Situasi HAM di Indonesia: Kebebasan Beragama dan Aksi Kekerasan
Internationales Katholisches Missionswerk e.V.
Fachstelle Menschenrechte
Dr. Otmar Oehring (Hrsg.)
Postfach 10 12 48
D-52012 Aachen
Tel.: 02 41-75 07-00
Fax: 02 41-75 07-61-253
E-Mail: menschenrechte@missio-aachen.de
ISSN 1618-6222
missio-Bestell-Nr. 600 233
32001
Theodor Kampschulte
Situasi HAM
di Indonesia:
Kebebasan
Beragama dan
Aksi Kekerasan
Human Rights
Droits de l’Homme
Menschenrechte
Hak-hak Asasi Manusia
Fachstelle Menschenrechte
Dr. Otmar Oehring (Hrsg.)
Postfach 10 12 48
D-52012 Aachen
Tel.: 02 41-75 07-00
Fax: 02 41-75 07-61-253
E-Mail: menschenrechte@missio-aachen.de
ISSN 1618-6222
missio-Bestell-Nr. 600 233
32001
Theodor Kampschulte
Situasi HAM
di Indonesia:
Kebebasan
Beragama dan
Aksi Kekerasan
Human Rights
Droits de l’Homme
Menschenrechte
Hak-hak Asasi Manusia
Maksud dari ‚Departemen HAM’ di missio/Jerman ialah untuk mengembangkan pengetahuan
mengenai situasi hak asasi manusia di negara-negara Afrika, Asia dan Pasifik.
Dalam usaha mencapai tujuan ini kami ikut giat aktiv dalam jaringan kerja HAM dan
mendukung pertukaran pendapat antara mitra-mitra gerejani Missio di Afrika, Asia dan
Pasifik dengan tokoh-tokoh Gereja dan Politik di Republik Federal Jerman. Dalam serial
‘HAM’ kami mempublikasi studi berbagai negara, studi bahasan topik khusus dan hasil
lokakarya HAM.
Pembahasan mengenai kebebasan beragama dan aksi kekerasan di Indonesia beranjak
dari asas-asas UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan hak untuk menjalankan
ibadah sesuai dengan agama yang dianut untuk seluruh warga negara
Indonesia tanpa kecuali. Kini prinsip dasar tersebut dihadap-mukakan dengan realitas
kehidupan sehari-hari dalam negara dan masyarakat misalnya perusakan gedunggedung
gereja dan berbagai macam bentuk diskriminasi yang dialami kelompok-kelompok
minoritas agama dalam negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia.
Studi ini akan membahas secara mendalam bentuk-bentuk kekerasan di daerah-daerah
konflik dimana telah terjadi kerusuhan berdarah yang menjurus kepada perang agama.
Akan disimak bagaimana pihak pemerintah dan aparatnya serta bagaimana mediamassa
dan masyarakat luas menanggapi aksi kekerasan yang menimpa kaum minoritas
agama. Terutama akan dibahas pula bagaimana reaksi gereja atas ancaman terhadap
kebebasan beragama dan atas kenyataan tidak berlakunya tata hukum.
Published/Planned Publications
1/2001 Human Rights.
Religious Freedom in the
People’s Republic of China
in German (2001) – Order No. 600 201
in English (2002) – Order No. 600 211
in French (in preparation) – Order No. 600 221
2/2001 Human Rights in the DR Congo.
1997 until the Present Day.
The Predicament of the Churches
in German (2002) – Order No. 600 202
in English (2001) – Order No. 600 212
in French (2002) – Order No. 600 222
3/2001 Human Rights in Indonesia.
Violence and Religious Freedom
in German (2001) – Order No. 600 203
in Indonesia (2002) – Order No. 600 233
in English (in preparation) – Order No. 600 213
in French (in preparation) – Order No. 600 223
4/2001 Human Rights in East Timor.
The DifficultWay towards a State and Nation Building
in German (2001) – Order No. 600 204
in English (in preparation) – Order No. 600 214
in French (in preparation) – Order No. 600 224
5/2001 Human Rights in Turkey.
Does Laicism Mean Religious Freedom?
in German (2001) – Order No. 600 205
in English (in preparation) – Order No. 600 215
in French (2002) – Order No. 600 225
6/2002 Christians Persecuted?
Documentation of an International Conference
Berlin 14/15 October 2001
in German/English/French (2002) – Order No. 600 206
7/2002 Female Genital Mutilation.
Evaluation of a Survey Conducted among Staff Members
of Catholic Church Institutions in 19 African States
in German (in preparation) – Order No. 600 207
in English (in preparation) – Order No. 600 217
in French (in preparation) – Order No. 600 227
8/2002 Female Genital Mutilation.
A Report on the Present Situation in Sudan
in German/English/French (2002) – Order No. 600 208
1
27 V. Ringkasan dan Perspektif
Masa Depan
29 VI. Tuntutan untuk Kebebasan
Beragama di Indonesia
30 Sumber Penulisan
31 Catatan Kaki
Daftar Isi
2 Data-Data Umum Tentang
Indonesia
Situasi HAM di Indonesia:
Kebebasan Beragama dan
Aksi Kekerasan
3 Kata Pengantar
4 I. Prinsip-Prinsip Dasar
4 UUD 1945
7 Hukum Syariat
9 II. Situasi Realitas kini
9 Pengrusakan Gedung-Gedung
Gereja
12 Diskriminasi
14 III. Puncak Konflik
14 Konflik Maluku
14 – Peperangan dan Pengrusakan
17 – Pemaksaan Masuk Islam
18 – Sebab-musabab
21 Konflik di Daerah Poso
22 Daerah-Daerah Konflik lain
23 IV. Reaksi Pemerintah dan
Masyarakat
23 Negara dan Aparatnya
25 Pendapat Umum
25 Gereja-Gereja
2
Data-Data Umum Tentang Indonesia
Nama negara Republik Indonesia
Luas wilayah lebih dari 13.600 pulau (sekitar 1000 diantaranya dihuni
manusia) membentang dari Barat ke Timur di Katulistiwa
sepanjang 5.000 km dengan luas wilayah 1,9 juta km persegi
Jumlah penduduk sekitar 228,5 juta (perkiraan pertengahan tahun 2001)
Penduduk usia di
bawah 15 tahun: 30,26%
Pertumbuhan
penduduk: 1,6% per tahun
Usia rata-rata: 68,3 tahun
Angka buta huruf: 16% (pria: 10,4%, wanita 22%)
Bahasa nasional Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang
berasal dari Bahasa Melayu yang telah dikembangkan.
Di samping itu masih ada sekitar 200 bahasa daerah dan
lebih dari 170 dialek.
Bentuk pemerintahan Republik Presidensil
Badan legislatif 500 anggota DPR (termasuk 38 wakil TNI/POLRI yang
ditunjuk) 700 anggota MPR (termasuk 500 anggota DPR).
MPR bersidang sekali setahun, menentukan GBHN, berhak
memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk masa jabatan
5 tahun serta berhak memberhentikan Presiden dari
jabatannya.
Struktur pemerintahan Ibu kota negara Jakarta dengan 27 (s/d tahun 2001) propinsi
(termasuk 3 daerah istimewa yakni: Jakarta, Yogyakarta dan
Aceh) dengan Gubernur dan DPRD I sebagai pucuk pemerintahan
propinsi.
Agama 85% Islam Sunni, 5% Protestan, 3% Katolik, 2% Hindu
(khusus Bali),1% Buddha dan Konghucu (terutama dari
suku Tionghoa), disamping itu masih ada lagi penganut
agama suku dan agama penganut animisme.
Sumber data: Munzinger Archiv; The World Factbook 2001
3
Kata Pengantar
Indonesia kini sedang berada pada persimpanan jalan sejarahnya, yang beberapa
waktu sebelumnya tak ada seorangpun yang dapat menduganya. Setelah
TIMTIM berhasil memisahkan diri dari Indonesia, masih terdapat lagi dua
daerah konflik bersenjata, yakni di propinsi Aceh di ujung Barat dan Papua (Irian
Jaya) di ujung Timur kepulauan Nusantara. Di daerah tersebut membara tuntutan
dan aspirasi rakyat yang telah hidup puluhan tahun berjuang untuk hak-haknya.
Dan di daerah Maluku1 kerusuhan-kerusuhan telah mencapai tingkat kekejaman
yang mengerikan. Tawuran antar-warga telah berkembang menjadi semacam
perang agama yang mengakibatkan jatuhnya korban nyawa manusia,
kerugian harta benda pribadi dan prasarana umum serta jumlah pengungsi
yang sedemikian besarnya, sehingga jauh melebihi korban dan kerugian yang
dialami TIMTIM.
Juga di daerah-daerah lain terdapat potensi-potensi konflik terpendam yang
dapat pecah menjadi konflik terbuka dan sering tertuju pada kelompok minoritas
Kristen. Menurut seorang pengamat, Indonesia telah menjadi sebagai
“Juara dunia pembakar gereja”2. Namun harus disebutkan pula, bahwa dalam
konflik Maluku juga banyak mesjid yang dirusak massa.
Topik pembahasan kita ialah mengenai situasi HAM, yang menyangkut
kebebasan beragama serta pelanggaran yang terjadi akibat aksi kekerasan dan diskriminasi
di Indonesia dewasa ini. Untuk itu sebagai tahap pertama akan dikemukakan
dasar-dasar hukum, jaminan konstitusi serta posisi masing-masing kekuatan
politik yang relevan. Langkah kedua akan membahas realitas kebebasan
beragama dewasa ini dan mengulas pembakaran gedung-gedung gereja dan tindakan-
tindakan diskriminatif lainnya. Tahap ketiga akan mengupas konflik
kekerasan yang terjadi di beberapa daerah, dimana masing-masing pihak bertindak
dengan mengatasnamakan agama. Dalam bagian keempat akan dibahas
reaksi pemerintah dan masyarakat serta Gereja-gereja sendiri. Bagian kelima akan
memberikan sebuah rekapitulasi dan prospeksi ke masa depan. Bagian penutup
akan memuat pernyataan dan tuntutan untuk mencabut segala bentuk rintangan
bagi kebebasan beragama di Indonesia.
4 5
parpol-parpol tidak lagi berkewajiban untuk mencantumkan Pancasila sebagai
satu-satunya asas organisasinya. Kini Pancasila telah dibebaskan dari kegiatankegiatan
berlebihan dari zaman Soeharto dengan kewajiban untuk bermoral
Pancasila dan bermacam ragam penataran P4. Kini orang telah menemukan kembali
jatidiri asli dari Pancasila. Kembali yang menjadi inti dari Pancasila ialah kompromi
dasar yang menjamin kesatuan bangsa. Semestinya demikian. Namun hal
itu tidak lagi diterima oleh partai-partai Islam yang baru dan kelompok-kelompok
fanatik.
Sikap partai-partai dan pemimpinnya terhadap Pancasila tidak lagi seragam.
Untuk partai-partai yang berhaluan nasionalis, yang kini menjadi mayoritas di
DPR, Pancasila tetap merupakan dasar negara dan dasar kehidupan masyarakat.
Kelompok utama yang menganut haluan ini adalah PDI/P dari Presiden Megawati
Soekarnoputri, yang sebagai partai berasal dari PNI, partai dari Pendiri
Republik yaitu Soekarno dan dengan tradisi tersebut tetap mempertahankan
Pancasila. Hal demikian juga berlaku untuk GOLKAR, partai yang berkuasa di
zaman Soeharto, akan tetapi di dalamnya terdapat sebuah faksi Islam yang
kuat. PKB yang merupakan partai dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid
memandang Pancasila sebagai humanisme religius yang dianutnya. Partai PAN
yang dipimpin Amien Rais, yang dengan 7% suara merupakan partai terbesar
kelima, juga mengakui Pancasila sebagai dasar perjuangannya, walaupun dalam
partai tersebut terdapat unsur Islam yang kuat.
Di pihak lain terdapat partai-partai Islam yang memakai Islam sebagai asas,
tujuan dan kegiatan perjuangannya. Pemberlakuan syariat Islam sebagai hukum
negara menempati prioritas utama. Hal ini terutama berlaku pada partai-partai
kecil seperti Partai Keadilan dan Partai Bulan Bintang, namun juga bagi partai
yang lebih besar yang telah ada di zaman Soeharto yaitu PPP, yang ketua umumnya
dewasa ini menjabat sebagai Wapres RI.
Atas dasar Pancasila, maka Indonesia bukanlah sebuah negara sekuler dan
juga bukan sebuah negara yang didominasi oleh agama dari kalangan mayoritas
penduduknya. Pasal 29 UUD 1945 berbunyi: “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.” Dengan demikian, arti dan kebebasan beragama
dijamin oleh UUD. Dalam pelaksanaan ketentuan hukum dari UUD tersebut ternyata,
bahwa kebebasan beragama diartikan secara amat terbatas. Sejak “Maklumat
Bogor” yang dikeluarkan Menteri Agama tahun 1963 di Indonesia hanya
terdapat lima agama yang dapat diakui dan karena itu yang dapat diwakili oleh
sebuah Direktorat Jenderal di Departemen Agama. Kelima agama tersebut
ialah:Islam, Protestan, Katolik, Budha dan Hindu-Bali. Pada tahun 2000 mela-
I. Prinsip-Prinsip Dasar
1.UUD 1945
Sebelum kemerdekaan telah terjadi perdebatan yang intensip dan rasionil tentang
dasar negara yang akan didirikan di Indonesia. “Dalam Komite Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk Jepang telah terjadi pertentangan yang
kelihatannya tidak dapat dikompromikan antara para pengikut paham negara
nasional yang sekuler dan pendukung negara Islam. Dalam situasi demikian itu
maka Soekarno mengemukakan gagasan untuk mendirikan negara atas dasar lima
prinsip yang oleh beliau disebut Pancasila yaitu nasionalisme, perikemanusiaan,
demokrasi, keadilan sosial dan Ketuhanan Yang Mahaesa. Baik golongan nasionalis
maupun wakil-wakil Islam menyetujui gagasan Soekarno tersebut. Namun
golongan yang terakhir ini mendesak agar Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan
sila pertama dan harus dicantumkan dengan jelas, bahwa kaum Muslimin berkewajiban
untuk menjalankan Syariat Islam. Tuntutan ini sesuai dengan apa yang
disebut Jakarta Charter tertanggal 22 Juni 1945”3, yang ingin memberlakukan
hukum syariat dalam segala aspek kehidupan umat Islam dengan sangsi sipil.
Akan tetapi, karena ancaman daerah-daerah Indonesia Timur yang bukan Islam,
kalau terpaksa mereka akan mendirikan negara sendiri, maka kalimat UUD
yang diinginkan golongan Islam tadi demi untuk kesatuan bangsa oleh ’founding
fathers’ digugurkan. Namun suara tuntutan tersebut tidak pernah membisu
dan bahkan kini memicu perdebatan sengit di kalangan politisi yang berkepentingan.
Menurut UUD 1945 kelima sendi dasar dari Pancasila merupakan fundamen
dan atas dasar ini berbagai daerah negara Indonesia dengan beragam bahasa, kebudayaan
dan agama dapat bergabung dalam sebuah negara kesatuan nasional.
“Pancasila merupakan ungkapan sebuah kompromi yang mendasar antara kekuatan-
kekuatan nasionalis dan Islam, dan dengan demikian persatuan nasional
Indonesia dapat terwujud. Pancasila merupakan ungkapan kesediaan mendasar
kedua aliran ideologis untuk bersama-sama mendirikan sebuah negara, di mana
semua orang Indonesia dapat merasa betah”4. Secara formil hingga hari ini
Pancasila masih dipandang demikian oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Namun perlu diingat, bahwa relevansinya telah memudar. Mungkin ada semacam
trauma yang ditimbulkan oleh tindakan berlebihan dari rezim Soeharto, yang
telah memanipulir Pancasila sebagai lambang dari politik kekuasaannya yang
anti-demokratis. Di zaman Soeharto, Pancasila telah disakralkan dan oleh militer
dijaminkan secara paksa. Kini Pancasila masih merupakan mata pelajaran wajib
di sekolah-sekolah namun tidak lagi di perguruan tinggi. Juga ormas-ormas dan
6 7
kelompok moderat, yang selalu menolak setiap usaha untuk membiarkan agama
diatur oleh negara. Apabila hukum syariat dijalankan, hukum agama menjadi
hukum negara yang mengikat dan hal itu merupakan sebuah langkah yang menentukan
dalam usaha untuk menegakkan sebuah negara Islam.
Ada beberapa kelompok Islam yang berusaha keras untuk menancapkan
dominasi Islam dan undang-undangnya dalam negara dan masyarakat. Sebagai
contoh dapat disebut ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Menurut
berbagai pengamat kini ICMI telah menempatkan orang-orangnya di mana-mana
dalam pemerintahan dan birokrasi, parpol-parpol, militer serta perguruan tinggi.
Tujuan ICMI ialah menguasai segala posisi penting dalam negara dan masyarakat,
sehingga timbul kekhawatiran bahwa mula-mula organisasi tersebut akan
mendepak orang-orang Kristen, lalu kemudian juga kelompok Muslim yang
moderat6.
Apa yang dulu pernah dikatakan oleh Dieter Becker ternyata kini masih berlaku:
“Di balik pertentangan antara kalangan Islam dan Nasionalis terdapat unsurunsur
antagonis yang menyangkut segi filosofis dan keimanan yang memisahkan
kedua belah pihak. Sikap kelompok Islam terhadap UUD dan Pancasila setelah
kegagalan Jakarta Charter ditentukan oleh keinginan, supaya para pemeluk
Islam diwajibkan kalau tidak melalui UUD, sekurang-kurangnya melalui undangundang
dan peraturan lain agar mentaati syariat Islam”7.
Dalam hal UU Perkawinan dan UU Warisan ternyata kelompok Islam berhasil
mencapai tujuannya8. Secara hukum yang berwenang untuk mengesahkan
pernikahan adalah pejabat agama yang dianut oleh orang yang bersangkutan.
Yang akan menjadi sulit apabila terjadi perkawinan campur, adalah apabila
salah satu partner beragama Islam. Sebagai syarat bagi perkawinan Islam dalam
kasus semacam ini ialah bahwa partner yang bukan Islam harus lebih dahulu
masuk agama Islam. Sebaliknya, seorang partner Muslim yang pindah ke agama
lain akan kehilangan seluruh hak warisnya, karena yang menentukan masalah
waris ialah pengadilan agama Islam dan pengadilan tersebut menghapus semua
hak waris bagi orang yang meninggalkan agama Islam.
2. Hukum Syariat
Apa artinya, apabila hukum syariat di Indonesia diberlakukan di dalam badan
negara dan masyarakat? Mengenai hal ini tidak ada jawaban yang tegas, baik dari
pihak yang secara gencar atau dengan fanatis mempropagandakannya, maupun
dari pihak yang skeptis atau yang menolak pemberlakuan syariat Islam. Inti dari
pemberlakuan hukum syariat ialah, bahwa hukum Islam dijadikan wajib bagi
seluruh pemeluknya. Hukum syariat harus dijadikan sumber hukum resmi dan
lui sebuah Keppres oleh Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden pada masa itu,
agama Konghucu diakui kembali sebagai agama keenam.5
Agama-agama minoritas lain dapat hidup sesuai agamanya masing-masing
selama tidak melanggar undang-undang dan peraturan yang berlaku. Maka dari
itu aliran Saksi Jehovah dilarang karena mereka tidak membayar pajak dan
tidak menghormati bendera nasional serta menolak wajib militer dan melarang
anak-anaknya untuk masuk sekolah-sekolah negeri. Demikian juga sekte-sekte
Islam seperti “Darul Ar’kan” berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
sama dilarang pemerintah. Semua sekte Kristen berada dibawah pengawasan
Dirjen Bimas Kristen Protestan, Departemen Agama.
Khusus di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat apa yang disebut
“Aliran Kepercayaan” yang merupakan sebuah aliran kepercayaan mistik Jawa
yang dipengaruhi oleh tradisi Jawa-Hindu dan beranggotakan sekitar 30 sampai
40 juta pemeluk. Hingga kini kelompok ini tidak berhasil untuk memperoleh
pengakuan sebagai sebuah agama yang berdiri sendiri. Mereka tetap terdaftar
sebagai pemeluk Islam, namun praktek-praktek keagamaannya bagi kaum
Muslim puritan merupakan sesuatu yang mengganggu mereka.
Kebebasan beragama menurut hukum telah ditafsirkan secara resmi -lebihlebih
di zaman Soeharto- sebagai suatu kewajiban untuk menjadi anggota salah
satu dari lima agama yang resmi. Yang terkena peraturan semacam ini ialah penganut
agama alam atau agama suku, sebagaimana halnya dengan suku Dayak di
Kalimantan, yang oleh karenanya secara besar-besaran lalu pindah agama menjadi
Kristen.
Bagi orang yang tidak menganut kepercayaan agama tertentu, maka tidak
berlaku kebebasan tidak beragama seperti yang dikenal di masyarakat Barat
yang demokratis itu, karena sebenarnya orang tidak beragama tidak boleh ada
di Indonesia. Siapa yang tidak menganut agama dianggap komunis dan di
zaman Soeharto hal ini dapat mengancam kebebasan dan hidup seseorang.
Sekarang keadaannya sudah agak lunak bagi kaum ateis. Namun perlu diingat,
bahwa tetap tidak boleh ada organisasi atau publikasi dan propaganda bagi ateisme.
Karena hal tersebut dianggap melanggar hukum.
Kebebasan beragama sesuai UU didukung oleh kekuatan politik yang besar
dengan pengecualian beberapa partai Islam, yang menginginkan agar golongan
mayoritas Muslim Indonesia diwajibkan oleh negara untuk menjalankan syariat
Islam sebagai ganti dari kebebasan beragama. Selama sidang MPR tahun
2000, rancangan untuk menambah pasal-pasal UUD yang bersangkutan dengan
hal ini ditolak oleh kaum nasionalis, yang memegang suara mayoritas. Rancangan
tersebut masuk ke dalam agenda kerja Panitia Ad Hoc I dan sejak itu diperdebatkan
secara sengit. Dalam hal ini kaum Islam garis keras berhadapan dengan
8 9
awal tahun 2001. Walaupun menurut undang-undang tersebut urusan politik
tertentu termasuk urusan agama tetap dibawah wewenang pemerintah pusat,
namun di banyak propinsi otonomi perubahan ini diartikan sebagai kebebasan
untuk segala-galanya, termasuk yang menyangkut pemberlakuan syariat Islam.
Setelah DPR RI mengesahkan UU Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, maka propinsi-
propinsi lain seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Barat ingin berbuat yang
sama.
II. Situasi Realitas kini
1. Pengrusakan Gedung-Gedung Gereja
Termasuk sebuah realitas hidup di Indonesia dewasa ini ialah, adanya tindakankekerasan
terhadap agama dan simbol-simbolnya. Yang pertama-tama perlu
dikemukakan di sini ialah angka pengrusakan gedung-gedung gereja dan sarana
kegerejaan yang kian meningkat. Sejak berdirinya Republik Indonesia hingga
Nopember 2001 telah tercatat 858 buah gereja yang dirusak, baik secara total atau
mengalami kerusakan berat serta dilarang atau ditutup oleh aparat negara10. Pengrusakan
gereja dapat berupa pelemparan batu yang memecahkan kaca jendela
atau pintu, penghancuran bagian dalam gereja termasuk perlengkapan sakral dan
Kitab Sucinya, sampai pembakaran gedung ibadah. Dalam angka tersebut di atas
tidak termasuk jumlah rumah pastor dan pendeta, gedung paroki, sekolah,
taman kanak-kanak, asrama suster dan rumah yatim-piatu serta prasarana lain
milik gereja yang dirusak dalam kurun waktu yang sama.
Yang mengejutkan ialah kenaikan drastis angka jumlah gereja yang dirusak,
yang terlihat dengan jelas pada angka pengrusakan setiap bulan (yang ditulis dengan
angka dalam tanda kurung). Selama masa pemerintahan Presiden RI yang pertama,
Soekarno, yang berlangsung 21 tahun, hanya 2 buah gereja yang dirusak
(berarti rata-rata 0,008 buah per bulan). Sedangkan selama pemerintahan Soeharto,
yang berlangsung 32 tahun, ada 456 gereja yang dirusak (berarti setiap bulan
1,2 gereja). Dalam 17 bulan pemerintahan Habibie ada 156 gereja yang dirusak
(rata-rata 9,2 per bulan). Dan selama 21 bulan pemerintahan Abdurrahman
Wahid terdapat 232 gereja yang dirusak (rata-rata 11 per bulan), dan dalam 4 bulan
pertama pemerintahan Megawati Soekarnoputri sudah ada 12 gereja yang dirusak
(rata-rata 3 per bulan)11. Dalam angka-angka tersebut termasuk pengrusakan yang
terjadi di daerah-daerah konflik Maluku dan Poso (Sulawesi Tengah), di mana sejak
awal tahun 1999 sudah 192 gereja (dan 28 mesjid) dihancurkan atau dirusak.
semua hukum negara harus diundangkan berdasarkan asas-asas Islam. Para
pendukung gerakan ini ingin mendirikan sebuah masyarakat Islam sesuai dengan
contoh masyarakat Medina di zaman Nabi Muhammad, sehingga kelompokkelompok
agama minoritas, terutama kaum Kristen, walaupun ditolerir sebagai
“golongan yang dilindungi”, tidak mempunyai hak yang sama dengan kaum
Muslimin yang mayoritas. Dengan demikian mereka menjadi warga-negara
kelas dua9.
Tradisi agama setempat dipandang sebagai tahayul. Kebiasaan-kebiasaan ini
dianggap bertentangan dengan Islam yang benar, maka harus “dibersihkan”. Termasuk
aliran kepercayaan mistik Jawa yang dianut oleh puluhan juta orang Jawa.
Para pengikut Islam puritan sangat dipengaruhi oleh ideologi Arab Saudi, di mana
pencurian dan perzinahan dsb. dihukum dengan sangat keras seperti di zaman
abad pertengahan. Kaum fanatik juga menuntut, agar di Indonesia minuman
keras dilarang. Bagi perempuan dan anak-anak gadis berlaku peraturan berbusana
yang keras, yakni kalau berada di luar rumah mereka harus mengenakan
cadar. Juga perekonomian bangsa harus di-Islam-kan. Ini berarti, tidak boleh ada
pemungutan bunga dan sebagai pengganti akan dipakai sistem bagi hasil. Mendahului
perkembangan ini, kini golongan radikal yang terhimpun dalam Front
Pembela Islam (FPI), sudah menggunakan cara-cara kekerasan seperti merusak
iklan minuman keras atau menutup pusat perjudian.
Para pendukung syariat yang moderat menolak cara-cara kekerasan. Mereka
memandang syariat sebagai cara hidup kaum Muslimin seperti halnya para
pemeluk agama yang lain atau kelompok etnik tertentu yang menjalani hukum
adat dan kebiasaannya. Menurut mereka, syariat Islam secara umum dapat diartikan
sebagai etika dan moral kehidupan dan secara sempit sebagai hukum
Islam yang pelaksanaannya di setiap negara Islam dan di setiap sistem masyarakat
dijalankan secara berbeda-beda. Misalnya di Arab Saudi syariat Islam
dilaksanakan dengan keras, sedangkan di Mesir, dan demikian juga nanti di Indonesia,
akan dijalankan agak longgar dan kurang represif.
Para penentang kewajiban hukum syariat yang dikontrol oleh negara, menolak
untuk terjebak dalam penjelasan-penjelasan tersebut. Yang dikhawatirkan
ialah sistem pemaksaan. Yang sangat merasa khawatir ialah para pemeluk agamaagama
minoritas. Timbul gerakan perlawanan di dalam masyarakat dan media
massa yang terutama dipelopori oleh kelompok-kelompok pemberdayaan perempuan.
Orang menentang adanya polisi syariah yang dapat mengawasi kehidupan
orang sehari-hari.
Ada pertanyaan, berapa besar kemungkinan bagi berlakunya hukum syariat
Islam di Indonesia. Dan harus diakui, bahwa peluang tersebut meningkat secara
drastis dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah bagi semua propinsi sejak
10 11
bersikap mencurigai dan menolak pembangunan. Mereka merasa, bahwa kehidupan
yang sedemikian sederhana dan diwarnai oleh Islam, telah mendapat ancaman
dengan datangnya pengaruh dunia Barat. Maka dari itu, mereka bangkit
untuk merusak segala simbol modernitas seperti perbankan, supermarket, pabrik
dan juga gereja. Pola kekerasan semacam ini menurut pengamatan para pakar
tadi antara lain juga terjadi pada kerusuhan-kerusuhan yang melanda Surabaya,
Situbondo, Banjarmasin dan tempat lainnya.
Tampak jelas, bahwa khusus serangan terhadap gereja-gereja Kristen dan Katolik
bukanlah pengrusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang mata gelap.
Karena serangan-serangan tersebut tidak terjadi secara spontan, tetapi secara nyata
dilaksanakan dengan perencanaan yang matang. Tampaknya sering terjadi,
bahwa orang hanya menunggu sebuah alasan kecil untuk menghasut warga guna
mengambil tindakan kekerasan melawan pihak gereja. Pada tahap pertama
biasanya diedarkan selebaran gelap yang memperingatkan warga akan bahaya
Kristianisasi. Pada saat pengrusakan jarang terjadi, bahwa para tetangga di sekitar
lokasi ikut terlibat. Bahkan sebaliknya, seringkali mereka berusaha melindungi
gedung-gedung Kristen. Ujung tombak dari massa yang menyerang pada umumnya
adalah mahasiswa dan pelajar dari lembaga-lembaga pendidikan Islam
yang telah digembleng secara fanatik14. Mereka memperlengkapi diri dengan bom
molotov dan bensin serta meneriakkan “Allahu Akbar”. Merekalah yang memimpin
aksi-aksi penyerangan15. Dalang kerusuhan yang sebenarnya belum pernah
dapat ditangkap. Namun ada banyak bukti yang mengindikasikan bahwa kelompok
fanatik Islam memanfaatkan momen serta kekecewaan dan nafsu merusak
dari massa untuk kepentingan kelompoknya. Aksi-aksi tersebut juga menyangkut
jumlah dana yang besar, sebagaimana yang sering diisukan. Pemuda-pemuda
yang menurut saksi mata dalam jumlah besar diangkut dengan truk, mudah
diikutsertakan, apabila diberi imbalan uang, meskipun tidak seberapa.
Hingga kini para penyerang merusak gedung-gedung dan prasarana lainnya
sedangkan jatuhnya korban manusia masih merupakan efek sampingan. Hal ini
dapat dilihat pada pembakaran Gereja Pentakosta Pusat Surabaya di Situbondo
di mana sepasang misionaris tua serta putri dan cucunya bersama seorang
perempuan muda lainnya dari rumah tetangga dilalap api dan terbakar sampai
mati. Pada umumnya aksi kekerasan tidak bertujuan untuk membunuh manusia..
Tujuan mereka adalah untuk menimbulkan keresahan di kalangan warga
Kristen, seperti halnya setelah terjadi peristiwa bom di sejumlah gereja pada Hari
Natal 2000, dimana banyak umat lalu takut pergi kerumah ibadah untuk mengikuti
upacara kebaktian.
Para pengamat menunjukkan bahwa apabila angka-angka dari daerah-daerah konflik
tidak ikut diperhitungkan, maka angka rata-rata gereja yang dirusak menunjukkan
suatu penurunan12. Apabila data statistik mengabaikan kerusuhan-kerusuhan
di Maluku dan Poso, maka di tahun terakhir kekuasaan Soeharto (1997/98)
rata-rata ada 8,3 gedung gereja per bulan yang dirusak, selama masa Habibie hanya
6,6 dan selama masa Abdurrahman Wahid menurun menjadi 4,3. Dan dalam
pemerintahan Megawati Soekarnoputri angka tersebut turun lagi menjadi hanya
2 per bulan. Apakah ini merupakan sebuah tanda yang memberi harapan atau
apakah pengrusakan kini dialihkan kedaerah-daerah konflik, hanya masa depan
yang akan dapat membuktikan.
Ada bermacam tafsiran terhadap fenomena aksi kekerasan tersebut yang
sangat diderita oleh kaum minoritas agama di Indonesia. Dan jika masalah ini
dibandingkan dengan tempat-tempat lain di Asia Tenggara tidak terdapat persamaannya.
Ada yang mengacu pada potensi konflik bersamaan dengan meningkatnya
ketegangan sosial, yang menyangkut angka pengangguran yang tinggi.
Secara tidak resmi pengangguran sudah mencapai lebih dari 40 %, khususnya di
kalangan kaum muda. Menurut beberapa survey tampak jelas, bahwa pengrusakan
gedung-gedung gereja sering terjadi bersamaan dengan timbulnya kerusuhan
massal. Sebagai contoh disebutkan kerusuhan yang pecah pada tanggal 26
Desember 1996 di kota Tasikmalaya (Jawa Barat) dan sekitarnya13. Hanya dalam
waktu 24 jam saja massa fanatik telah merusak 15 buah gereja berbagai denominasi
Kristiani dan pula berbagai gedung dan prasarana umum misalnya: 18 kantor polisi,
3 hotel, 6 bank, 8 pabrik, 7 supermarket, 4 sekolah Kristen, 8 showroom
mobil dan lagi 89 toko dan restoran milik orang Tionghoa, dan lebih dari 100
buah mobil. Melihat kerusuhan yang begitu besar, perlu dicatat bahwa penyebabnya
hanya masalah sepele, walaupun juga mengandung unsur rawan. Kejadiannya
ialah bahwa pada hari sebelumnya seorang Kiai Islam dianiaya secara berat
di sebuah kantor polisi. Namun kedua belah pihak, yakni kepala polisi dan kepala
pesantren terdekat telah sepakat untuk menyelesaikan masalah tersebut secara
damai. Tetapi keesokan harinya, para santri yang tidak puas dengan penyelesaian
tersebut, menggelar di mesjid besar sebuah doa protes yang selanjutnya oleh
anasir-anasir radikal dialihkan menjadi aksi unjuk rasa dengan menggunakan
kekerasan. Dalam aksi penjarahan dan pengrusakan selanjutnya ikutserta lebih
dari 10 ribu massa, yang didatangkan dari desa-desa di sekitarnya. Akibatnya aparat
keamanan tidak dapat lagi mengendalikan situasi di tempat.
Bagaimana kita dapat menjelaskan potensi kekerasan dan keinginan merusak
yang ada pada massa? Para pakar yang membuat survey tadi berpendapat,
bahwa masalah tersebut terutama menyangkut rakyat pedesaan yang dirugikan
arus pembangunan dan tidak ikutserta menikmati kemajuan, sehingga mereka
12 13
dilakukan seandainya umat Kristen dilarang untuk menjalankan kebaktian di
rumah-rumah pribadi19. Dilain pihak bantuan dari negara diberikan dengan
mudah untuk membangun banyak mesjid.
Sekolah-sekolah Kristen di Indonesia, karena mutu dan disiplinnya, banyak
diminati juga oleh murid-murid dari agama lain, termasuk agama Islam. Para
orangtua sebelum mendaftarkan anaknya ke sekolah Kristen membuat pernyataan
atas persetujuannya, bahwa anak-anaknya boleh mengikuti segala pelajaran
termasuk agama Kristen di sekolah-sekolah tersebut. Namun ada keputusan
menteri pendidikan dan menteri agama yang menetapkan bahwa setiap murid,
juga di sekolah-sekolah swasta, harus mengikuti pelajaran agama yang dianutnya.
Dengan keputusan menteri tersebut pihak pengurus sekolah Kristen merasa,
bahwa kebebasannya dalam memberikan pelajaran amat dibatasi, karena mereka
diwajibkan memberikan pelajaran agama Islam dan dengan demikian sekolah
mereka kehilangan ciri ke-Kristenan-nya. Dalam bulan Maret tahun 2001 pihak
Depdagri mempertegas lagi dengan mengeluarkan peraturan, yang untuk sementara
hanya berlaku untuk kota madya Yogyakarta, yang mengatakan bahwa ijasah
akhir sekolah hanya akan diakui, apabila murid lulus ujian agama, dalam
hal ini agama yang dianut oleh murid yang bersangkutan. Dengan demikian,
bagi murid yang bukan beragama Kristen semakin mustahil untuk memasuki
sekolah swasta Kristen, walaupun hal tersebut sebenarnya dikehendaki orangtua
murid.
Juga perlu disebutkan tindakan-tindakan diskriminatif yang dialami oleh
kelompok-kelompok minoritas agama yang ‘tidak diakui’ dan terutama kelompok
yang tidak beragama, apabila mereka membutuhkan KTP. Dalam KTP hanya
agama yang diakui saja yang dapat ditulis. Kesulitan yang sama juga dialami oleh
kelompok ini apabila mengurus dokumen perkawinan atau kalau mereka ingin
menjadi pegawai negeri. Yang bersangkutan tidak dapat kawin secara resmi dan
hal ini memaksa calon pengantin untuk masuk salah satu agama ‘yang diakui’,
demi memenuhi persyaratan formil. Tentunya bagi kedua belah pihak hal ini
sangat tidak memuaskan, karena melanggar kebebasan menganut agama menurut
keyakinan masing-masing.
2. Diskriminasi
Secara resmi di Indonesia tidak ada undang-undang atau peraturan yang mendiskriminir
kelompok minoritas agama, namun dalam praktek keadaannya sangat
berlainan. Kini pegawai dan pejabat negara yang beragama Kristen, baik di
pemerintahan maupun di birokrasi, makin menghadapi kesulitan untuk naik
pangkat. Makin sering orang yang beragama Kristen hanya menduduki tempat
yang tidak penting, sedangkan yang beragama Islam mengambil posisi pimpinan.
Menurut pengamat hal ini juga berlaku di perguruan tinggi negeri. Dalam
TNI dan Polri beberapa tahun yang lalu orang-orang Kristen masih dapat menduduki
posisi komando tertinggi. Namun kini, menurut beberapa pihak, hal tersebut
sudah mustahil. Namun perlu dicatat, bahwa tidak semua pengamat
mempunyai pandangan yang pesimistis seperti itu dan ada yang mengemukakan,
bahwa orang-orang Kristen masih saja memegang posisi pimpinan dalam
jabatan publik16. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa, walaupun ada
pengecualian, pengaruh orang-orang Kristen dan kelompok minoritas lainnya
dalam jabatan publik makin terdesak.
Hal tersebut juga berlaku dalam partai-partai politik. Memang orang-orang
Kristen hingga kini masih mempunyai peluang dalam PDI/P, partainya Presiden
Indonesia sekarang, Megawati Soekarnoputri. Lain halnya dalam partai Golkar;
di awal era Soeharto orang-orang Kristen ikut mendirikannya, kini kelompok tersebut
telah tergeser dari posisi pimpinan. Partai baru PAN pada mulanya merupakan
partai yang terbuka untuk semua golongan masyarakat. Namun kini
terutama A.M. Fatwa, yang merupakan salah seorang tokohnya, berusaha untuk
membawa partai tersebut kegaris politik yang lebih berwarna Islam.
Satu diskriminasi berat yang banyak dikeluhkan oleh umat Kristen di banyak
daerah dengan penduduk mayoritas Islam atau Hindu di Bali, adalah dipersukarnya
proses permohonan izin untuk membangun gereja atau gedung paroki.
Aparat pemerintah selalu merujuk pada SKB Mendagri dan Menag dari tahun
196917, yang mengatakan bahwa IMB untuk gereja hanya dapat diberikan, apabila
40 kepala keluarga di lingkungan di sekitar lokasi memberikan persetujuan
secara tertulis. Bagi kelompok minoritas Kristen keadaanya amat sulit untuk memperoleh
persetujuan tersebut dari pihak Muslim. Selain itu di beberapa propinsi
pihak Pemda setempat secara de facto malah lebih keras menjalankan SKB tersebut18.
Perlakuan ini meningkat hingga kesewenang-wenangan dan tentu saja
merupakan tindakan melawan UUD yang menjamin hak semua warganegara
Indonesia untuk menjalankan ibadat sesuai agamanya masing-masing. Jelas
bahwa hak konstitutionil tersebut juga dilanggar, apabila aparat pemerintah melarang
umat Kristen untuk membangun kembali gereja yang sebelumnya telah dibangun
dengan syah, tetapi kemudian dirusak oleh massa. Pelanggaran yang sama
14 15
tentara tidak bertindak untuk menghentikan kerusuhan. Bahkan sebaliknya pihak
Kristen melaporkan, bahwa ada prajurit TNI yang telah ikut berperang di pihak
Muslim.
Sekitar pertengahan Maret kerusuhan di Ambon untuk sementara mereda,
namun di Maluku Tenggara di kepulauan Kei meletus konflik yang besar antara
kelompok agama dan suku. Banyak sekali kampung Kristen, terutama Protestan,
dan Islam menjadi rata dengan tanah. Puluhan ribu pengungsi mencari perlindungan
di sekolah-sekolah milik gereja dan gedung-gedung pemerintah.
Namun berkat pengaruh berbagai pihak, terutama dari Gereja Katolik dengan
didukung oleh hukum adat yang masih kental, maka permusuhan dapat diakhiri
dalam beberapa minggu saja. Perdamaian yang dicapai dapat dipertahankan hingga
kini hari.
Demikian juga di Ambon para pemuka agama dari kedua belah pihak berusaha
untuk menenangkan para pengikutnya. Gereja Katolik terutama Uskup
Ambon menempatkan diri sebagai penengah di antara pihak-pihak yang bertikai.
Sebab pada tahap pertama kerusuhan tampaknya golongan Katolik belum
terlibat dalam konflik berdarah tersebut. Crisis Centre keuskupan yang baru didirikan
membantu semua pihak yang membutuhkan pertolongan dan hingga kini
telah mengkoordinir bantuan untuk ribuan pengungsi dari Ambon dan pulaupulau
di sekitarnya. Di pihak Muslim yang menjadi pengungsi pada waktu awal
adalah pendatang berasal dari Buton dan Bugis, orang-orang yang biasanya
bekerja keras di bidang perdagangan kecil dan telah mencapai keberhasilan. Kini
mereka kehilangan semuanya. Kebanyakan dari mereka lalu kembali ketempat
asalnya di Sulawesi Selatan20. Di pihak lain banyak warga Kristen dari kepulauan
Maluku Utara yang terpaksa mengungsi ke daerah Kristen di Sulawesi Utara.
Sampai saat ini diperkirakan ada sekitar 500.00021 pengungsi di dalam dan di luar
wilayah Maluku dengan proporsi separuh orang Kristen dan separuh orang
Muslim22.
Menanggapi keadaan di belahan tahun kedua 1999 dengan meningkatnya
kerusuhan dan kekejaman, yang menimbulkan korban besar baik material (perumahan,
gedung ibadah) maupun nyawa di kedua belah pihak, berbagai upaya
untuk menciptakan perdamaian mulai muncul. Dalam hal ini yang perlu disebut
ialah “Gerakan Peduli Perempuan” yang sebenarnya juga ingin melibatkan
wanita Muslim, namun untuk sementara harus membatasi diri saja pada wanita
Katolik dan Protestan. Kelompok perempuan ini telah menghadap Gubernur,
Walikota Ambon, DPRD dan Kapolda untuk mengimbau, agar kerusuhan dihentikan
dan perdamaian dipulihkan. Kelompok ini juga melakukan banyak kegiatan.
Mereka mengumpulkan kaum muda dari kedua belah pihak yang bermusuh
dan mengadakan acara bersama untuk menghapus rasa benci yang ada pada
III. Puncak Konflik
1. Konflik Maluku
Konflik terbuka antara golongan Kristen dan Islam di Maluku pecah pada hari
raya Lebaran tahun 1999. Jika melihat kerusuhan yang terjadi sesudahnya hingga
kini dan pengrusakan yang begitu parah, maka penyebabnya dapat dikatakan
hal yang sepele. Waktu itu terjadi pertengkaran antara seorang pengemudi
taksi Kristen dan seorang preman Muslim, yang ingin memeras “uang setoran”
dari padanya. Dalam pertengkaran pribadi itu kedua pihak mendapat dukungan
dari masing-masing kelompok, sehingga timbullah perkelahian massal yang melibatkan
kedua golongan agama. Becak-becak mulai dibakar di jalanan dan perumahan
orang Kristen dan Islam ikut hancur karena api. Setelah tersebar isu,
bahwa gereja Siloe yang terkenal itu dibakar, maka massa pun berbondong-bondong
ke jalan. Dalam hubungan antara kelompok Kristen dan Muslim sebenarnya
sudah lama ada ketegangan dan kedua belah pihak rupanya sudah siap menghadapi
sebuah konflik. Ini dapat terlihat, bahwa sejak hari pertama kelompok
Kristen, yaitu Protestan, mengenakan ikat kepala yang merah sebagai tanda
pengenal dan kelompok Islam mengenakan ikat kepala berwarna putih.
Peperangan dan Pengrusakan
Pada pagi berikutnya di dua kampung Islam di kota Ambon tersiar berita, yang
kemudian ternyata tidak benar, bahwa Mesjid Al Fatah di Ambon telah dikepung
orang Kristen dan dibakar, serta banyak orang Muslim dibunuh. Hal ini membuat
orang Islam memobilisir dirinya, sama seperti yang terjadi di kalangan Kristen
sehari sebelumnya. Massa Islam mulai bergerak menuju Ambon dan di
tengah jalan mereka merusak sebuah gereja Katolik dan tiga gereja Protestan serta
membunuh 16 warga Kristen termasuk perempuan dan anak-anak. Kerusuhan
pun menyebar kebagian lain dari kota dan juga ke desa-desa dan berlanjut berhari-
hari sampai berminggu-minggu berikutnya dengan tingkat kebrutalan yang
makin tinggi dari keduabelah pihak.
Gelombang kekerasan dan pengrusakan juga timbul di pulau-pulau sekitarnya.
Seperti halnya dengan perkelahian antar suku di jaman dulu, warga kampung
yang satu menyerang kampung yang beragama lain dan menghancurkan
desa dan rumah-rumah ibadatnya. Kerapkali juga terjadi bahwa sebuah desa terlebih
dahulu menyerang desa yang lain, karena khawatir desa mereka akan diserang.
Satu kenyataan yang tak dapat dibantah ialah, bahwa di Ambon telah terjadi
pertempuran yang sengit dan kejam. Banyak korban manusia yang gugur
di masing-masing pihak. Yang menarik untuk disimak ialah, bahwa polisi dan
16 17
Yogyakarta. Di wilayah yang telah dikuasai Ja’far Umar Thalib di Ambon, telah
diberlaku syariat Islam. Dia telah menarik perhatian umum di Indonesia dan juga
di pers internasional, ketika dia pada tanggal 27 Maret 2001 menurut ungkapannya
sendiri “untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia” menjatuhkan
hukum rajam kepada seorang Muslim, anggota laskarnya, karena berzinah28.
Dewan pimpinan agama dan militer kaum Muslim di Ambon dalam sebuah pernyataan
menolak tuduhan pelanggaran HAM, karena perajaman tersebut semata-
mata merupakan ketaatan pada perintah Allah29.
Sejak kedatangan Laskar Jihad maka situasi perang saudara di Maluku menjadi
makin parah. Serangan-serangan dari kelompok Islam yang fanatik atas desadesa
dan perkampungan Kristen telah berubah menjadi aksi-aksi pembersihan
etnis dan agama. Kini golongan Katolik dengan gereja-gereja dan prasarana lainnya
tidak luput lagi dari serangan. Rumah sakit Katolik Hative di Ambon dibakar
habis. Demikian juga halnya dengan Universitas Kristen UKIM. Beberapa hari
kemudian Universitas Negeri Pattimurah yang didominir golongan Kristen juga
dihancurkan. Puluhan ribu umat Kristen kini mengungsi dan mencari perlindungan
dimarkas POLRI. Atas ultimatum Laskar Jihad terpaksa Kapolsek Batumerah
menyingkirkan para pengungsi Kristen.
Laskar Jihad terang-terangan mendapat dukungan dari kelompok-kelompok
TNI yang beragama Islam. Sebab, hanya dengan bantuan TNI pada tanggal 21
dan 22 Juni tahun 2000 pihak Laskar Jihad berhasil menyerang dan mengalahkan
kompleks POLRI di Tantui/Ambon termasuk tangsi dan asrama bagi 2000
keluarga dan membakarnya sampai habis. Pihak Laskar Jihad menyerang dua
gudang senjata dan berhasil menjarah 832 pucuk bedil, 8000 kotak aminisi dan
lusinan pakaian seragam Brimob30.
Pemaksaan Masuk Islam
Salah satu hal yang sangat menyedihkan dalam konflik Maluku ialah pemaksaan
masuk Islam. Walaupun pihak Islam dan pemerintah berusaha meredam
atau membantah isu tersebut, namun fakta dengan jelas membuktikan yang lain.
Bukan kebetulan bahwa perbuatan-perbuatan yang jelas melanggar HAM tersebut
terjadi sejak Laskar Jihad mengambil alih komando pimpinan atas golongan Islam
di Maluku.
Pada tanggal 23 Nopember 2000 dan hari-hari berikutnya kampung-kampung
Kristen di Pulau Kesui satu persatu di kuasai Laskar Jihad dan semua warga
yang melawan atau tidak melarikan diri dibunuh. Rumah-rumah dibakar dan
gereja-gereja dirusak31. Beberapa ratus orang Kristen berhasil mengungsi ke
pulau tetangga. Sekitar 625 orang Katolik dan Protestan mula-mula berhasil mengungsi
ke pedalaman pulau. Namun karena luas pulaunya kecil, maka akhirnya
mereka. Atas usaha mereka maka kota bagian Nania dan Pohon Pule di Ambon
dinyatakan sebagai zona damai. Namun kedua pihak yang bertikai menolak usaha
mereka. Ibu-ibu Muslim yang ingin bergabung mendapat ancaman dari orang
mereka sendiri.
Akhir Desember 1999 konflik baru timbul lagi, ketika gereja Protestan Siloe
di Ambon yang bersejarah itu dibakar hingga tersisa tembok-tembok dasarnya
saja. Sebagai balasan terhadap tindakan itu maka mesjid besar di Ambon dibakar
juga. Namun dalam bulan Februari 2000 suasananya menjadi tenang kembali.
Di kedua belah pihak timbul makin banyak suara yang menghendaki dihentikannya
pembunuhan dan kekerasan yang tak berguna itu. Tetapi kemudian
muncullah para pelaku baru yang menghancurkan semua harapan bagi tercapainya
perdamaian. Dari bulan Maret hingga Mei sekitar 10.00023 anggota Laskar Jihad
datang dari Jawa. Dengan demikian keadaanpun berubah secara radikal. Hingga
saat itu dalam pertikaian antara penduduk setempat, baik golongan yang beragama
Kristen maupun Islam pada umumnya menggunakan senjata-senjata sederhana
atau yang dirakit sendiri, sehingga ada keseimbangan antara kedua belah pihak.
Namun kini keadaannya berubah dengan datangnya pejuang-pejuang yang terlatih
dari wilayah lain di Indonesia yang bersenjata modern. Sebagian TNI yang
beragama Islam bergabung dengan kelompok jihad. Dengan demikian terjadilah
perubahan keseimbangan kekuatan yang menguntungkan golongan Islam24.
Duapuluh dua organisasi Islam garis keras pada tanggal 7 Januari 2000
menggelar rapat raksasa dengan ratusan ribu peserta di lapangan Monas Jakarta
dan menyerukan perang suci di Ambon dan Maluku guna “membebaskan saudara
dan saudari Muslim dari penindasan kaum Kristen”25. Dalam rapat raksasa
tersebut tokoh penting dari elit politik yang kini masih menjabat posisi puncak
di Indonesia tampil memberi sambutan, a.l. Amien Rais yang pada waktu itu dan
sekarang menjabat Ketua MPR dan Hamzah Haz yang kini menjabat Wapres RI26.
Abdurrahman Wahid, yang waktu itu menjabat presiden RI, menolak untuk
menerima delegasi Laskar Jihad di istana Presiden. Perintah Presiden untuk
menahan Laskar Jihad, supaya jangan meninggalkan Pulau Jawa tidak dipedulikan
oleh pihak TNI dan POLRI. Malah senjata dan amunisi berhasil dikapalkan
ke Ambon27.
Panglima tertinggi Laskar Jihad ialah Ustaz Ja’far Umar Thalib, yang pernah
berkuliah di Medina dan di sana bergabung dengan kelompok yang dominan
di Arab Saudi, yakni kelompok Wahabi, yang merupakan kelompok Islam garis
keras. Ia kini berjuang bersama pengikut serta simpatisannya untuk merombak
Indonesia menjadi sebuah negara Islam. Pasukan Laskar Jihadnya yang berjumlah
ribuan orang, telah mendapat latihan militer selama beberapa minggu di Bogor.
Kini pusat latihan Laskar Jihad dipindahkan ke Kaliurang yang terletak di utara
18 19
termasuk Maluku, telah memberi kepada kaum elitnya suatu keunggulan untuk
menduduki posisi-posisi politik di propinsi tersebut setelah ditinggalkan oleh
pihak Belanda. Setelah penumpasan RMS tahun 1950 Presiden Soekarno secara
politis bertindak bijaksana dengan tidak mengutak-utik posisi orang-orang Kristen
Protestan. Maka dari itu, pihak Kristen selalu menempati posisi Gubernur
dan Pangdam. Selanjutnya Soekarno membangun daerah itu melalui proyek-proyek
nasional32. Namun dalam dekade-dekade berikutnya keadaan ini mengalami
perubahan, karena Soeharto lebih mengharapkan dukungan dari golongan
Islam. Golongan Kristen digusur dari kedudukan-kedudukan penting di pemerintahan
dan tidak ada lagi Gubernur dan Pangdam yang beragama Kristen. Ditambah
lagi pengaruh kaum pendatang Muslim yang secara ekonomis lebih berhasil.
Kelompok ini menguasai perdagangan kecil dan cepat sekali menyekolahkan
anak-anaknya dengan baik, sehingga bagi mereka terbuka kesempatan untuk
mendapat posisi di masyarakat.
Di samping itu telah terjadi satu perubahan mendasar dalam komposisi penduduk
menurut asal-usul, sejak pemerintah pusat menjadikan Pulau Seram di
Maluku Tengah sebagai daerah transmigrasi. Kebanyakan transmigran yang
beragama Islam meninggalkan lokasi transmigrasi dan pindah ke kota. Di sana
peningkatan kepadatan penduduk mempersulit situasi sosial ekonomi dan
mudah menimbulkan konflik antar warga.
Berbeda dengan golongan Kristen Protestan yang diuntungkan oleh orangorang
Belanda yang Calvinis, para penduduk Muslim di Maluku beroposisi terhadap
penjajah yang beragama Kristen dan segala bentuk manifestasi pengaruhnya.
Sebagaimana halnya di daerah lain di Indonesia, kelompok Muslim lama
sekali menolak pendidikan modern yang berorientasi ke Barat dan dengan
demikian mengambil posisi defensif terhadap golongan Kristen, yang tidak
merasa takut terhadap kebudayaan Barat. Sehubungan dengan itu, mudah
dimengerti mengapa golongan Islam merusak universitas-universitas yang didominir
golongan Kristen di Ambon. Kerenggangan antara kedua kelompok itu
menjadi jelas apabila orang mengingat, bahwa di Pulau Saparua dekat Ambon
masih ada kaum tua-tua adat Islam yang hingga kini tidak melupakan, bahwa
dalam abad ke-17 setelah kalah melawan Belanda, sebagian tanah mereka dibagikan
kepada kampung-kampung tetangga yang beragama Kristen dan bersekutu
dengan pihak Belanda. Hingga kini mereka tetap menuntut kembali tanah
mereka33.
Suatu faktor penting terutama pada saat permulaan konflik adalah preman-
preman Ambon di Jakarta yang terorganisir dalam gang Kristen dan gang
Islam. Mereka pada bulan Desember 1998 ditangkap oleh aparat keamanan
dalam jumlah ratusan orang, lalu dikirim kembali ke kota Ambon. Disana
mereka tertangkap dan dipaksa memilih antara bersedia disunat atau langsung
dibunuh. Hal yang sama juga menimpa 140 warga Kristen di kampung Korfutin
dan Korlokin di Pulau Teor, yang pada tanggal 11 Desember 2000 dipaksa
oleh Laskar Jihad supaya mereka disunat baik pria maupun wanita.
Sebagaimana baru diketahui di kemudian hari, beberapa bulan sebelumnya
di Pulau Seram, Buruh dan Bacan sekitar 6000 warga Kristen dipaksa untuk masuk
Islam. Tetapi pemerintah setempat berusaha untuk menutupi kejadian yang berkaitan
dengan pemaksaan masuk agama Islam tersebut. Pater Yos Kuda Makin
SVD, pastor kepala paroki Masohi di Pulau Seram, berusaha sekuat tenaga untuk
mengungkap tabir kegelapan ini. Hingga kini sekitar 800 warga Kristen, yang telah
dipaksa untuk disunat, dievakuasi dari pulau Kesui dan Teor. Sebagian besar mereka
tetap menderita trauma, karena dipaksa disunat dan kini ditampung di sebuah
gereja di Ambon. Dan masih ada lebih banyak lagi orang di pulau-pulau lain,
yang telah dipaksa dengan kekerasan untuk mengganti agamanya. Apa yang terjadi
dengan mereka? Apakah mereka juga akan mengalami nasib yang sama seperti
yang pernah dialami kampung-kampung Kristen dan penghuninya di pedalaman
Propinsi Sulawesi Selatan, yang dihancurkan oleh gerombolan
pemberontak DI/TII dari tahun 1948 - 1961, tanpa pernah diselesaikan secara
hukum?
Pada tanggal 23 Desember 2000 sekitar 500 pemimpin Gereja dari semua
denominasi berkumpul di gereja Maranatha, Ambon, guna memprotes aksi
pemaksaan masuk Islam yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada akhir acara mereka menyerahkan
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah Indonesia sebuah pernyataan
menentang pelanggaran HAM yang sangat berat di Maluku, termasuk aksi
pemaksaan orang untuk masuk Islam.
Sebab-musabab
Berhadapan dengan berlarut-larutnya kerusuhan dan kekerasan fisik di Maluku
orang bertanya, apakah sebenarnya sebab musabab dari kerusuhan berdarah ini.
Dengan cemas para pengamat menyaksikan meledaknya kebencian dan tindakan
di luar perikemanusiaan antara kelompok masyarakat yang berbeda agama. Apabila
dianalisa secara mendalam akan dapat disimpulkan, bahwa perbedaan agama
memang dapat berperan, terutama dalam memobilisir massa, namun bukan
merupakan penyebab sebenarnya dari konflik tersebut. Berikut ini akan diberikan
secara singkat saja sebab-musabab yang sangat rumit dari masalah tersebut.
Pihak Kristen Protestan secara tradisionil menempati posisi penting di jajaran
Pemda dan dalam birokrasi pendidikan dan kesehatan. Pendidikan modern
yang secara intensip dibangun oleh semua golongan Kristen di seluruh Indonesia
20 21
semua orang Kristen yang kafir itu bersama para pemimpinnya dimusnahkan
dan dibunuh”36.
Menurut laporan pers, Wapres RI Hamzah Haz yang menyatakan pribadinya
sebagai pembela pemberlakuan syariat Islam, ditugaskan oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri untuk memperantarai kelompok-kelompok yang bertikai
di Maluku guna mencapai perdamaian. Kita nantikan saja perdamaian yang
adil itu.
2. Konflik di Daerah Poso
Di samping Maluku Wapres Hamzah Haz memperoleh tugas tambahan, yaitu
mengusahakan perdamaian bagi daerah konflik lain. Daerah yang dimaksud ialah
Kabupaten Poso dengan ibu kotanya yang bernama sama di propinsi Sulawesi
Tengah. Kabupaten tersebut hampir seluruhnya beragama Protestan dengan beberapa
kampung Islam di daerah pesisir dan sejumlah pendatang beragama Katolik
di kota Poso. Bupati Poso selalu beragama Protestan, sampai beberapa tahun
terakhir ini seorang Muslim diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. Dan
sejak itu dominasi mulai dirintis oleh golongan Muslim dengan mengisi jabatan-
jabatan penting dengan orang-orang mereka. Orang Kristen merasa didiskriminasi,
karena baik Pemda maupun polisi dan pengadilan, hampir semuanya
sudah berada di tangan golongan Islam. Akhirnya, pertengkaran antara anakanak
muda yang sifatnya hanya sepele memicu konflik yang berkepanjangan.
Sejak tahun 1999 banyak rumah Muslim dan 54 kampung Kristen dirusak.
Angka korban di kedua belah pihak menyebut 235 jiwa. Namun kemungkinan
besar angka sebenarnya jauh lebih tinggi dari itu. Ada 21 gereja Kristen yang dirusak
dan kebanyakannya hancur total. Mengenai jumlah mesjid yang dirusak tidak
diperoleh keterangan. Hingga kini tiga gembong Kristen telah diseret kepengadilan
dan telah dihukum mati dan 200 pengikutnya telah mendapat hukuman
penjara. Pihak Kristen merasa tidak adil, karena provokator utama pihak Muslim,
yang merupakan adik lelaki dari Bupati hanya mendapat hukuman 2 tahun
penjara. Sementara itu diskriminasi terhadap kelompok Kristen berjalan terus.
Di antara beberapa ratus pegawai negeri baru hanya sedikit yang beragama Kristen.
Juga pembunuhan berlangsung terus. Tampaknya jelas, bahwa konflik ini
tidak akan dapat diselesaikan oleh Pemda setempat. Yang perlu diperhatikan ialah,
seberapa jauh tuntutan para pemimpin Gereja Protestan kepada pemerintah
pusat, untuk bertindak sebagai instansi netral dalam menegakkan keadilan,
akan dapat dipenuhi.
Di pihak Muslim kini Laskar Jihad mempersiapkan diri untuk beroperasi di
kabupaten Poso. Bagi mereka hal ini merupakan sebuah konflik agama, karena
kelompok-kelompok ini, setelah konflik berdarah tersebut meletus, sesuai skenario
menggabungkan diri dengan kedua belah pihak yang bertikai. Terdapat
petunjuk jelas, bahwa ada tokoh-tokoh TNI baik yang telah pensiun maupun
yang masih aktif, dalam mencapai tujuan politiknya secara intensip berupaya
untuk memperuncing ketegangan yang ada antara kelompok Kristen dan Islam
untuk menciptakan situasi chaos34.
Peranan yang sangat menentukan dalam perluasan dan peruncingan konflik
di Maluku telah dimainkan oleh jaringan kelompok Islam garis keras dalam
upaya merekrut dan mengirim sepuluh ribu anggota Laskar Jihad. Mereka bekerjasama
dengan pihak-pihak TNI yang berkepentingan. Akibat kekerasan yang
terjadi hingga kini amat mengerikan: Lebih dari 10.000 orang dari kedua belah
pihak telah dibunuh. Ratusan ribu orang terpaksa mengungsi dan meninggalkan
kampung halaman mereka. Banyak kampung yang tinggal merupakan
puing dan abu, sebagian besar kota Ambon berupa sisa reruntuhan belaka.
Hingga kini 175 gereja Kristen dan Katolik telah dirusak dan kebanyakannya hancur
lebur. Juga 28 mesjid telah dibakar35. Tetapi pengrusakan mesjid hanya terjadi
pada tahap pertama kerusuhan, sejak tahun 2000 tidak ada lagi mesjid yang
kena musibah. Pengrusakan gereja oleh Laskar Jihad berlangsung terus hingga
penulisan studi ini. Upaya-upaya untuk mendesak kedua pihak yang bertikai,
untuk menghentikan pertikaian hingga kini belum berhasil. Wakil-wakil dari
kedua Gereja Kristiani sepakat untuk menuntut perdamaian. Sejak permulaan
Uskup Katolik Mgr. Mandagi telah menyerukan kepada semua pihak yang bertikai,
kepada Pemda setempat, pemerintah pusat di Jakarta dan masyarakat
internasional untuk mengupayakan penyelesaian yang adil atas konflik tersebut.
Uskup Katolik ini pada bulan April 2001 bersama wakil-wakil golongan Protestan
dan Islam telah mengunjungi Komisi HAM PBB di Geneva. Rombongan
ini bersama-sama mengunjungi juga pusat Persatuan Eropa di Brussel dan beberapa
negara Eropa untuk memohon perhatian atas pelanggaran HAM dan situasi
gawat di Maluku. Semua usaha-usaha mencari perdamaian belum juga membuahkan
hasil yang berarti. Tetapi keamanan mulai lebih terjamin sejak
penyerangan massal dari Laskar Jihad ditindak oleh TNI dan POLRI dengan kekuatan
senjata.
Persyarat untuk perdamaian yang harus dipenuhi ialah, bahwa wakil-wakil
Islam yang bertanggungjawab dapat melibatkan diri dalam usaha mencari
penyelesaian tanpa diancam oleh unsur-unsur dari golongannya sendiri. Namun
kaum fanatik masih sangat berdominan. Dalam sebuah pidato radio yang disiarkan
pada tgl. 11 Mai 2001 dari mesjid Al Fatah di Ambon Ustadz Attamimi
menyatakan perang kepada siapapun yang berani berbicara mengenai perdamaian.
Secara harafiah dia mengatakan: “Tidak akan ada perdamaian, sebelum
22 23
Di propinsi-propinsi Kalimantan Barat dan Tengah pada tahun-tahun terakhir
ini terjadi pembantaian yang mengerikan antara penduduk asli Dayak dan suku
Melayu di satu pihak melawan kaum pendatang yang berasal dari Madura. Aksiaksi
kekerasan berdarah ini mengikuti tradisi perang antar suku. Di sini jelas terlihat,
bahwa telah terjadi konflik antar suku dan bukan antar agama, karena yang
melawan orang Madura yang beragama Islam itu bukan hanya orang Dayak, yang
mayoritasnya beragama Kristen, tetapi juga orang Melayu yang beragama Islam.
Hal ini tampak dari terlindungnya mesjid-mesjid dari aksi pengrusakan pada saat
terjadi pembakaran kampung-kampung.
IV. Reaksi Pemerintah dan Masyarakat
1. Negara dan Aparatnya
Sikap pemerintah pusat di Jakarta menanggapi aksi kekerasan terhadap kelompok-
kelompok agama minoritas seperti pengrusakan gereja dan pelanggaran HAM
di daerah-daerah konflik, bersifat mengambang. Pemerintah menyesalkan kejadian-
kejadian tersebut dan mengundang para wakil semua agama untuk membicarakan
bersama masalah konflik. Pemerintah sendiri menolak dengan tegas
aksi-aksi kekerasan tersebut. Namun orang berkesan, bahwa tindakan pemerintah
lebih bersifat simbolik, karena hingga kini pemerintah belum pernah mengambil
tindakan nyata untuk melindungi warganegaranya.
Pemerintah setempat bereaksi bermacam-macam. Beberapa di antaranya
seperti Sultan Yogyakarta bertindak dengan tegas untuk menjaga ketertiban
umum dan dengan demikian melindungi kelompok-kelompok agama minoritas.
Namun secara keseluruhan kesan yang diperoleh ialah, bahwa pemerintah
daerah tidak sepenuhnya menggunakan wewenang yang dimiliki dalam menghadapi
kelompok-kelompok yang menggunakan aksi kekerasan.
Pantas dipertanyakan, seberapa jauh peran lembaga-lembaga penegak
hukum dalam menanggulangi krisis yang telah melanda seluruh negeri. Jawaban
yang diperoleh atas pertanyaan tersebut sangat mengecewakan. Pada umumnya
orang berkeyakinan, bahwa di Indonesia tidak berlaku lagi kedaulatan
hukum. Belum pernah sebelumnya dasar moral dari negara hukum menjadi begitu
rusak seperti sekarang, karena para hakim dengan mudah dapat dibeli seperti
halnya para politisi. Sering kita mendengar, bahwa di pengadilan tidak mungkin
diambil keputusan yang adil, apakah itu menyangkut pelanggaran HAM atau
ketidakadilan terhadap golongan agama atau dalam penanganan perkara-perpara
misionaris di masa lalu telah berhasil membujuk orang-orang Islam pindah
agama. Demikianlah alasan yang disebut dalam seruan mereka37. Mereka tidak
mau tahu, bahwa penduduk wilayah itu sebelum pindah ke agama Kristen, menganut
agama suku dan bukan agama Islam. Pimpinan laskar yang berkedudukan
di Yogyakarta secara tegas mengatakan, akan menolak setiap usaha perdamaian,
karena menurut pendapat mereka usaha tersebut hanya merupakan niat
pemerintah untuk menutup-nutupi kegagalannya dalam mengusut kejahatankejahatan
yang telah dibuat terhadap umat Islam. Sesuai pengalaman di Maluku,
maka golongan Kristen mengkhawatirkan hal terjelek yang akan terjadi, apabila
para anggota Laskar Jihad dapat beroperasi di kabupten Poso.
3. Daerah-Daerah Konflik lain
Di propinsi Aceh di ujung Barat Laut wilayah Indonesia GAM, yang didirikan
pada tahun 1976, melanjutkan dan mengintensifkan perlawanan rakyat Aceh,
yang dulu melawan kekuatan kolonial Belanda dan kini menentang Negara Kesatuan
Indonesia. Dalam pertempuran-pertempuran sengit melawan pasukan
Indonesia telah terjadi pembantaian yang menelan korban ribuan orang termasuk
penduduk sipil. Selain itu banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kedua
belah pihak. Dalam konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun ini, agama
tidak main peranan, karena dalam propinsi ini Islam sangat berdominasi. Konflik
disebabkan oleh tuntutan mutlak para pemberontak untuk mendirikan
negara merdeka yang terpisah dari Indonesia.
Selama tahun 1998 ada 6 gereja dipropinsi Aceh yang dirusak38. Pada tanggal
20 Juli 1998 di kabupaten Kuta Serangan di Aceh Tengah, empat gereja Protestan
dibakar habis dan pada tanggal 31 Agustus 1998 di Lhokseumawe, Banda
Aceh sebuah gereja Metodist dan lagi sebuah gereja Batak terkena lemparan batu
sehingga rusak berat. Semua indikasi mengatakan, bahwa kedua kejadian tersebut
bersifat lokal dan terbatas, karena sejak itu tidak lagi terjadi gangguan terhadap
gereja.
Di propinsi Papua (Irian Jaya) sejak bertahun-tahun terjadi pelanggaran HAM
berat oleh pihak TNI terhadap penduduk setempat yang kebanyakan beragama
Kristen. Hingga kini pemerintah Indonesia tidak bersedia untuk mengijinkan
diadakannya sebuah referendum untuk menentukan kemerdekaan wilayah tersebut.
Dalam pertikaian ini pihak Gereja tidak menjadi sasaran aksi kekerasan.
Namun ada bahaya, bahwa kekecewaan penduduk setempat dapat berubah
menjadi sifat agresif dan menimbulkan aksi kekerasan terhadap para pendatang
yang jumlahnya besar dan hampir semuanya beragama Islam, sehingga konflik
dapat mengambil bentuk pertikaian antar agama.
24 25
kerjasama antara beberapa golongan di dalam tubuh TNI dengan kelompokkelompok
Islam garis keras. Oleh karena itu bukannya tidak mungkin, bahwa
ada aparat keamanan yang tidak mencegah tindakan kelompok-kelompok fanatik.
2. Pendapat Umum
Media massa memberitakan secara berbeda-beda tentang kekerasan dan terutama
tentang konflik bersenjata. Koran-koran besar berusaha menyajikan berita
yang objektif, namun jelas bahwa koran terbesar yaitu harian KOMPAS harus
bergerak sangat hati-hati. Sebaliknya majalah berita mingguan TEMPO sangat
terbuka dan seperti biasanya berani langsung menyebut nama. Koran-koran lokal
dalam pemberitaannya sering bersifat tendensius. Mereka menjadi alat perjuangan
bagi kedua belah pihak yang bertikai. Karena itu, pemberitaan mereka mengarah
kepada pembentukan perasaan solider satu kelompok agama dalam permusuhan
dengan kelompok lain. Untuk meredam hal tersebut pihak YLBH di
Jakarta telah dua kali mengumpulkan wartawan dari kedua pihak yang bertikai
untuk bersama membahas permasalahan secara objektif.
Warga masyarakat pada umumnya prihatin atas kekerasan yang ditujukan
kepada kelompok minoritas agama, karena sering mereka ini adalah tetangga yang
baik. Mereka membantu para korban dengan bahan makanan dan secara gotong
royong mengambil langkah-langkah pengamanan dalam menghadapi aksi
kekerasan. Ada kelompok-kelompok LSM kecil dan organisasi-organisasi bantuan
hukum yang dengan sungguh-sungguh membantu para korban. Di Jawa Timur
para anggota organisasi pemuda Islam Ansor39 memberi bantuan dengan menjaga
gereja-gereja Kristen terhadap serangan-serangan kaum teroris. Bahkan
pada malam Natal tahun 2000 seorang pemuda Ansor sampai menjadi korban
tewas terkena bom40.
3. Gereja-gereja
Kalangan Gereja sendiri cukup menyadari ancaman dari situasi yang ada. Dalam
pernyataan resminya kedua Gereja, Protestan dan Katolik, mengecam secara tegas
semua aksi kekerasan di Indonesia. Namun kedua Gereja mengetahui, bahwa dalam
pusat kekuasaan politik mereka kurang mempunyai pengaruh. Oleh karena itu,
kedua Gereja hanya dapat menghimbau pemerintah untuk mengambil langkahlangkah
yang perlu untuk dapat menghentikan aksi-aksi kekerasan, terutama di
daerah-daerah yang dilanda konflik. Kedua Gereja tersebut juga sadar, bahwa dengan
sistem hukum yang tidak berjalan, gereja tidak akan mendapat perlindungan
kara lain seperti yang menyangkut skandal korupsi. Sering dikatakan, bahwa proses
pengadilan tidak memberi harapan apapun untuk berhasil. Situasi seperti ini
disebabkan, karena biasanya dengan uang orang dapat mempengaruhi keputusan
hakim. Disamping itu banyak hakim yang merasa takut atas reaksi terhadap keputusannya.
Kalau massa dapat digerakkan untuk menakut-nakuti orang, maka
sebuah perkara, umpamanya mengenai gereja-gereja yang dirusak, tidak akan
diajukan lagi. Apabila penilaian pesimistis semacam ini mengenai sistem hukum
di Indonesia benar, maka kelompok-kelompok minoritas yang terancam aksi
kekerasan tidak dapat berharap banyak dari lembaga pengadilan.
Polisi tidak bertindak, demikian sering dilaporkan. Rupanya polisi belum siap
dengan tugas barunya sebagai penanggungjawab tunggal atas keamanan dalam
negeri. Dan polisi rupanya belum berpengalaman dalam menghadapi massa yang
beringas. Seringkali polisi ragu-ragu untuk bertindak tegas, karena di masa lalu
dituduh melanggar HAM. Apabila melihat luas wilayah Indonesia dan begitu
banyaknya daerah konflik, maka jelas, bahwa polisi kekurangan personil. Disamping
itu polisi kekurangan peralatan dan tidak mempunyai logistik yang efektif,
kecuali Brimob. Gaji polisi juga tidak tinggi, terutama bagi mereka yang berpangkat
rendah, sehingga kurang memberi motivasi mengabdi sepenuhnya.
Memperhatikan semua faktor-faktor ini, maka sulit untuk mengharapkan,
bahwa polisi akan melakukan tugasnya dengan baik dalam penyidikan perkara
dan melindungi kelompok minoritas.
Dan bagaimana dengan TNI? Dulu dasar ideologi TNI ialah Pancasila. Dengan
sangat tegas dan keras TNI menindak segala macam gerakan ekstremis. Secara
formal hal tersebut kini juga masih berlaku. Namun TNI tidak lagi merupakan
sebuah kesatuan yang monolitik. Terdapat perbedaan di antara berbagai
kelompok didalam tubuh TNI. Di samping itu, TNI juga kurang digaji dan
kurang alat perlengkapan. Namun demikian, TNI mempunyai struktur komando
yang teratur rapih sejajar dengan semua tingkat pemerintahan sipil, mulai dari
pusat hingga tingkat desa. TNI juga mempunyai jaringan intelejensi yang menjangkau
seluruh wilayah negara. Oleh karena banyaknya pelanggaran HAM di
masa silam dan banyak dari padanya yang sama sekali tidak diselesaikan
dengan tuntas, maka TNI telah kehilangan reputasinya di kalangan rakyat. Berdasarkan
tuntutan politik, kini TNI harus mengkonsentrasikan dirinya pada pertahanan
negara serta mengembangkan profesionalismenya. Di kalangan publik
dan terutama di antara para aktivis mahasiswa TNI sangat ditentang, terutama
dalam hubungan dengan dwifungsi TNI, yang menyangkut peran politik TNI
di dalam negeri. Hal ini mendorong TNI untuk mencari dukungan di kalangan
masyarakat luas. Di kelompok-kelompok Islam tertentu kelihatannya mereka terbuka
untuk bekerja-sama. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa ada ikatan
26 27
V. Ringkasan dan Perspektif Masa Depan
Tidak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk
Muslim terbesar di dunia, dalam konstitusinya memberi jaminan kepada
setiap warganegaranya untuk bebas menganut agamanya. Kenyataan ini diterima
secara positif oleh bagian terbesar bangsa Indonesia dan oleh mayoritas
tokoh masyarakat serta partai politik, yang pada saat ini mempunyai pengaruh
politis besar. Kebebasan ini adalah hasil kesepakatan antara pihak yang menghendaki
negara sekuler dan pihak yang menginginkan berdirinya negara Islam
dimasa persiapan kemerdekaan. Dengan demikian persatuan dan kesatuan
bangsa dengan beragam budaya dan agama dapat terwujud. Kompromi tersebut
dikenal dengan nama Pancasila atau “lima tiang” yang merupakan dasar konstitusi
negara. Sila pertama mengatakan bahwa Ketuhanan yang Mahaesa merupakan
bagian konstitutif negara Indonesia, tidak lebih dan tidak kurang.
Sejak awal sebagian kelompok politis Islam tidak setuju dengan kompromi
nasional yang digagas oleh “the Founding Fathers” Republik ini. Dewasa ini tuntutan
untuk memasukkan kembali “tujuh kata”, yaitu kewajiban kaum Muslimin
untuk menjalankan Syariat Islam, ke dalam konstitusi disuarakan kembali
dengan gencar oleh sekelompok minoritas Islam. Tuntutan ini didengungkan
oleh partai-partai Islam kecil, yakni Partai Keadilan dan PBB, tetapi juga oleh
partai yang agak besar, yaitu PPP dibawah pimpinan Wapres Hamzah Haz.
Walaupun di DPR mereka hanya merupakan golongan minoritas, namun
mereka melihat kemungkinan dalam panitia pembahasan perubahan UUD,
yang kini sedang bekerja, untuk mencapai tujuannya. Kelompok politis Islam
ini memimpikan sebuah bentuk negara di mana semua undang-undang, semua
lembaga masyarakat dan sistem ekonomi berdasarkan ‘ajaran Islam’. Sedangkan
kelompok-kelompok agama minoritas, termasuk orang Kristen, hanya diberi status
‘golongan yang dilindungi’, dengan kata lain warganegara kelas dua.
Mereka ini tidak akan memiliki hak-hak kewarganegaraan yang sama seperti warga
negara yang beragama Islam - dan inilah yang dikhawatirkan.
Otonomi daerah juga memberi peluang besar bagi keinginan daerah-daerah
tertentu untuk secara de facto menjalankan syariat Islam di wilayahnya, walaupun
dalam UU Otonomi yang mulai berlaku awal tahun 2001 dengan tegas disebut,
bahwa urusan AGAMA tidak termasuk wewenang daerah otonom. Pemberlakuan
hukum syariat di Propinsi Aceh telah memberi harapan bagi daerah
lain untuk melaksanakan hal yang sama.
Satu gejala khusus yang kini muncul di Indonesia ialah timbulnya berbagai
kelompok radikal Islam yang siap untuk memaksakan kehendaknya dengan
yang memadai dalam menghadapi kekerasan dari kelompok-kelompok yang fanatik.
Terhadap para pelaku pengrusakan gedung-gedung gereja kedua Gereja belum
juga mengupayakan proses hukum. Ini disebabkan, karena hingga kini belum seorang
pelaku pun yang sungguh-sungguh ditangkap pihak polisi.
Tujuan utama Gereja sekarang ialah meningkatkan dialog dengan kelompok
moderat yang mayoritas di kalangan Islam guna menjelaskan duduk perkara
yang sebenarnya dan membangun kesadaran umum supaya bersama-sama
melawan pelanggaran HAM dan aksi kekerasan terhadap golongan agama manapun.
Agak menyolok bahwa setiap kali terjadi peristiwa, maka pihak Gereja selalu
berusaha untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan wakil-wakil
golongan Islam. Ini berarti, bahwa reaksi membela diri tidak ditujukan kepada
agama Islam pada umumya, melainkan hanya terhadap kaum fanatik militan
dan para pendukung yang berdiri di belakangnya. Wakil-wakil gereja dan wakilwakil
resmi golongan Islam sepakat dalam mengutuk pengrusakan-pengrusakan
terhadap rumah-rumah ibadah.
Demi kerukunan hidup antarumat beragama, yang penting adalah, bahwa
warga Kristiani tidak terpancing untuk melakukan aksi pembalasan. Di pernyataan
resminya seperti dalam Surat Gembala yang diterbitkan setelah serangan
bom terhadap gereja-gereja Kristen pada Malam Natal tahun 2000 dan dalam
Surat Gembala waktu Paskah tahun 200141 para uskup Katolik dengan tegas dan
berhasil baik menyerukan kepada umat untuk menghindari segala bentuk pembalasan.
Sebaliknya, kepada umat diserukan untuk lebih melibatkan diri dalam
segala lingkup kehidupan di sekitarnya, mulai dari aksi solidaritas dengan
kelompok yang kurang beruntung dan orang-orang yang terpinggirkan dari masyarakat,
seperti kelompok anak jalanan, hingga kepada kegiatan-kegiatan demi
tercapainya perdamaian dan keadilan. Umat Kristen berusaha menjalin hubungan
baik dengan lingkungannya yang beragama lain. Hanya dengan demikian
dapat dimengerti, bahwa ada pemuda-pemuda Muslim yang bersedia untuk
ikut mengamankan gedung-gedung gereja.
Usaha-usaha Gereja juga ditujukan pada umatnya sendiri. Pihak Gereja berusaha
untuk membangkitkan kesadaran umatnya menghadapi situasi genting
sekarang ini dan sekaligus berusaha memperkuat rasa percaya-diri mereka. Di
jemaat-jemaat diberikan penyadaran-penyadaran untuk menghadapi situasi konflik.
Perlu diingat bahwa tidak semua jemaat Kristen diancam aksi kekerasan. Hal
ini berlaku terutama bagi daerah-daerah mayoritasnya penduduk Kristen.
Di samping itu gereja-gereja juga mengkoordinir sistem informasinya. Forum
Komunikasi Kristiani Indonesia (FKKI) membuat dokumentasi dan mempublikasikan
kejadian-kejadian yang menyangkut aksi kekerasan terhadap umat Kristen
dan gereja-gerejanya.
28 29
Bagaimana perkembangan selanjutnya dari kebebasan beragama di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, yang penting bukanlah hubungan antara
kelompok mayoritas dan kelompok minoritas agama. Hal yang menentukan di
masa depan ialah, bagaimana hasil pergumulan antara kelompok mayoritas Muslim
yang toleran di satu pihak dan kelompok minoritas Muslim yang fanatik beserta
para simpatisannya di lain pihak. Apakah Indonesia akan menjadi suatu
masyarakat sipil yang terbuka dan semua warganegara memperoleh hak yang
dijamin konstitusi untuk hidup sesuai keyakinan agamanya masing-masing. Atau
apakah pihak Islam garis keras akan berhasil tahap demi tahap untuk merubah
sistem pemerintahan menjadi sebuah diktatur keagamaan yang membuat masyarakat
menjadi tertutup dan terkebelakang. Mayoritas besar bangsa Indonesia
tidak menghendaki hal ini. Kita berharap, semoga para pendukung kebebasan
beragama bagi semua golongan berhasil menghimpun keberanian di kalangan
rakyat dan dalam partai-partai politik untuk menghadapi dengan tegas kaum fanatik
sehingga mereka dapat dibendung. Hanya di dalam masyarakat yang terbuka
dan memiliki kebebasan beragama, kelompok minoritas agama akan mendapat
tempat yang aman.
VI. Tuntutan untuk Kebebasan Beragama
di Indonesia
• Pemerintah Indonesia dihimbau supaya dengan segera mengambil langkahlangkah
nyata, untuk memulihkan perdamaian yang adil di Maluku dan di
kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Syarat utama untuk menghentikan konflik
ialah ditariknya Laskar Jihad yang hingga kini dengan kekerasan menghalangi
setiap usaha perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai.
• Pemerintah Indonesia dengan segera harus membantu orang-orang Kristiani
di Maluku, yang dengan kekerasan menjadi korban pemaksaan masuk agama
Islam, supaya mereka memperoleh kembali kebebasan dan hak-haknya.
• Aparat keamanan Indonesia harus segera menghentikan skandal pengrusakan
ratusan gereja dan prasarana gereja lainnya, serta menghukum para pelaku dan
pendukung kejahatan tersebut.
• Kelompok-kelompok minoritas agama sangat memerlukan kebebasan untuk
mendirikan rumah ibadat, supaya umat dapat menjalankan ibadat agamanya
seperti dijamin oleh konstitusi negara.
menggunakan kekerasan senjata. Mereka tidak dilarang oleh aparat negara
dalam melatih laskarnya secara militer dan melibatkan diri di daerah-daerah konflik.
Yang paling menonjol adalah Laskar Jihad, yang telah melakukan pelanggaran
HAM dengan aksi-aksi pembersihan etnis dan agama waktu mereka menghancurkan
kampung-kampung Kristen dan gereja-gereja di Maluku. Hingga
kini aparat negara tidak mengusut hal tersebut. Mereka rupanya bahkan mendapat
perlindungan dari otoritas tertentu di politik dan militer. Tetapi perlu disebutkan
disini, bahwa di Maluku pada awal konflik kedua kelompok yang bertikai
juga telah menunjukkan kebrutalan yang luar biasa dan saling merusak gedung
ibadah.
Salah satu pelanggaran HAM berat dalam konflik di Maluku ialah pemaksaan
masuk agama Islam bagi ribuan orang Kristen, yang menurut laporan saksi mata
telah dipaksa disunat dengan ancaman kematian. Hanya sebagian dari mereka hingga
kini berhasil dievakuasi dengan bantuan pemerintah setempat. Semua harta
miliknya, sekiranya masih ada, terpaksa harus ditinggalkan, sama dengan nasib
ratusan ribu warga dari dua belah pihak, yang harus mengungsi karena konflik ini.
Perlu dicatat bahwa dewasa ini pemerintah serta aparatnya dalam banyak
kasus tidak memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak kebebasan beragama
yang dijamin oleh konstitusi. Pembantaian di daerah-daerah konflik, tetapi
juga pengrusakan gedung-gedung gereja di banyak tempat di Indonesia merupakan
bukti yang sangat menyedihkan. Namun ketidakmampuan pemerintah
untuk memberi perlindungan, tidak dapat diartikan sebagai satu politik baru,
tetapi lebih-lebih merupakan akibat dari keadaan kacau negara secara keseluruhannya.
Kini pemerintah tidak hanya kekurangan dana keuangan, tetapi
tampaknya juga kekurangan orang yang sungguh bertanggungjawab untuk
menyelamatkan negara hukum. Karena diabaikannya hukum, maka yang dirugikan
ialah kelompok masyarakat yang lemah dan kelompok minoritas agama,
yang tidak mendapat perlindungan dalam menghadapi kelompok fanatik.
Menghadapi perkembangan yang mencemaskan ini Gereja tidak berdiam
diri. Dengan pernyataan yang tegas pihak Gereja secara resmi mengecam aksi
kekerasan dan menuntut pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memulihkan
perdamaian. Dengan tegas Gereja meminta umatnya untuk tidak melakukan
segala bentuk pembalasan dan agar para orang beriman memperhatikan
kesulitan ekonomi dan sosial dari tetangga sekeliling yang beragama lain. Gereja
secara khusus mengadakan dialog dengan wakil-wakil Islam yang bersedia diajak
bicara untuk menciptakan suatu suasana keterbukaan dalam menentang segala
bentuk fanatisme. Gereja yakin, bahwa gedung-gedung gereja dan
institusi-institusinya dapat dirusak, namun iman umat tidak dapat dimusnahkan.
30 31
Catatan Kaki
1 Terutama di wilayah Maluku Tengah, yakni di Ambon dan Seram. Di Maluku Utara sudah agak lama tidak terjadi
lagi kerusuhan.
2 Bandingkan Prof.Dr. Franz von Magnis-Suseno SJ di majalah Hidup, 1987
3 Bandingkan Prof.Dr. Franz von Magnis-Suseno SJ: Neue Schwingen fuer Garuda – Indonesien zwischen Tradition und
Moderne, Munchen, 1989
4 Idem, halaman 137
5 Perlu dicatat bahwa istilah ‚agama yang diakui Pemerintah’ atau ‚agama resmi’ tidak ada dasar hukum. Bandingkan
A. Heuken SJ dalam: Ensiklopedi Gereja I, 1991, lihat entri: Agama yang diakui Pemerintah RI: „Penyebab sebutan
salah kaprah ‚agama yang diakui Pemerintah RI’ atau ‚agama resmi’ adalah pasal 1 dari Penjelasan atas Penetapan
Prediden RI No 1 (1965) tentang ‚Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama’.
6 Dalam kenyataannya dewasa ini peranan ICMI tidak menonjol lagi. Sejak mundurnya Habibie organisasi ini kehilangan
pengaruhnya, karena baik organisasi–organisasi Muslim tradiosional maupun yang radikal tidak memandang
perlu untuk membuat sebuah front semacam itu.
7 Bandingkan Dieter Becker: Die Kirchen und der Pancasila- Staat- Indonesische Christen zwischen Konsens und Konflikt,
1996, halaman 1998
8 Idem, halaman 188
9 Dari kelompok yang mendukung diberlakukannya hukum syariat ditekankan, bahwa hukum syariat hanya berlaku
untuk kaum Muslimin dan hak-hak kewarga-negaraan dari kaum non-Muslim, -menurutnya-, tidak akan diganggugugat.
10 Bandingkan Dr. Paul Tahalele and Drs. Thomas Santoso, Editors: The Church and Human Rights in Indonesia, Supplement,
Surabaya, 2001, halaman 1
11 Data-data untuk waktu hingga November 2001.
12 Bandingkan Prof. Dr. Franz von Magnis-Suseno, SJ: Religious Freedom in Indonesia – Situation and Prospects,
Jakarta 2001 (konferensi Pers)
13 Amin Abdulah (dkk): Tasikmalaya, di dalam Mohtar Mas’oed (dkk), editor: Kekerasan Kolektif – Kondisi dan
Pemicu, Yogyakarta, 2000, halaman 97
14 Bandingkan John T. Sidel: Riots, Church Burning, Conspiraces, in: Inggrid Wessel and Georgina Wimhoefer,
(ed.): Violence in Indonesia, Hamburg, 2001, halaman 56
15 Bandingkan Dr. Paul Tahalele and Drs. Thomas Santoso (ed.): The Church and Human Rights in Indonesia, Surabaya,
1997, hal. 184
16 Bandingkan Prof. Dr. Franz von Magnis-Suseno, SJ: Religious Freedom in Indonesia, (yang sudah disebut diatas).
17 Bandingkan Prof. Dr. Sehetapy: Unity and Integrity at Stake? In: Dr. Paul Tahalele: (yang sudah disebut diatas ) hal.161
18 Misalnya dalam radius 500 meter dari lokasi yang akan dibangun gereja tidak boleh ada mesjid atau rumah ibadah
Islam lainnya.
19 Seperti yang terjadi di kota Bima, Pulau Sumbawa.
20 Sekitar 100.000 pengungsi keturunan Buton dan Bugis kini terpaksa tinggal di tempat penampungan di Sulawesi Selatan
dan Tenggara dengan kondisi yang menyedihkan.
21 Bandingkan Jesuit Refugee Service, Berita soal pengungsi diseluruh Indonesia – Too many unmet needs, penjelasan
di internet, September 2001
22 Ada yang memperkirakan, bahwa jumlah pengungsi Muslim sebanyak dua kali lipat dari jumlah pengungsi Kristen.
23 Bandingkan George J. Aditjondro: Notes on the Jihad Forces in Maluku, Juli 2001. Ada sumber lain yang mengatakan,
bahwa pada saat memuncaknya pertikaian ada sekitar 5000 pejuang Laskar Jihad yang terlibat dan sekarang
masih ada sekitar 2500 anggota yang ikut terlibat kerusuhan.
24 Bandingkan George J. Aditjondro: Guns, Pamphlets and Handie-Talkies, dalam: Inggrid Wessel dan Georgina Wimhoefer:
(dalam dokumen yang telah disebut di atas ) halaman 112
25 Bandingkan George J. Aditjondro, (seperti di atas) halaman 118
26 idem, halaman 118
27 idem, halaman 118
28 lihat keterangan via internet dari Laskar Jihad (Laskarjihad.or.id) tanggal 30-3-2001
29 lihat keterangan via internet dari wakil masyarakat Muslim di Ambom: Pernyataan Bersama Umat Islam Ambon
(www.laskarjihad.or/press/pro-rajam) tanggal 17-5-2001
30 Bandingkan George J. Aditjondro, (seperti disebut diatas ), halaman 117
31 Bandingkan Crisis Centre Keuskupan Ambonia, Lintas Peristiwa Kerusuhan di Maluku - Periode 15 Januari 1999 -
13 April 2001
32 Bandingkan George Aditjondro: seperti diatas, halaman 104
33 idem, halaman 105
34 idem, halaman 112
35 Bandingkan Dr. Paul Tahalele: Molucas – Acual News, in: The Church and Human Rights in Indonesia, Supplement,
halaman 11
36 Bandingkan Crisis Centre: seperti disebut diatas halaman 35
37 Bandingkan Ayip Syafrudin: Mengapa Laskar Jihad ke Poso? (www.laskarjihad.or.id./artikel/keposo)
38 Bandingkan Dr. Paul Tahalele, (seperti disebut di atas), Supplement, hal. 3
39 Organisasi pemuda ini tergabung dalam NU (Nahdlatul Ulama).
40 Namanya ialah Sdr. Riyanto, yang membantu menjaga Gereja Ebenezer di Mojokerto, Jawa Timur, dan mengawal
gereja sampai dengan mengorbankan nyawanya.
41 Bandingkan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI): Surat Gembala Paskah 2001, halaman 22
Sumber penulisan
Penulisan dan pembahasan studi tersebut diatas berdasarkan pada informasi-informasi yang berhasil dihimpun oleh
penulis dari sekitar 50 wawancara dan pembicaraan yang berlangsung di Indonesia dari akhir Mei hingga akhir Juni
2001.
Sumber perpustakaan yang dipergunakan antara lain:
Becker, Dieter: Die Kirchen und der Pancasila–Staat,
Indonesische Christen zwischen Konses und Konflikt,
Erlangen, Verlag Ev. – Luth.Mission, 1996
v. Magnis-Suseno, Franz: Neue Schwingen fuer Garuda
– Indonesien zwischen Tradition und Moderne,
Muenchen, Peter Kindt Verlag, 1989
Ingrid Wesel and Georgia Wimhoeffer (ed): Violence in Indonesia,
Hamburg, Abera-Verlag, 2001
Dr. Paul Tahalele, Drs. Thomas Santoso (ed.): The Church and Human Rights in Indonesia,
Surabaya, Forum Komunikasi Kristiani Indonesia, 1997
Idem, Supplement 2001
Mohtar Mas’oed, Mochammad Maksum, Moh. Soehadha (ed.): Kekerasan Kolektif
– Kondisi dan Pemicu, Yogyakarta,
P3PK Universitas Gajah Mada, 2000
32
Comments
Post a Comment