirasa belum memadai untuk melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud. Sebab, beberapa pelanggaran atas hak kebebasan beragama di Indonesia agaknya tidak mempertimbangkan ketentuan yang dijelaskan pada pasal yang disebutkan di atas (pasal 4 ayat 1 ICCPR). Walaupun dalam praktiknya, tindak diskriminasi yang kerap dialami oleh beberapa kelompok yang dipandang sebagai “aliran sesat” terjadi karena alasan “meresahkan masyarakat”, namun keresahan-keresahan tersebut kurang cukup beralasan sebagai kondisi yang akan mengancam kehidupan Negara. Justru sebaliknya, tidak mustahil jika kebebasan beragama terbelenggu begitu ketat, sejarah “sekularisme” (penyingkiran agama dari kebijakan Negara) yang pernah terjadi di Eropa akan terulang di Indonesia, ini baru dapat disebut sebagai ancaman serius bagi kehidupan Negara.
Penutup: Krisis Peranan dan Krisis Kesadaran.
Mengapa iklim kebebasan beragam sulit untuk diwujudkan di Indonesia?, paling tidak ada dua faktor yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Krisis dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif merealisasikan undang-undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM sekalipun, pada dasarnya undang-undang Negara Indonesia terkait masalah kebebasan beragama sudah cukup memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran yang menyimpang.
Namun demikian, yang terjadi tidak menampakkan kondisi yang semestinya (dasolen). Pemerintah justru kurang mengambil peranan yang tepat dalam hal ini. Undang-undang yang telah dibentuk sedemikian rupa, dengan mengorbankan waktu dan tenaga, seolah tidak membuahkan hasil memuaskan, sehingga kita dapat melihat demikian banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada undang-undang dimaksud. Ironisnya, pemerintah terkesan menjadi kekuatan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut (dalam kasus kebebasan beragama). Banyak argumentasi untuk menyanggah pernyataan ini; penangkapan Usman Roy dan Lia Aminuddin mengindikasikan campur tangan pemerintah; atau yang paling kontras – konon, ketika kasus Amadiyah tengah menghangat dalam pembicaraan publik, Menteri Agama meminta mereka untuk membentuk agama sendiri.
Disamping peranan pemerintah untuk merealisasikan undang-undang (kebebasan beragama), tentu peranan lembaga-lembaga hukum lainnya sangat berpengaruh dalam permasalahan ini. Indonesia memiliki demikian banyak Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dimana suara mereka ketika terjadi tindak diskriminasi pada kelompok minoritas di negeri ini. Negara kita juga menyediakan biaya yang cukup besar untuk lembaga-lembaga resmi HAM, mengapa tidak terlihat ketika iklim kebebasan beragama dinodai?. Disinilah krisis peranan semakin jelas terlihat.
Krisis peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah yang mesti kita sadari.
Comments
Post a Comment