What Kejawen ???
Menurut Yahoo Answers:
Kejawen bisa dijelaskan dari 2 sisi yaitu ajaran dan spiritualnya.
Ajaran : Kejawen adalah Asimilasi kebudayaan jawa asli dgn Agama Hindu dgn konsep keTuhanan yang esa tapi masih menggunakan karakter/tokoh pewayangan dalam cerita mahabarata/baratayudha.
Spiritual/Ilmu Ghaib : Asimilasi antara adat spiritual jawa dgn spiritual Hindu, sumber energi dari alam tapi melalui karakter spesifik.Sebenarnya tidak ada hubungannya dgn Islam karena Kejawen mengambil dasar ajaran Hindu, tapi dgn perkembangan jaman ada banyak hal dalam kejawen yang diasimilasikan dgn Islam agar tidak terjadi benturan yang bisa merugikan Islam.
Ajaran Kejawen asli itu bisa dipelajari dari Sabdopalon Noyogenggong.Menurut SK Trimurti,
Pemimpin umum Majalah Mawas Diri ada 4 macam ngelmu kejawen.Pertama, kanuragan, semacam ilmu untuk memperoleh kesaktian fisik.Kedua, yang disebut ilmu gaib, yang berkat sesultu 'ilmu', orang lantas bisa mengobati dan sebagainya.Ketiga, Kasunyatan " Nah, inilah yang juga bisa disebut Filosofi", kata Bu Tri.Keempat, kasampurnaan. Orang India menyebutnya moksa". Menurut Bu Tri, yang banyak dianut orang sekarang ini ialah kebatinan jenis kedua, yang biasanya dianut oleh orang-orang yang egonya masih besar, mengikuti nafsu dan hasilnya merugikan. "Yang terbaik ialah belajar membersihkan diri-sendiri, tidak pamer, hidup biasa hingga mudah berhubungan langsung dengan Tuhan" katanya lagi. Saya ini orang biasa yang berusaha mengerti rahasia alam yang gumelar dan berusaha menyesuaikan diri dengan hukum alam yang abadi. Menyesuaikan diri dengan harmoni, dari hukum universe Tuhan. Saya ingin mendapat petunjuk Tuhan ditunjukkan jalan yang benar .Untuk mencapai kesempurnaan, katanya orang mudah tersesat bila tanpa pedoman memahami ketuhanan. "Tak perlu misalnya intrance dan sebagainya", tambahnya.
Kejawen bisa dijelaskan dari 2 sisi yaitu ajaran dan spiritualnya.
Ajaran : Kejawen adalah Asimilasi kebudayaan jawa asli dgn Agama Hindu dgn konsep keTuhanan yang esa tapi masih menggunakan karakter/tokoh pewayangan dalam cerita mahabarata/baratayudha.
Spiritual/Ilmu Ghaib : Asimilasi antara adat spiritual jawa dgn spiritual Hindu, sumber energi dari alam tapi melalui karakter spesifik.Sebenarnya tidak ada hubungannya dgn Islam karena Kejawen mengambil dasar ajaran Hindu, tapi dgn perkembangan jaman ada banyak hal dalam kejawen yang diasimilasikan dgn Islam agar tidak terjadi benturan yang bisa merugikan Islam.
Ajaran Kejawen asli itu bisa dipelajari dari Sabdopalon Noyogenggong.Menurut SK Trimurti,
Pemimpin umum Majalah Mawas Diri ada 4 macam ngelmu kejawen.Pertama, kanuragan, semacam ilmu untuk memperoleh kesaktian fisik.Kedua, yang disebut ilmu gaib, yang berkat sesultu 'ilmu', orang lantas bisa mengobati dan sebagainya.Ketiga, Kasunyatan " Nah, inilah yang juga bisa disebut Filosofi", kata Bu Tri.Keempat, kasampurnaan. Orang India menyebutnya moksa". Menurut Bu Tri, yang banyak dianut orang sekarang ini ialah kebatinan jenis kedua, yang biasanya dianut oleh orang-orang yang egonya masih besar, mengikuti nafsu dan hasilnya merugikan. "Yang terbaik ialah belajar membersihkan diri-sendiri, tidak pamer, hidup biasa hingga mudah berhubungan langsung dengan Tuhan" katanya lagi. Saya ini orang biasa yang berusaha mengerti rahasia alam yang gumelar dan berusaha menyesuaikan diri dengan hukum alam yang abadi. Menyesuaikan diri dengan harmoni, dari hukum universe Tuhan. Saya ingin mendapat petunjuk Tuhan ditunjukkan jalan yang benar .Untuk mencapai kesempurnaan, katanya orang mudah tersesat bila tanpa pedoman memahami ketuhanan. "Tak perlu misalnya intrance dan sebagainya", tambahnya.
Woodward, yang sebelumnya telah melakukan studi tentang Hindu dan Buddha, ternyata tidak menemukan elemen-elemen Hindu dan Buddha dalam sistem ajaran Islam Jawa. “Tidak ada sistem Taravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava yang saya pelajari yang tampak dikandungnya (Islam Jawa) kecuali sekadar persamaan… sangat sepele,” demikian tulis Woodward (1999: 3).
Bagi Wordward, Islam Jawa-yang kemudian disimplikasikan sebagai kejawen-sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hindu dan Buddha), tetapi tidak lain hanyalah varian Islam, seperti halnya berkembang Islam Arab, Islam India, Islam Syiria, Islam Maroko, dan lain-lainnya. Yang paling mencolok dari Islam Jawa, menurutnya, kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Buddha yang paling maju atau sophisticated (ibid: 353). Perubahan itu terjadi dengan begitu cepatnya, sehingga masyarakat Jawa seakan tidak sadar kalau sudah terjadi transformasi sistem teologi.
Dengan demikian, konflik yang muncul dengan adanya Islam Jawa sebenarnya bukanlah konflik antar-agama (Islam versus Hindu dan Buddha), melainkan konflik internal Islam, yakni antara Islam normatif dan Islam kultural, antara syariah dan sufisme. Dalam kaitan ini, Woodward menulis:
“Perselisihan keagamaan (Islam di Jawa) tidak didasarkan pada penerimaan yang berbeda terhadap Islam oleh orang-orang Jawa dari berbagai posisi sosial, tetapi pada persoalan lama Islam mengenai bagaimana menyeimbangkan dimensi hukum dan dimensi mistik.” (ibid: 4-5).
Namun, harus diakui, menyimpulkan apakah Suluk Saloka Jiwa mengajarkan sinkretisme Islam dan Hindu-Buddha atau tidak memang tidak gampang. Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Namun, pendapat Woodward bahwa problem keagamaan di Jawa lebih karena faktor konflik Islam normatif dan Islam kultural tersebut juga bukan tanpa alasan, setidak-tidaknya memang konsep nafs (nafsu) seperti yang ditulis Ranggawarsita itu memang sulit dicarikan rujukannya dari sumber-sumber literatur Hindu, Buddha ataupun kepercayaan asli Jawa, namun akan lebih mudah ditelusur dengan mencari rujukan pada literatur-literatur tasawuf (sufisme) Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, As-Suhrawardi, Hujwiri, Qusyayri, Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi Islam lainnya.
Namun, harus diakui, menyimpulkan apakah Suluk Saloka Jiwa mengajarkan sinkretisme Islam dan Hindu-Buddha atau tidak memang tidak gampang. Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Namun, pendapat Woodward bahwa problem keagamaan di Jawa lebih karena faktor konflik Islam normatif dan Islam kultural tersebut juga bukan tanpa alasan, setidak-tidaknya memang konsep nafs (nafsu) seperti yang ditulis Ranggawarsita itu memang sulit dicarikan rujukannya dari sumber-sumber literatur Hindu, Buddha ataupun kepercayaan asli Jawa, namun akan lebih mudah ditelusur dengan mencari rujukan pada literatur-literatur tasawuf (sufisme) Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, As-Suhrawardi, Hujwiri, Qusyayri, Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi Islam lainnya.
Kekhawatiran bahwa Islam Jawa kemungkinan akan “menyeleweng” dari Islam standar tidaklah hanya dikhawatirkan oleh kalangan Islam modernis saja, melainkan kelompok-kelompok lain yang mencoba menggali Islam Jawa dan mencoba mencocokkannya dengan sumber-sumber Islam standar. Seorang intelektual NU, Ulil Abshar-Abdalla, ketika mengomentari Serat Centhini (Bentara, Kompas, edisi 4 Agustus 2000), menulis sebagai berikut:
Yang ingin saya tunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini [Serat Centhini], tetapi telah mengalami “pembacaan” ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai “teks besar” yang “membentuk” kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodoksi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk “membaca kembali” Islam dalam konteks setempat, tanpa ada ancaman kekikukan dan kecemasan karena “menyeleweng” dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan “resistensi” . Penolakan tampil dalam nada yang “subtil”, dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme”
Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara formal, namun dalam kehidupannya masih Nampak adanya suatu sistem kepercayaanyang masih kuat dalam kehidupan religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa, makhluk halus, atau leluhur.Semenjak manusia sadar akan keberadaannyadi dunia, sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan hidupnya,kebenaran, kebaikan, dan Tuhannya (Koentjaraningrat, 1994:
105). Salah satu contoh dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada masyarakat Jawa terutama yang menganut Islam Kejawen untuk ziarah (datang) ke makam-makam yang dianggap
suci pada malam Selasa Kliwon dan Jum'ah Kliwonuntuk mencari berkah.Tradisi dan budaya Jawa bisa dikatakan sebagai sarana pengikat bagi orang Jawa yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitujuga memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-momentertentu mereka mengadakanupacara-upacara(perayaan) baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan. Oi Yogyakarta khususnya, momen Suran (peringatan menyambut tahun baru Jawa yang sebenamya juga merupakan tahun baru Islam) dan Mu/ud (peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW.) dirayakan cukup meriah dengan berbagai upacara keagamaanyang bemuansa kejawen. Tradisi Suran banyak diisi dengan aktivitas keagamaan untuk mendapatkan berkah dari
Tuhan yang oleh masyarakat Yogyakarta disimbulkan Kanjeng Ratu Roro Kidu/ (Ratu Pantai Selatan). Pada momenMu/ud masyarakat Yogyakarta mengadakanperayaan besar yang disebut Sekaten yang dipusatkandi lingkunganKratonNgayogyakarta. Oi samping dua momen besar tahunan tersebut masyarakat Jawa, terutama di Yogyakarta, juga sering datang (berziarah) ke makam-makam (kuburan) yang dianggap suci (keramat) pada malam Jum'at Kliwondan Selasa Kliwon untuk mencari berkah. Oi antara makam yang sering menjadi tujuan utama dari aktivitas ziarah mereka adalah Makam Raja-raja atau Makam Suci Imogiri dan makam-makam lain di Yogyakarta yang juga dianggap suci atau keramat. Oi antara yang disebut terakhir ini adalah makam di Ousun Sambiroto PurwomartaniKalasan Sleman yang oleh masyarakat setempat sering disebut Bathok Bo/u. Ternpat ziarah di Bathok Bo/u ini tidak hanya terdiri dari makam suci, tetapi juga terdapat sendang suci (sumber air yang tidak pemah kering) yang diberi nama Sendang Ayu dan bangunan keraton kecil yang oleh masyarakat setempat sering disebut Keraton Jin. Oi samping minta berkah di makam, para peziarah juga menyempatkan untuk mandi di sendang tersebut dan menyepi di Keraton Jin dengan tujuantujuan tertentu.Yang Jelas Kejawen BUKAN ISLAM, karena Islam menggunakan Kejawen untuk memasukkan Pemikirannya kedalam orang-orang Jawa dan Kebudayaan Jawa.
Comments
Post a Comment