Diskriminasi Di Kota Multi-Religi
Surabaya tak hanya merupakan potret kota multietnik, tetapi juga memiliki warna keragaman agama yang cukup mencolok dibanding kota-kota lain di Jawa Timur dengan geliat kehidupan sosial-religi yang dinamis namun sekaligus rentan dengan lahirnya diskriminasi. Beragam varian agama berkembang di kota ini, mulai dari enam agama “resmi” –Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu– sampai agama-agama yang diklaim “tidak resmi” oleh negara, termasuk kelompok penghayat kepercayaan dan agama Tao.
Berdasarkan data tahun 2004, Kantor Wilayah Departemen Agama (Kanwil Depag) Jawa Timur, dari total penduduk Kota sebesar 2.711.624, sebesar 2.197.456 adalah pemeluk Islam (muslim). Sementara, populasi Katholik sebesar 166.523, Protestan 254.845, Hindu 47.213, dan 43.587 diantaranya merupakan penganut Budha. Sedangkan agama Konghucu, Penghayat Kepercayaan dan agama Tao sampai saat ini masih belum diketahui berapa jumlah pasti populasi mereka.
Sementara itu, tumbuh subur pula beberapa populasi etnik di Surabaya misalnya, etnik Jawa, Madura, Tionghoa, Arab dan India. Belum lagi, beragam etnik lainnya yang bermigrasi di kota ini dari berbagai bantaran tanah air —khususnya mereka yang berasal Lombok, Papua, Ambon dan seterusnya. Etnik Jawa tersebar dihampir seluruh kawasan Surabaya, sementara etnik Madura banyak terkonsentrasi di kawasan Surabaya Utara dan Timur. Meskipun tidak dinafikan, keberadaan etnik Madura juga begitu mudah dijumpai di kawasan Surabaya Pusat, Surabaya Barat dan Surabaya Selatan. Sebaliknya, etnik Tionghoa, Arab dan India banyak terkonsentrasi dikawasan pinggiran bekas kota lama Surabaya, seperti Ampel, Krembangan, Genteng, dan sekitar Jalan Karet (dekat Kembang Jepun).
Sebuah potret kota multi-religi dan multi-etnik. Dalam konteks ini, Surabaya patut menepuk dada sebagai masyarakat yang plural dan multikultural.
Perbedaan komposisi secara kuantitatif ini menjadi sesuatu yang lumrah sebagai bagian dari proses alami yang dijalani masing-masing agama dan etnik, terpulang kepada bagaimana dinamika yang mereka kembangkan dan waktulah yang menguji. Segalanya masih bersifat relatif dan fluktuatif: saat ini boleh saja memiliki penganut dalam jumlah yang begitu besar, namun belum tentu untuk masa mendatang. Begitu pun sebaliknya.
Namun, kebanggaan atas keragaman, utamanya di ranah agama, berubah menjadi petaka ketika negara membelah mereka ke dalam dua kutub: “agama resmi” dan “agama tidak resmi”. Atas klasifikasi tersebut, kemudian muncullah segregasi yang tak resmi tapi nyata: mayoritas dan minoritas. Segregasi ini tidak sekedar garis sekat yang mengkotak-kotakkan beragam agama tersebut namun sekaligus menurunkan berbagai tindak dan perlakuan diskriminatif terhadap yang minoritas, mulai dari perlakuan sosial, hukum, hingga politik.
Aroma diskriminasi di level pusat ini kian menyengat ketika pemerintah daerah Kota Surabaya tidak memiliki konsep “kampung halaman” yang kuat sehingga keragaman itu tidak terkelola dengan baik. Justru, belitan diskriminasi yang kerap menghantui kelompok-kelompok mintoritas, baik etnis maupun agama, secara sistemik dirajut oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Persoalan minoritas etnik dan agama di Surabaya dapat dikategorisasi ke dalam tiga ranah. Pertama, kebijakan publik atau regulasi (public policy). Kedua, pelayan publik atau aparat pemerintah (public servant), dan ketiga adalah pelayanan publik (public services). Ketiga-tiganya menjadi variabel yang saling berhubungan dan mengokohkan satu sama lainnya.
Regulasi atau kebijakan yang diskriminatif di Surabaya inilah yang menjadi palang pintu bagi menjamurnya praktek diskriminasi kewarganegaraan dan akses pelayanan kependudukan terhadap kelompok minoritas. Penting dicatat bahwa, kewarganegaraan dan pelayanan terhadap minoritas merupakan bidang-bidang yang belum terdesentralisasikan. Karena itu, Pemkot Surabaya selalu saja mengacu pada kebijakan di tingkat pusat untuk menjadi pijakan aparaturnya dalam mengelola pelayanan minoritas etnis dan agama di Surabaya.
Dalam kaitannya dengan ini, kebijakan di tingkat lokal cukup memiliki warna yang diskriminatif. Pertama, kebijakan lokal yang mengatur tentang kependudukan minoritas etnis di Surabaya. Munculnya pembedaan dan pembatasan serta penyingkiran minoritas etnik dalam mendapatkan hak kewarganegaraanya karena belitan kebijakan pusat (Jakarta) yang hanya mengeluarkan kebijakan turunan dari UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Kedua, kebijakan lokal yang mengatur tentang akses pelayanan bagi minoritas agama. Betul bahwa ada UU No 23 tetang Administrasi Kependudukan yang secara legal telah memberikan pengakuan terhadap minoritas Konghucu. Tetapi, Pemkot tidak menggunakan UU tersebut sebagai acuan pelayanan publik, melainkan menggunakan kebijakan turunan yang bersifat teknis operasional: Juklak dan Juknis Walikota yang berupa Keputusan Walikota Surabaya. Padahal Juklak dan Juknis tersebut dibuat dan digunakan sebelum agama Konghucu diakui secara legal sebagai agama resmi di Indonesia. Sampai saat ini Keputusan Walikota sebagai kebijakan turunan dari UU No. 23 tersebut belum ada, sehingga aparat pemerintah masih menggunakan acuan lama yang diskriminatif. Dengan dalih belum ada kebijakan teknis, Pemkot masih menunda untuk memasukkan Konghucu dalam beberapa dokumen kependudukan, seperti KTP, KK, dan Akta Nikah.
Belitan diskriminasi semakin kuat, ketika aparat pemerintah “mengais keuntungan secara sepihak”. Praktek-praktek komersialisasi layanan kependudukan “jalur tikus” atau “jalur belakang” menjadi potret menjamurnya pemanfaatan oleh “aparat” secara sepihak dengan menempatkan kelompok minoritas “selalu” yang menjadi korban.[]
Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Srinthil, Media Perempuan Multikultural, Edisi Dilema Status Kewarganegaraan Perempuan Miskin Tionghoa.
http://pinggirmalam.wordpress.com/2009/03/20/diskriminasi-di-kota-multi-religi/
http://pinggirmalam.wordpress.com/2009/03/20/diskriminasi-di-kota-multi-religi/
Comments
Post a Comment