Masyarakat Adat dan Keindonesiaan (SULISTYOWATI IRIANTO)

NKRI bukan satu-satunya nation karena di Nusantara ini terdapat nation lain yang kecil, tua, dan berbasis kesukubangsaan. Nation kecil itulah masyarakat adat dengan kebudayaannya sendiri.

Mereka pemangku pengelolaan sumber daya alam dan penge- tahuan lokal tentang obat dan pangan yang jadi kebutuhan dasar kita bersama. Namun, justru sejak Indonesia merdeka terjadi pembiaran dan peminggiran terhadap masyarakat adat. Mereka mengalami ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan, dan kehi- langan keragaman hayati. Jika ini dibiarkan, besar kemungkinan penguasaan sumber kekayaan alam oleh asing tinggal menunggu waktu (Kompas, 25/5). Masyarakat adat adalah Indonesia; kehancuran mereka dengan pengetahuan dan kekayaannya adalah kehilangan Indonesia.
Pola peminggiran
Meski masyarakat adat dari Sabang sampai Merauke berbudaya beragam, terdapat kesamaan pola peminggiran terhadap mereka. Pertama, inkonsistensi hukum. Di satu sisi terdapat sejumlah instrumen hukum-termasuk konstitusi-yang mengakui keberadaan mereka, tetapi sejumlah kebijakan dan produk hukum lain menyangkal keberadaan mereka.
Kedua, ketiadaan identitas hukum sebagai penghayat. Kebudayaan masyarakat adat berkelindan dengan kepercayaan/agama asli, tetapi justru karena itulah mereka dipolitisasi sebagai "liyan". Agama mereka di KTP dikosongkan. Negara menolak mencatatkan perkawinan mereka dan tidak mengeluarkan surat kawin. Anak mereka tak memiliki akta lahir; kalaupun diurus untuk keperluan sekolah, statusnya ditulis "anak luar kawin". Di sekolah anak-anak dapat stigma sebagai anak aliran sesat, dikeluarkan dari kelas pelajaran agama, tak dapat penilaian obyektif.
Ketiga, kehilangan hak sipil. Bila ada yang jadi pegawai negeri: meskipun menikah, statusnya lajang karena ketiadaan surat kawin. Bila jadi saksi di pengadilan, biasanya dalam sengketa mempertahankan tanah ulayat, kesaksian warga adat bisa diabaikan hakim. Sebagai penghayat, tidak termasuk agama resmi negara, mereka tak bisa disumpah sebagai saksi dan mereka dianggap tak memiliki legalitas hukum. Tak mengherankan jika mereka banyak dikalahkan dalam sengketa tanah ulayat.
Keempat, kehilangan ruang hidup demi pembangunan. Tanah ulayat bersifat kepemilikan komunal dan tidak mengenal pewarisan individual. Tanah tidak boleh dipindahtangankan demi keberlangsungan hidup bersama, sungguhpun boleh dikelola untuk kesejahteraan warga. Batas-batas wilayah kepemilikan tanah komunal adalah batas-batas alam yang saling diakui dan dihormati sesama komunitas adat.
Karakter hukum adat itu tidak diakui negara karena atributnya berbeda dengan hukum negara (hukum Barat) yang legal formal. Akibatnya, atas nama pembangunan dan modernisasi, negara bisa mengubah tanah ulayat menjadi hutan lindung, hutan negara, hutan komersial, dan pertambangan. Warga adat yang ratusan tahun hidup di tanah leluhur mendadak berstatus sebagai perambah hutan karena ruang hidupnya berubah jadi kebun sawit atau wilayah komersial. Anak perempuan terpaksa menyingkir dari kampungnya menjadi buruh migran atau korban perdagangan perempuan.
Dalam negara hukum, memiliki identitas hukum adalah hak asasi. Tak memberi identitas hukum kepada warga negara atas dasar apa pun adalah pelanggaran hak asasi manusia. Validitas statistik kependudukan yang dibuat negara, dengan ini, dapat dipertanyakan karena sengaja menghilangkan catatan atas keberadaan mereka. Padahal, semua program dan kebijakan pemerintah didasarkan pada data statistik itu. Jumlah mereka tak kecil, setidaknya dari kategori kepercayaan saja, Kemdikbud mencatat ada 1.035 organisasi penghayat, tetapi ada banyak lagi yang tak berorganisasi.
Persinggungan masyarakat adat dan kaum penghayat dinyatakan pendiri bangsa kita, seperti Mr Soepomo. Masyarakat adat memiliki sifat magis religius, kebersamaan, tunai, dan konkret. Sifat magis religius mengacu pada keberadaan mereka yang erat dengan keyakinan tentang kesatuan diri dengan Sang Pencipta dan alam semesta yang adalah bagian dari kebudayaan. Mengapa generasi setelah kemerdekaan menegasikan kebudayaan masyarakat adat?
Perebutan ruang hidup
Konflik tanah ulayat berkelindan dengan konflik agraria yang begitu masif, dan berpotensi menjadi konflik laten di kemudian hari. Selama 2015 saja terdapat 252 konflik agraria meliputi 108.714 hektar dan melibatkan 400.430 keluarga. Konflik tertinggi-yaitu 127-ada di sektor perkebunan, kemudian pembangunan infrastruktur, kehutanan, pertambangan, pertanian, dan pesisir kelautan. Tidak banyak sengketa tanah ulayat yang dibawa ke pengadilan. Budaya menghindari sengketa, ketiadaan kekuasaan, dan stigma sebagai "liyan" menyebabkan banyak sengketa tak diselesaikan, malah dibiarkan menjadi konflik yang kronis.
Dari sedikit yang dibawa ke pengadilan, gambarannya adalah sengketa tanah ulayat Akur Urang di Cigugur, Kuningan, yang sebagian besar warganya penghayat Sunda Wiwitan. Mereka mempertahankan tanah ulayat dari korporasi yang mengincar kekayaan alam Gunung Ciremai, dan berbagai pihak yang hendak menghapuskan masyarakat adat.
Dalam persidangan terlihat isu sengketa tanah ulayat dipolitisasi menjadi isu "aliran sesat", yang dialamatkan kepada masyarakat adat. Organisasi massa intoleran didatangkan untuk menekan hakim. Masyarakat adat dikalahkan. Hakim lebih memperhatikan bukti secarik kertas dari mantan sekretaris desa dibandingkan dengan bukti tertulis dalam naskah kuno yang menyatakan tanah adat tidak bisa diwariskan/dipindahtangankan.
Rekomendasi
Banyaknya sengketa tanah yang mengalahkan bahkan mengkriminalkan warga adat berimplikasi pada hilangnya ruang hidup. Tanah ulayat adalah tempat hidup menurut filosofi, hukum, dan pengetahuan lokal warga adat. Meniadakan pengakuan terhadap teritori mereka sama dengan meniadakan mereka. Merampas teritori dan sumber daya alam mereka atas nama pembangunan dengan menggunakan hukum adalah ahistoris dan sangat tidak adil.
Para penegak hukum, terutama para hakim, di republik ini sangat penting memiliki pengetahuan hukum tentang sejarah bangsa yang berakar pada masyarakat adat. Menerapkan hukum secara tekstual dan prosedural tanpa memperhitungkan pengalaman dan realitas masyarakat sama dengan menjauhkan keadilan dari mereka. Para hakim memiliki kesempatan emas menciptakan hukum baru yang menjamin keadilan substantif melalui putusannya.
Para pengambil kebijakan hendaknya memiliki sifat kenegarawanan berhadapan dengan masyarakat adat. Telah terbukti, pembangunan bertujuan pertumbuhan ekonomi telah gagal menyejahterakan rakyat. Paradigma pembangunan yang melintasi wilayah adat seharusnya memanusiakan masyarakatnya. Perencanaan pembangunan harus didasarkan pada penelitian akademik berkualitas yang menangkap suara warga adat. Setiap tahap kegiatan harus diuji dampaknya dan selalu mengikutkan masyarakat. Demi ke-Indonesia-an kita.
SULISTYOWATI IRIANTO GURU BESAR ANTROPOLOGI HUKUM, FAKULTAS HUKUM 
 http://doa-bagirajatega.blogspot.co.id/2016/06/masyarakat-adat-dan-keindonesiaan.html?m=1

UI

Comments

Popular posts from this blog

PRIMBON JAWA LENGKAP

BUBUR MERAH PUTIH UNTUK SELAMATAN WETON

SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG