Sunda Wiwitan di Tengah Perkembangan Zaman (Studi Kepercayaan Masyarakat Badui di Kanekes)

Oleh: Ali Thaufan DS


Pendahuluan
Ketika mendapati kata “Sunda”, mungkin sebagian orang akan beranggapan bahwa Sunda adalah sebuah suku yang mendominasi di Jawa Barat. Atau jika digeneralisir, orang Sunda adalah orang Jawa Barat. Akar historis tentang orang Sunda sendiri tidak terlalu jelas. Sebagian peneliti berpendapat bahwa orang Sunda telah ada sejak awal masehi. Mereka tinggal di pegunungan dan mbabat hutan untuk dijadikan tempat tinggal. Orang Sunda juga dianggap lebih menyukai berladang ketimbang bertani.

Laiknya peradaban manusia dalam sejarah yang mempunyai sebuah kepercayaan, orang-orang Sunda pun demikian. Kepercayaan mereka disebut Sunda Wiwitan. Kepercayaan ini mereka yakini sebagai jalan hidup. Pada perkembangan zaman modern sampai saat ini, kepercayaan tersebut tetap terawat dengan baik. Para peneliti budaya, tradisi dan kepercayaan (agama) mendapati bahwa kepercayaan Sunda Wiwitan tetap terjaga, khususnya bagi masyarakat suku Badui yang tinggal di Kanekes Kecamatan Lewih Damar Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

Tulisan ini berusaha memaparkan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kepercayaan Sunda Wiwitan yang berada di Kanekes Kabupaten Lebak Provinsi Banten, serta eksistensinya ditengah laju modernisasi. Kajian tentang kepercayaan Sunda Wiwitan bukan sesuatu yang baru. Telah banyak peneliti sebelumnya yang membahas aliran kepercayaan ini. Pada tulisan ini, penulis menggunakan term “kepercayaan”, bukan menggunakan term “agama” dalam menyebut Sunda Wiwitan. Hal ini penulis dasarkan bahwa Sunda Wiwitan tidak memiliki kitab suci tertulis laiknya agama. Oleh sebab itu, penulis menyebut kepercayaan Sunda Wiwitan bukan agama Sunda Wiwitan.

Melacak Akar Sejarah Kepercayaan Sunda Wiwitan
Kajian terhadap aliran kepercayaan lokal menyita minat para peneliti. Hal ini setidaknya didasari oleh: “uniknya” aliran kepercayaan tersebut dibanding agama-agama besar yang diakui negara; identitas aliran kepercayaan lokal masih memengaruhi penganut agama-agama besar di Indonesia; kebijakan pemerintah negara yang terkadang tidak mengakui eksistensi mereka; dan keberadaan aliran kepercayaan lokal yang tetap eksis hingga saat ini.[1]

Indonesia memiliki keragaman bahasa, suku dan agama. Sebagai contoh, adanya tujuh agama di Indonesia yang diakui pemerintah.[2]Namun demikian, masih banyak lagi kepercayaan (seperti agama) yang berada di Indonesia, terutama daerah-daerah pedalaman. Aliran kepercayaan yang berkembang dalam jumlah banyak diakui merupakan warisan budaya bangsa.[3]Salah satu aliran kepercayaan tersebut adalah Sunda Wiwitan. 

Sunda Wiwitan adalah sebuah aliran kepercayaan orang-orang Sunda dahulu. Mereka meyakini kepercayaan tersebut sebagai kepercayaan Sunda asli –kepercayaan masyarakat asli Sunda. Petunjuk tersebut ditemukan dalam naskah kuno yang terdapat dipedalaman suku Badui.[4]

Kepercayaan Sunda Wiwitan terdiri dari dua kata “Sunda” dan “Wiwitan”. Menurut Djatikusumah sebagaimana dikutip Ira, Sunda dapat dimaknai dengan tiga konsep dasar, yaitu 1. Filosofis yang berarti bersih, indah, bagus cahaya dan seterusnya; 2. Etnis yang merujuk pada sebuah komunitas masyarakat layaknya masyarakat lainnya; 3. Geografis yang merujuk pada penamaan suatu wilayah. Dalam hal ini dibedakan dengan istilah Sunda Besar yang meliputi pulau besar di Indonesia –saat itu Nusantara- seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sunda Kecil yang meliputi Bali, Sumbawa, Lombok Flores dan lain-lain.

Sedangkan Wiwitan berarti asal mula. Dengan demikian, Sunda Wiwitan berarti Sunda asal atau Sunda yang asli. Dengan pengertian di atas, Sunda Wiwitan dimaknai sebagai aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Sunda asli dahulu hingga saat ini –meski jumlahnya hanya sedikit saja. Kepercayaan Sunda Wiwitan juga dibuktikan dengan adanya temuan arkeologi diberbagai daerah seperti Situs Cipari Kabupaten Kuningan, situs Sigarahiang Kabupaten Kuningan, situs Arca Domas di Kanekes Kabupaten Lebak, serta yang paling fenomenal situs Gunung Padang di Kabupaten Cianjur. Temuan tersebut menunjukkan bahwa orang Sunda awal memiliki sistem kepercayaan.[5]

Asal-usul Sunda Wiwitan tidak dapat diketahui penanggalannya secara pasti. Tidak seperti agama yang dapat diketahui kemunculannya dengan ditandai risalah kenabian. Tetapi, masyarakat pemeluk Sunda Wiwitan percaya bahwa awal manusia yaitu nabi Adam adalah orang yang Badui. Mereka percaya bahwa Adam adalah nenek moyang mereka.[6]Dari kepercayaan mereka tersebut, penulis berasumsi bahwa Sunda Wiwitan juga merupakan kepercayaan yang Adam. Hal ini juga penulis dasarkan pada mitos tentang penciptaan alam.
“... Dalam mitos penciptaan Baduy dijelaskan bahwa ‘dunia pada waktu diciptakan masih kosong, kemudian Tuhan mengambil segenggam tanah dari bumi dan diciptakanlah Adam. Dari tulang rusuk Adam terciptalah Hawa. Tuhan juga menciptakan Batara Tujuh, yaitu: (1) Batara Tunggal, (2) Batara Ratu, (3) puun yang dititipkan di Kanekes (Cikeusik, Cikertawana, Cibeo), (4) Dalem, (5) Menak, (6) Putri Galuh dan (7) Nabi Muhammad yang diturunkan di Mekah. Batara Tujuh merupakan Sanghyang Tujuh yang bersemayam di Sasaka Domasi’”.[7]

Terkait mitos penciptaan yang dipercayai Sunda Wiwitan di atas, penulis menggarisbawahi tentang kepercayaan mereka kepada nabi Adam dan Muhammad. Kepercayaan tersebut sama halnya dengan kepercayaan agama samawi –Yahudi, Kristen dan Islam. Selain itu, mereka juga memercayai adanya surga dan neraka.

Tentang Kanekes: Wilayah Kepercayaan Sunda Wiwitan
Kanekes merupakan sebuah desa di Kecamatan Luwih Damar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Desa Kanekes dibagi menjadi dua bagian yaitu: Kanekes Tangtu (Badui Dalam yang terdiri dari tiga kampung yaitu Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik) dan Kanekes Panamping (Badui Luar). Secara keseluruhan di desa Kanekes terdapat 58 kampung.[8]Perangkat atau aparat desa Kanekes dikukuhkan oleh Pemerintah Bupati Lebak.[9]
 
Keberadaan desa Kanekes menjadi perhatian sekaligus aset Kabupaten Lebak, mengingat di Kanekes masih terdapat suku Badui dengan aliran kepercayaannya, Sunda Wiwitan. Perhatian pemerintah juga dibuktikan dengan terbitnya Perda yang mengatur hak ulayat masyarakat Badui (Perda Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy). Pada Perda tersebut disebutkan bahwa:
Pasal 4: Segala peruntukkan lahan terhadap hak ulayat Masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya kepada Masyarakat Baduy.

Pasal 5: Hak Ulayat Masyarakat Baduy tidak meliputi bidang-bidang tanah yang: a). sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria; b). merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku

Pada Perda di atas, disebutkan bahwa pada tahun 1986 luas desa Kanekes adalah 5.101 ha. Adapun jumlah penduduk saat itu sebanyak 7.181 jiwa dengan 1.997 kepala keluarga (KK). Pada tahun 1994, jumlah tersebut menurun menjadi 6.483 jiwa dan meningkat kembali pada 2009 sebanyak 9.741 jiwa.[10]
 
Masyarakat Badui Dalam memiliki batas-batas Desa sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar, Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar, dan Desa Nyagati Kecamatan Leuwidamar. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Parakan Beusi Kecamatan Bojongmanik, Desa Keboncau Kecamatan Bojongmanik, dan Desa Karang Nunggal Kecamatan Bojongmanik. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cikate Kecamatan Cijaku. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Combong Kecamatan Muncang dan Desa Cilebang Kecamatan Muncang.[11]

Wilayah pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan terdapat di kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik (tiga kampung Badui Dalam). Menurut Abah Mursyid, ketiga kampung tersebut memiliki kekhasan tersendiri. Kampung Cibeo fokus hasil pertanian; Cikartawana fokus adat istiadat; dan Cikeusik fokus pada persoalan kepercayaan (agama). Masyarakat kampung tersebut memiliki sebutan yang berbeda-beda, yaitu: masyarakat Cibeo disebut Tangtu Parahiyang; Cikartawana disebut Tangtu Kadu Kujang; dan Ciseusik disebut Tangtu Pada Ageung.

Di desa Kanekes terdapat area terlarang untuk dikunjungi yaitu: hutan larangan; rumah tinggal pu’un kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik; area Imah adat yang terdapat di setiap kampung; serta tempat lain yang diberitahukan perangkat desa.[12]Selain aturan larangan kunjungan di atas, masyarakat Badui Dalam menolak kunjungan warga asing.[13]Penulis tidak mendapatkan alasan secara detail tentang larangan orang asing berkunjung ke Badui Dalam. Mereka hanya diperbolehkan berkunjung di Badui Luar saja.

Masyarakat Kanekes atau Sunda Wiwitan memercayai tempat sakral dan suci yang tidak boleh dikunjungi oleh setiap orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan mengunjungi dan melakukan ritual disana. Tempat tersebut adalah Sasaka Pusaka Buana atau Pada Ageung dan Arca Domas. Kesakralan tempat ini dikarenakan keyakinan bahwa para Batara diturunkan ditempat tersebut. Tempat tersebut terdapat di kampung Cikeusik. Selain Arca Domas, tempat sakral lainnya adalah Sasaka Domas yang terletak di kampung Cibeo.[14]

Ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, masyarakat Badui Dalam di Kanekes tetap berpendirian pada prinsip leluhur mereka. Mereka memilih jalan hidup primitif, meninggalkan “pernak-pernik” modernisasi dan globalisasi. Mereka tidak menggunakan alat komunikasi (Handphone) dan barang elektronik lainnya. Bahkan dalam pandangan masyarakat Badui Dalam, menaiki kendaraan (mobil) adalah termasuk perbuatan dosa. Oleh sebab itu, kemana pun mereka pergi ditempuh dengan jalan kaki, tanpa alas kaki (sandal). 

Meski masyarakat Badui Dalam terkesan primitif, bukan berarti mereka tidak mengenal mata uang. Hasil kerajinan tangan mereka dijual untuk mendapat uang dan “menyambung” hidup. Pada saat musim buah Duren, mereka membawanya keluar dari kampung Badui Dalam untuk menjual buah tersebut. Ada banyak pernak-pernik yang mereka perjualbelikan di kampung Badui Luar dan Dalam seperti kain tenun, tas anyaman, golok, perhiasan khas Badui dan lain sebagainya.

Konsep Ketuhanan dan Ajaran Sunda Wiwitan
Aliran kepercayaan Sunda Wiwitan menganut kepercayaan monoteis. Penyembahan mereka tujukan pada Sang Hyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut sebagai Batara Tunggal, Batara Jagat dan Batara Seda Niskala. Pengikut Sunda Wiwitan mempercayai bahwa keberadaan tuhan mereka adalah di Buwana Nyncung (buana atas), bersemanyam disana. Mereka meyakini bahwa dengan mempercayai sepenuhnya Sang Hyang Keresa, maka kesejahteraan akan tercapai.[15] Disamping keyakinannya kepada Hyang Keresa, mereka juga meyakini bahwa ada kekuatan gaib yang menjaga tanah mereka, karuhun/ leluhur. Masyarakat Badui penganut Sunda Wiwitan menganggap bahwa Nabi mereka adalah Nabi Adam.[16]

Namun demikian, adapula yang menganggap bahwa Sunda Wiwitan adalah penganut animisme dan dinamisme.[17]Kepercayaan yang bersifat aministik juga dikuatkan oleh Roger L. Dixson. Menurut Roger, mereka –penganut Sunda Wiwitan- mempercayai bahwa terdapat roh-roh yang menghuni pohon, batu-batuan dan benda mati lainnya. Roh tersebut juga terdiri dari roh jahat dan roh baik.[18]
 
Pimpinan Sunda Wiwitan adalah sekaligus pimpinan suku Badui (Pu’un), yang juga dianggap sebagai keturunan batara. Setiap aturan yang diperintahkan harus dikerjakan. Kepercayaan Sunda Wiwitan juga memiliki rukun, yaitu: Ngukus (sesembahan menyan), Ngawalu, Muja (melakukan pemujaan/mentuhankan sesuatu), Ngalaksa, Ngalanjak, Ngapundayan, dan Ngareksauken Sasaka Pusaka.

Ada beberapa ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi masyarakat Badui Dalam penganut Sunda Wiwitan, yaitu Pikukuh. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi mereka, tetapi juga pengunjung di lingkungan Badui Dalam. Ketentuan tersebut berisi: (1) Dilarang merubah jalan; (2) Dilarang mengubah bentuk tanah: (3) Dilarang masuk hutan titipan; (4) Dilarang menggunakan bahan kimia; (5) Dilarang menanam tanaman budidaya perkebunan; (6) Dilarang memelihara binatang ternak kaki empat; (7) Dilarang berladang sendiri-sendiri, harus sesuai ketentuan adat; (8) Dilarang berpakaian sembarangan, Badui dalam berpakaian putih dengan menggunakan ikat kepala, sedangkan Badui luar berpakaian hitam dengan menggunakan ikat kepala.[19]

Mengenai bentuk ritual keagamaan, Sunda Wiwitan menganggap bahwa kehidupan sehari-hari mereka sebagai ibadah harian. Mereka menekankan nilai-nilai kebaikan dalam perbuatan sehari-hari. Selain itu, ada beberapa ritual kepercayaan lainnya –bukan harian- seperti: Kawalu, yaitu puasa tanpa sahur selama tiga bulan dan Mutih atau puasa sunah. Pada saat saat dilakukan ritual puasa Kawalu, tidak boleh ada pengunjung di perkampungan mereka, Badui Dalam.

Kepercayaan Sunda Wiwitan mempunyai hukum adat yang seseorang yang melanggar hukum. Bagi seorang yang melanggar ada teguran dari kepala adat. Selain itu juga disediakan “rutan” untuk orang-orang yang melanggar hukum. Rutan tersebut hanya seperti rumah biasa dengan beberapa orang yang mengawasi kegiatan si tahanan –pelanggar hukum. 

Terdapat hal yang “unik” bagi masyarakat Badui Dalam penganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka tidak mengenal cerai dan poligami. Bagi mereka, cerai dan poligami adalah sesuatu yang dilarang. Abah Mursyid menyebutkan bahwa aturan tersebut telah berlaku turun-temurun. Bagi orang yang ingin menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, harus melewati ritual khusus yang disebut sertu. [20]


Eksistensi Sunda Wiwitan dalam Konteks Bernegara
Sunda Wiwitan mengalami dialektika dengan pemerintah. Pada satu sisi, negara harus menghargai agama dan kepercayaan yang dipeluk oleh warganya. Tetapi pada sisi lain, Sunda Wiwitan dianggap bukan sebagai agama, melainkan aliran kepercayaan lokal. Bahkan negara menganggap sebagai budaya dan tradisi semata.  Hal ini didasarkan pada definisi agama yang ditetapkap pemerintah, bahwa agama adalah “Sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci”. Sedangkan Sunda Wiwitan sendiri tidak memiliki kitab suci yang “tertulis”. Hal ini menyebabkan kepercayaan Sunda Wiwitan sulit diakui pemerintah. Pemerintah kemudian memasukkan mereka sebagai penganut agama Hindu.[21]

Ketika masa presiden Sukarno (pada awal 1960), aliran kepercayaan Sunda Wiwitan pernah dituding sebagai aliran yang menodai agama Islam. Beberapa muslim saat ini mengadukan bahwa aliran Sunda Wiwitan yang sarat dengan ajaran mistisisme mengadukan kepada pemerintah. Tidak lama kemudian, tepatnya pada Januari 1965, presiden mengeluarkan aturan tentang pelanggaran bagi orang yang melecehkan agama.

Beberapa penelitian mengungkap adanya kebijakan pemerintah yang “menyandra” pemeluk aliran kepercayaan Sunda Wiwitan. Kebijakan pemerintah yang dianggap meresahkan adalah bahwa pernikahan seorang pemeluk Sunda Wiwitan dianggap tidak sah. Keadaan ini terjadi pada tahun 1965 di Kuningan Jawa Barat. Hal ini mengakibatkan ribuan pemeluk Sunda Wiwitan berpindah ke agama Katolik.[22]Selain itu, kebijakan yang dianggap “mendiskriminasi” menimpa salah satu pemeluk Sunda Wiwitan, Dewi Kanti. Pernikahan Dewi Kanti dengan pria beragama Katolik tidak mendapat pengakuan dari pemerintah. Petugas pencatatan sipil enggap mencatat karena Dewi Kanti bukanlah perempuan beragama.[23]Hingga tahun 2012 lalu, penganut Sunda Wiwitan di Kuningan Jawa Barat tetap tidak mendapatkan identitas kependudukan.[24]

Sebagai warga negara, masyarakat Badui Dalam penganut Sunda Wiwitan menginginkan pengakuan dari pemerintah, negara. Menurut Abah Mursyid, masyarakat Badui Dalam penganut Sunda Wiwitan mengakui kedaulatan negara Indonesia. Tetapi mereka tidak dapat mencantumkan kepercayaan mereka pada kartu identitas penduduk (KTP). Dalam upayanya mendapat pengakuan tersebut, tokoh masyarakat Badui berupaya mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Akibat tidak dicantumkannya Sunda Wiwitan pada KTP, mayarakat pun banyak tidak bersedia membuat KTP.[25]Sehingga dalam gelaran pemilihan umum, mereka tidak dapat berpartisipasi. Namun demikian, masyarakat Badui tetap akan mendukung kedaulatan negara Indonesia.[26]

Dari uraian di atas, terutama kasus yang menimpa Dewi Kanti menunjukkan bahwa pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan tidak berada di Kanekes saja. Tetapi Sunda Wiwitan juga didapati di wilayah Kuningan Jawa Barat. Hal ini setidaknya menguatkan pandangan bahwa Sunda Wiwitan adalah kepercayaan orang Sunda awal.

Penutup
Simpulan dari tulisan ini adalah: Sunda Wiwitan merupakan aliran kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Sunda awal –Sunda asli. Bahkan mereka beranggapan bahwa Sunda Wiwitan telah ada sejak masa nabi Adam. Terkait konsep ketuhanan Sunda Wiwitan, terdapat dua pandangan, pertama menganggap bahwa Sunda Wiwitan mempunyai tuhan yang esa. Kedua, Sunda Wiwitan adalah penyembah roh-roh leluhur yang berada pada sebuah benda seperti pohon dan batu. Bagi Sunda Wiwitan perkerjaan keseharian mereka adalah merupakan ibadah. Keberadaan mereka di desa Kanekes tetap terjaga dengan baik. Selain dilindungi Perda, mereka konsisten dengan ajaran leluhur meski hidup yang terkesan primitif.




[1] Kiki Muhammad Hakiki, “Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus Aliran Kebatinan)” dalam Jurnal Analisis, Volume XI, No. 1, Juni 2011, h. 161
[2] Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu
[3] Prof. Dr. H. Faisal Ismail, MA, Pengantar dalam Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia, Ahmad Syafi’i Mufid (Editor), (Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat-Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012), h. xii
[4] Roger L. Dixson, “Sejarah Suku Sunda” dalam jurnal Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober, 2000, h. 203.
[5] Ira Indrawardana, “Berketuhanan Dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan”dalam Jurnal Melintas, 30. 1. 2014, h. 109-112
[6] Wawancara dengan Ayah Mursyid (Putra Puun di Desa Cibeo, Badui Dalam dan Wakil Jaro Adat), Cibeo Badui dalam, 25 Desember 2015.
[7] Editor, “Kepercayaan Sunda Wiwitan”, diunduh dari situs http://kebudayaanindonesia.net: http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1039/kepercayaan-sunda-wiwitan. Pada 19/12/2014. Pukul 12.48
[8] Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Lihat juga: Peraturan Desa Kanekes No 1 Tahun 2007 Tentang Saba Budaya dan Pelindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy), Pasal 2, No 3
[9] Peraturan Desa Kanekes No 1 Tahun 2007 Tentang Saba Budaya dan Pelindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy), Pasal 1, No 18
[10] Jamaluddin, dkk, “Tinjauan Arsitektur Interior Tradisional Desa Kanekes” dalam Jurnal Rekajiva, Jurnal Online Institut Teknologi Nasional, No. X, Vol. XX, Januari 2013, h. 4
[11] Peraturan Desa Kanekes No 1 Tahun 2007 Tentang Saba Budaya dan Pelindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy), Pasal 4
[12] Peraturan Desa Kanekes No 1 Tahun 2007 Tentang Saba Budaya dan Pelindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy), Pasal 15
[13] Wawancara dengan Ayah Mursyid (Putra Pu’un di Desa Cibeo, Badui Dalam dan Wakil Jaro Adat), Cibeo Badui dalam, 25 Desember 2015.
[14] Syarif Moeis, “Konsep Ruang Dalam Kehidupan Orang Kanekes (Studi Tentang Penggunaan Ruang dalam Kehidupan Komunitas Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)”, Makalah disampaikan pada Diskusi Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung, 2010
[15] Ira Indrawardana, “Sunda Wiwitan Dalam Dinamika Zaman”, Makalah pada Konferensi Internasional Budaya Sunda II dengan tema “Revitalisasi Budaya Sunda: Peluang dan Tantangan dalam Dunia Global, Desember 2011, h. 7
[16] Gunggung Senoaji, “Dinamika Sosial dan Budaya Masyarakat Baduy dalam Mengelola Hutan dan Lingkungan” dalam jurnal Bumi Lestari, Vol. 10, No. 2, Agustus 2010, h. 305
[17] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam dan Dinamika Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), h. 141
[18] Roger L. Dixson, “Sejarah Suku Sunda”, h. 204
[19] Gunggung Senoaji, “Dinamika Sosial dan Budaya Masyarakat Baduy dalam Mengelola Hutan dan Lingkungan”, h. 305
[20] Wawancara dengan Ayah Mursyid (Putra Pu’un di Desa Cibeo, Badui Dalam dan Wakil Jaro Adat), Cibeo Badui dalam, 25 Desember 2015.
[21] Kiki Muhammad Hakiki, “Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus Aliran Kebatinan)” dalam Jurnal Analisis, Volume XI, No. 1, Juni 2011, h. 170
[22] Tim Penyusun, Atas Nama Agama: Pelanggaran Terhadap Minoritas Agama di Indonesia, h. 11
[23] Tim Penyusun, Atas Nama Agama: Pelanggaran Terhadap Minoritas Agama di Indonesia, h. 68
[26] Wawancara dengan Ayah Mursyid (Putra Pu’un di Desa Cibeo, Badui Dalam dan Wakil Jaro Adat), Cibeo Badui dalam, 25 Desember 2015. Meski masyarakat Badui banyak yang tidak memiliki KTP, tetapi di lingkungan masyarakat Badui tetap dilakukan pemilihan umum, salah satunya pada pemilu 2014 lalu. Lihat pada: http://www.tempo.co/read/beritafoto/15639/Warga-Baduy-Berbondong-bondong-Nyoblos-di-TPS/2. Diakses pada 13/02/2015. Pukul 16.30.

Comments

Popular posts from this blog

PRIMBON JAWA LENGKAP

BUBUR MERAH PUTIH UNTUK SELAMATAN WETON

UPACARA ADAT MITONI ( 7 BULAN KEHAMILAN )